| 
								
								
								Potret 
                                Seorang Intelektual 
Neomodernis 1.   Latar 
                                Belakang sosial dan 
                                Intelektual Fazlur Rahman dilahirkan 
                                pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. 
                                Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab 
                                Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling 
                                rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika 
                                itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke 
                                dalam dua negara merdeka, yakni India dan 
                                Pakistan. Anak benua ini terkenal  dengan 
                                para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali 
                                Allah, Sir Sayyid Ali dan 
                                Iqbal. Sejak 
                                kecil sampai umur belasan tahun, selain 
                                mengenyam pendidikan formal, Rahman juga menimba 
                                banyak ilmu tradisional dari ayahnya--seorang 
                                kyai yang mengajar di madrasah tradisional 
                                paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan. 
                                  
                                Menurut Rahman sendiri, ia dilahirkan dalam 
                                keluarga muslim yang amat religius. Ketika 
                                menginjak usia yang kesepuluh, ia sudah bisa 
                                membaca Al-Qur’an di luar kepala. 
                                 
                                Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu 
                                syariah lainnya. Menurut Rahman, berbeda 
                                dengan kalangan tradisional pada umumnya, 
                                ayahnya adalah seorang kyai tradisional yang 
                                memandang modernitas sebagai tantangan yang 
                                perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia 
                                apresiatif terhadap pendidikan modern.  
                                Karena itu, keluarga Rahman selain kondusif bagi 
                                perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar 
                                tradisional, juga bagi kelanjutan karier 
                                pendidikannya. Selain itu, latar sosial 
                                anak benua Indo-Pakistan yang telah melahirkan 
                                sejumlah pemikir Islam liberal, seperti 
                                disinggung di  atas, juga merupakan 
                                benih-benih dari mana pikiran liberal 
                                Rahman  dan skeptisisme Rahman tumbuh. 
                                Misalnya, Rahman sangat apresiatif terhadap 
                                pemikiran pendahulunya. Bahkan dalam 
                                pembahasannya mengenai wahyu ilahi dan nabi, ia 
                                secara eksplisit mengakui bahwa pemikirannya 
                                merupakan kelanjutan dari pemikiran 
                                pendahulunya, yakni Sah Wali Allah dan Muhammad 
                                Iqbal: Dengan demikian, argumen saya 
                                tentang kemapanan karakter wahyu Al-Qur’an 
                                terdiri dari dua bagian. Dalam bagian Pertama, 
                                saya telah menyetujui—dan tidak berbuat lebih 
                                lagi terhadap—pernyataan-pernyataan syah wali 
                                Allah dan Muhammad Iqbal yang menerangkan proses 
                                psikologis wahyu. 2.   Latar 
                                Belakang Pendidikan dan 
                                PengalamanSetelah 
                                menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil 
                                studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran 
                                pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia 
                                berhasil menyelesaikan studinya di Universitas 
                                tersebut dan menggondol gelar M. A dalam sastra 
                                Arab. Merasa tidak puas dengan pendidikan di 
                                tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan 
                                studi doktoralnya ke Oxford University, dan 
                                berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun 
                                1951. Pada masa ini seorang Rahman giat 
                                mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia 
                                menguasai banyak bahasa. Paling tidak ia 
                                menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, 
                                Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab dan 
                                Urdu. 
                                Ia mengajar beberapa saat di Durham University, 
                                Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate 
                                Professor of Philosophy di Islamic Studies, 
                                McGill University, 
                                Kanada. Sekembalinya 
                                ke tanah air, Pakistan,  pada Agustus 1962, 
                                ia diangkat sebagai direktur pada Institute 
                                of Islamic Research. Belakangan, ia juga 
                                diangkat sebagai anggota Advisory Council of 
                                Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 
                                1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk 
                                menafsirkan islam dalam term-term rasional dan 
                                ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan 
                                masyarakat modern yang progresif. Sedangkan 
                                Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau 
                                seluruh hukum baik yang sudah maupun belum 
                                ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya 
                                dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”.  Kedua 
                                lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat, 
                                karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga 
                                riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan 
                                mengajukan saran mengenai rancangan 
                                undang-undang. Karena tugas yang diemban 
                                oleh kedua lembaga inilah Rahman intens dalam 
                                usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk 
                                menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu 
                                saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang 
                                merepresentasikan kaum modernis,  selalu 
                                mendapatkan serangan dari kalangan ulama 
                                tradisionalis dan  fundamentalis  di 
                                Pakistan.  Ide-idenya di seputar riba dan 
                                bunga bank, sunnah dan hadis, zakat, proses 
                                turunnya wahyu Al-Qur’an, fatwa mengenai 
                                kehalalan binatang yang disembelih secara 
                                mekanis, dan lainnya, telah meledakkan 
                                kontroversi-kontroversi  berskala nasional 
                                yang berkepanjangan. Bahkan pernyataan Rahman 
                                dalam karya magnum opusnya, Islam, 
                                bahwa “Al-Qur’an itu secara keseluruhannya 
                                adalah kalam Allah dan—dalam pengertian 
                                biasa—juga seluruhnya adalah perkataan 
                                Muhammad”, telah menghebohkan media massa selama 
                                kurang lebih setahun. Banyak media yang 
                                menyudutkannya. Al-Bayyinat, media kaum 
                                fundamentalis, misalnya, menetapkan Rahman 
                                sebagai munkir al-Quran. Puncak 
                                kontroversi ini adalah demonstrasi massa dan 
                                aksi mogok total, yang menyatakan protes 
                                terhadap buku tersebut. Akhirnya, Rahman pun 
                                mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan 
                                Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 
                                1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat 
                                Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 
                                1969. Akhirnya, Rahman memutuskan 
                                hijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru 
                                besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya 
                                pada Departement of Near Eastern Languages and 
                                Civilization, University of Chicago. Bagi 
                                Rahman, tampaknya tanah airnya belum siap 
                                menyediakan lingkungan kebebasan intelektual 
                                yang bertanggungjawab. 3.  Perkembangan 
                                Pemikiran dan Karya-karyanyaDari 
                                selintas perjalanan hidup Fazlur Rahman di atas, 
                                Taufik Adnan Amal membagi   
                                perkembangan   pemikirannya  
                                ke  dalam   tiga   
                                babakan   utama,  yang di 
                                dasarkan pada perbedaan  karakteristik 
                                karya-karyanya: (I) periode awal (dekade 50-an); 
                                periode Pakistan (dekade 60-an); dan periode 
                                Chicago (dekade 70-an dan 
                                seterusnya). Ada tiga karya besar yang 
                                disusun Rahman pada periode awal: Avicenna’s 
                                Psychology (1952); Avicenna’s De 
                                Anima (1959); dan Prophecy in Islam: 
                                Philosophy and Orthodoxy (1958). Dua yang 
                                pertama merupakan terjemahan dan suntingan karya 
                                Ibn Sina (Avisena). Sementara yang terakhir 
                                mengupas perbedaan doktrin kenabian antara yang 
                                dianut oleh para filosof dengan yang dianut 
                                oleh  ortodoksi. Untuk melacak pandangan 
                                filosof, Rahman mengambil sampel dua filosof 
                                ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina 
                                (980-1037). Secara berturut-turut, dikemukakan 
                                pandangan kedua filosof tersebut tentang wahyu 
                                kenabian pada tingkat intelektual, proses 
                                psikologis wahyu tehnis atau imaninatif, doktrin 
                                mukjizat dan konsep dakwah dan syariah. Untuk 
                                mewakili pandangan ortodoksi, Rahman menyimak 
                                pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali, Al-Syahrastani, 
                                Ibn Taymiyah dan Ibn Khaldun. Hasilnya adalah 
                                kesepekatan aliran ortodoks dalam menolak  
                                pendekatan intelektualis-murni para filosof 
                                terhadap fenomena kenabian. Memang, Kalangan 
                                mutakallimun tidak begitu keberatan 
                                menerima kesempurnaan intelektual nabi. Tapi 
                                mereka lebih menekankan nilai-nilai syariah 
                                ketimbang intelektual. Rahman 
                                sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan 
                                mendasar antara posisi filosofis dan ortodoksi. 
                                Sebab, perbedaan ada sejauh pada tingkat 
                                penekanan saja. Menurut para filosof, nabi 
                                menerima wahyu dengan mengidentifikasikan 
                                dirinya dengan Intelek Aktif; sementara menurut 
                                ortodoksi nabi menerima wahyu dengan 
                                mengidentifikasikan dirinya dengan malaikat. 
                                Sementara para filosof lebih menekankan 
                                kapasitas alami nabi sehingga menjadi 
                                “nabi-manusia”, ortodoksi lebih suka meraup 
                                karakter ilahiah dari mukjziat wahyu ini. Kelak, 
                                pandangan ini cukup mempunyai pengaruh terhadap 
                                pandangan Rahman tentang proses “psikologis” 
                                nabi menerima wahyu. Seperti halnya teori para 
                                filosof dan kaum ortodoks, Rahman berteori bahwa 
                                Nabi mengidentifikasikan dirinya dengan hukum 
                                moral. Pada periode kedua 
                                (Pakistan), ia menulis buku yang berjudul: 
                                Islamic Methodology in History (1965). 
                                Penyusunan buku ini bertujuan untuk 
                                memperlihatkan: (I) evolusi historis 
                                perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) 
                                pemikiran Islam—Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan 
                                Ijma’; dan  (ii) peran aktual 
                                prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah 
                                Islam itu sendiri. Buku kedua yang ditulis 
                                Rahman pada periode kedua ini adalah Islam, yang 
                                menyuguhkan—meminjam istilah Amin 
                                Abdullah—rekontruksi sistemik terhadap 
                                perkembangan Islam selama empat belas abad. Buku 
                                ini boleh dibilang sebagai advanced 
                                introduction tentang 
Islam. Pada periode Chicago, 
                                Rahman menyusun: The Philosophy of Mulla 
                                Sadra (1975), Major Theme of the 
                                Qur’an (1980); dan Islam and 
                                Modernity:Transformatioan of an intellektual 
                                tradition (1982). Kalau karya-karya Rahman 
                                pada periode pertama boleh dikata bersifat 
                                kajian historis, pada periode kedua bersifat 
                                hitoris sekaligus interpretatif (normatif), maka 
                                karya-karya pada periode ketiga ini lebih 
                                bersifat normatif murni. Pada periode awal dan 
                                kedua, Rahman belum secara terang-terangan 
                                mengaku terlibat langsung dalam arus pembaruan 
                                pemikiran Islam. Baru pada periode ketiga Rahman 
                                mengakui dirinya, setelah mebagi babakan 
                                pembaruan dalam dunia Islam, sebagai juru bicara 
                                neomodernis.   B.  Proyek 
                                Membuka Pintu IjtihadTemuan historis Rahman 
                                mengenai evolusi perkembangan empat prinsip 
                                dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan 
                                Ijma’), dalam bukunya Islamic 
                                Methodology in History (1965), yang dilatari 
                                oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan 
                                (hukum) Islam di Pakistan, pada gilirannya telah 
                                mengantarkannya pada agenda yang lebih penting 
                                lagi: perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an 
                                yang merupakan jantung 
                                ijtihadnya. Dalam 
                                kajian historisnya ini, Rahman menemukan adanya 
                                hubungan organis antara sunnah ideal Nabi SAW 
                                dan aktivitas ijtihad-ijma’. Bagi Rahman, sunnah 
                                kaum muslim awal merupakan hasil ijtihad 
                                personal, melalui instrumen qiyas, 
                                terhadap sunnah ideal nabi SAW  yang 
                                kemudian menjelma menjadi ijma’  atau 
                                sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Rahman 
                                menarik garis yang membedakan antara sunnah 
                                ideal nabi SAW di satu sisi, dengan sunnah hidup 
                                kaum muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi 
                                lain. Dengan demikian, ijma’ pada asalnya 
                                tidaklah statis, melainkan berkembang  
                                secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke 
                                depan. 
                                Namun demikian, karena keberhasilan gerakan 
                                penulisan hadis secara besar-besaran yang 
                                dikampanyekan Al-syafi’I untuk menggantikan 
                                proses sunah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses 
                                ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi 
                                ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya 
                                berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur 
                                ke belakang: mengunci rapat 
                                kesepakan-kesepakatan muslim masa lampau. Puncak 
                                dari proses reifikasi ini adalah tertutupnya 
                                pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau 
                                sepuluh masehi.       Berpijak 
                                pada temuan historis ini, Rahman secara 
                                blak-blakan menolak doktrin tertutupnya pintu 
                                ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam 
                                ijtihad muthlaq, ijtihad fil 
                                masail, dan ijtihad fil madzhab.  
                                Rahman mendobrak doktrin ini dengan beberapa 
                                langkah: Pertama (1), menegaskan bahwa 
                                ijtihad bukanlah hak privilise eksklusif 
                                golongan tertentu dalam masyarakat muslim; 
                                Kedua (2), menolak kualifikasi  
                                ganjil mengenai  ilmu gaib misterius 
                                sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga (3), 
                                memperluas cakupan ranah ijtihad klasik. 
                                Hasilnya adalah satu kesimpulan Rahman: ijtihad 
                                baik secara teoritis maupun secara praktis 
                                senantiasa terbuka dan tidak pernah 
                                tertutup.  Tetapi, Rahman pun tampaknya tidak 
                                ingin daerah teritorial kebebasan ijtihad yang 
                                telah dibukanya—sebagai hasil dari 
                                liberalisasinya terhadap konsep ijtihad—menjadi 
                                tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad yang 
                                liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak 
                                bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan 
                                Rahman adalah upaya sistematis, komprehensif dan 
                                berjangka panjang.  Untuk mencegah ijtihad 
                                yang sewenag-wenang dan merealisasikan ijtihad 
                                yang bertanggung jawab itulah, Rahman mengajukan 
                                metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan 
                                pada periode Chicago. Dan dalam konteks  
                                inilah metodologi tafsir Rahman yang 
                                dipandangnya sebagai “the correct prosedure 
                                for understanding the Qur’an” atau “ the 
                                correct methode of Interpreteting The 
                                Qur’an”  
                                memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan 
                                pemikirannya. Metodologi tafsir Rahman merupakan 
                                jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain 
                                didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai 
                                sumber pokok ijtihad, juga yang lebih penting 
                                lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa 
                                seluruh bangunan syariah harus diperiksa 
                                dibawah sinaran bukti 
                                Al-Qur’an: Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi 
                                sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti 
                                Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang 
                                sistematis dan berani harus dilakukan.   Akan tetapi,  justru persoalannya 
                                terletak pada kemampuan kaum muslim untuk 
                                mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Rahman 
                                menegaskan: bukan 
                                hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah 
                                sebagai mana yang dilakukan pada masa lalu, 
                                tetapi suatu pemahaman terhadap 
                                keduanyalah  yang akan memberikan pimpinan 
                                kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau 
                                secara sederhana, tentu saja kembali keliang 
                                kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi 
                                muslim awal ,pasti kita temui pemahaman yang 
                                hidup terhadap Al-Qur’an dan 
                                sunnah.   C.  Apa itu Al-Qur’an 
                                dan Apa Tujuan Metodologi 
                                TafsirPandangan Rahman mengenai 
                                Al-Qur’an merupakan landasan bagi perumusan 
                                metodologi tafsirnya. Bahwa Al-Qur’an itu adalah 
                                kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad 
                                SAW, menurut Rahman, merupakan kepercayaan 
                                pokok. Tanpa kepercayaan ini, tidak seorang pun 
                                yang bahkan dapat menjadi muslim nominal (hanya 
                                nama saja). Karena itu, Rahman memberikan 
                                argumen yang sangat kokoh untuk menegaskan 
                                kemapanan karakter wahyu dari Al-Qur’an ini. 
                                Rahman mengutip kembali apa yang telah 
                                ditulisnya dalam Islam: Bagi Al-Qur’an sendiri, dan 
                                konsekwensinya juga  bagi kaum muslimin, 
                                Al-Qur’an adalah kalam Allah. Muhammad juga 
                                dengan tegas meyakinai bahwa ia adalah penerima 
                                risalah dari Tuhan, yang sepenuhnya lain, 
                                demikian hebatnya, hingga ia menolak—atas dasar 
                                kuatnya keyakinan ini—beberapa klaim mendasar 
                                dari tradisi Yudeo-Kristiani mengenai Ibrahim 
                                dan nabi-nabi lainnya.   Konsepsinya mengenai 
                                Al-Qur’an  secara sederhana dapat 
                                dijabarkan ke dalam nuktah-nuktah sebagai 
                                berikut: 1.   Al-Qur’an secara keseluruhannya 
                                adalah kalam Allah, dan dalam pengertian biasa, 
                                juga seluruhnya adalah perkataan 
                                Muhammad.   2.   Al-Qur’an adalah respon 
                                ilahi, melalui ingatan dan pikiran nabi, 
                                terhadap situasi moral-sosial arab pada 
                                masa nabi, khususnya kepada masalah-masalah 
                                masyarakat dagang makkah pada waktu itu. 
                                   3.   Karenanya, semangat atau elan 
                                vital  Al-Qur’an adalah semangat moral, 
                                darimana ia menekankan monoteisme dan keadilan 
                                sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah 
                                hukum Allah.  Al-Qur’an terutama sekali adalah 
                                sebuah prinsip-prinsip dan seruan-seruan 
                                keagamaan serta moral, bukan sebuah dokumen 
                                legal. karenanya, keabadian kandungan legal 
                                spesifik Al-Qur’an terletak pada prinsip-prinsip 
                                moral yang menasarinya, bukan pada 
                                ketentuan-ketentuan 
                                harfiahnya.   4.   Al-Quran 
                                merupakan sosok ajaran yang koheren dan kohesif. 
                                Kepastian pemahaman tidaklah terletak pada arti 
                                dari ayat-ayat individual Al-Qur’an, tetapi 
                                terdapat pada Al-Qur,an secara keseluruhan, 
                                yakni suatu satu set prinsip-prinsip dan 
                                nilai-nilai yang koheren di mana keseluruhan 
                                ajarannya 
                                bertumpu.   5.   Al-Qur’an adalah dokumen untuk 
                                manusia, bukan risalah mengenai Tuhan. Perhatian 
                                utama Al-Qur’an adalah perilaku 
                                manusia.  Karenanya ia lebih 
                                berorientasi pada aksi moral ketimbang spekulasi 
                                intelektual.   6.   Tetapi, di atas segalanya, 
                                dalam kenyataannya, Al-Qur’an itu laksana puncak 
                                gunung es yang terapung: sembilan sepersepuluh 
                                darinya terendam di bawah permukaan air sejarah 
                                dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak ke 
                                permukaan. Tidak satupun dari orang-orang yang 
                                telah serius berupaya memahami al-Qur’an dapat 
                                menolak kenyataan bahwa sebagian  besar 
                                Al-Qur’an mensyaratkan pengetahuan mengenai 
                                situasi-situasi kesejarahan yang baginya 
                                pernyataan-pernyataan Al-Qur’an memberikan 
                                solusi-solusi, komentar-komentar dan respon. 
                                   Sampai pada titik ini, 
                                Rahman menandaskan bahwa tujuan ideal-moral 
                                Al-Qur’an yang merupakan elan vitalnya itu telah 
                                terkubur  dalam endapan geologis sebagai 
                                akibat dari proses reifikasi yang begitu 
                                panjang.  Hal ini merupakan  harga 
                                yang harus dibayar (cost) dari perluasan 
                                wilayah islam yang terlalu cepat, tanpa 
                                diimbangi infrastruktur tingkat pemahaman 
                                keagamaan yang memadai. Karena itu, metodologi 
                                yang diharapkan adalah metodologi yang, tentu 
                                saja, bisa menembus endapan  sejarah 
                                tersebut sampai lapisan 
                                terdalam. Dengan demikian,  
                                dapat pahami bahwa tujuan metodologi tafsir bagi 
                                Rahman  adalah  untuk  
                                menangkap  kembali  pesan  moral 
                                universal Al-Qur’an yang obyektif itu, dengan 
                                cara membiarkan Al-Qur’an berbicara sendiri, 
                                tanpa ada paksaan dari luar dirinya, untuk 
                                kemudian diterapkan pada realitas kekinian. 
                                Misalnya, dalam masalah hukum,  bagi 
                                Rahman, tujuan tafsirnya adalah untuk menangkap 
                                resiones logis yang berada di balik 
                                pernyataan formal Qur’an. Untuk inilah Rahman 
                                sering  menyebut-nyebut kasus ijtihad Umar 
                                bin Khaththab yang dinilainya sebagai preseden 
                                baik (uswah) untuk mengeneralisasikan 
                                prinsip-prinsip dan nilai-niali umum yang berada 
                                di bawah permukaan Sunah dan bahkan teks 
                                Al-Qur’an.    D.    Metodologi Tafsir 
                                Rahman          
                                Metodologi tafsir Rahman tidak bisa lepas dari 
                                agenda pembaruan sebelumnya. Karenanya, ada 
                                baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya 
                                mengenai dialektika perkembangan pembaruan yang 
                                muncul dalam dunia  Islam. Rahman membagi 
                                gerakan pembaruan  ke dalam empat gerakan. 
                                Gerakan pertama adalah revivalisme pra modernis 
                                yang lahir pada abad ke 18 dan 19 di Arabia, 
                                India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara 
                                orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan 
                                reaksi terhadap barat. Gerakan ini secara 
                                sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a) 
                                keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi 
                                sosio-moral umat Islam; (b) imbauan untuk 
                                kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan 
                                memberantas takhayul-takhayul dan dengan  
                                membuka dan melaksanakan ijtihad; (c) imbauan 
                                untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan 
                                untuk melaksanakan pembaruan ini lewat jihad 
                                jika diperlukan. Menurut Rahman, dasar 
                                pembaruan revivalisme pramodernis ini kemudian 
                                dikembangkan oleh gerakan kedua, modernisme 
                                klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal 
                                abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide barat. 
                                Pengembangannya terletak pada usaha gerakan ini 
                                untuk memperluas isi ijtihad—dan juga agenda 
                                gerakan—seperti isu tentang hubungan akal dan 
                                wahyu, pembaruan sosial terutama  pada 
                                bidang pendidikan dan status wanita, pembaruan 
                                politik untuk membetuk pemerintahan yang 
                                representatif dan konstitusional. Jasa 
                                modernisme klasik ini adalah usahanya untuk 
                                menciptakan hubungan harmonis antara 
                                pranata-pranata barat dengan tradisi Islam dalam 
                                kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja,  
                                penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini 
                                tidak ditopang dengan metodologi yang memadai. 
                                Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari 
                                barat dan membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”. 
                                Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak bisa 
                                lepas dari kesan barat sentris, atau bahkan dari 
                                tuduhan sebagai gerakan  antek-antek barat 
                                yang ingin merusak Islam, bak kanker, dari dalam 
                                dunia Islam sendiri. Reaksi terhadap modernisme 
                                klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni 
                                neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis, 
                                yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala 
                                aspek kehidupan manusia, baik individual maupun 
                                kelompok. Pandangan ini mirip dengan basis 
                                pemikiran modernisme klasik. Namun karena 
                                sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan 
                                dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung 
                                menutup diri, apologetis dan tidak 
                                otentik. Di sela-sela pengaruh 
                                neorevivalisme inilah gerakan neomodernis 
                                muncul, dan Rahman mengaku dirinya sebagai juru 
                                bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua 
                                kelemahan mendasar modrnisme klasik ini yang 
                                menyebabkan timbulnya reaksi dari 
                                neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya 
                                yang kontroversialis-apologetis terhadap barat, 
                                gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi 
                                yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam. 
                                Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an 
                                lebih bersifat ad hoc dan parsial. 
                                Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal 
                                dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa 
                                kuat bahwa mereka terbaratkan atau agen 
                                westernisasi. Menurut 
                                Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap 
                                kritis baik terhadap barat maupun terhadap 
                                khazanah klasik warisan Islam.  Dalam 
                                konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang 
                                paling mendasar dari kalangan neomodernisme ini 
                                adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat 
                                dan logis untuk mempelajari al-Qur’an guna 
                                mendapatkan petunjuk bagi masa depannya. Dengan 
                                metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa 
                                metodologi yang ditawarkannya dapat menghindari 
                                pertumbuhan ijtihad yang liar dan 
                                sewenang-wenang, sebagaimana yang terjadi 
                                sebelumnya.           
                                Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan 
                                gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari 
                                dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. 
                                Pertama, memahami arti atau  makna  
                                suatu  pernyataan  Al-Qur’an,  
                                dengan  mengkaji  situasi  atau 
                                problem historis dari mana jawaban dan respon 
                                Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna 
                                spesifik  dalam sinaran latar belakang 
                                spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga 
                                harus ditopang dengan  suatu kajian 
                                mengenai situasi makro dalam batasan-batasan 
                                agama, masyarakat, adat-istiadat dan 
                                lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan 
                                menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah 
                                kedua dari gerakan pertama ini adalah 
                                menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban 
                                spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki 
                                tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat 
                                disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran 
                                latar belakang historis dan rationes 
                                logis  yang juga kerap dinyatakan oleh 
                                ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama 
                                langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai 
                                keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, 
                                setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan 
                                yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini 
                                sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa 
                                ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan 
                                koheren secara keseluruhan.  Langkah ini 
                                juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan 
                                terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. 
                                Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali 
                                usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an 
                                secara keseluruhan. Bila gerakan yang 
                                pertama  mulai dari hal-hal yang spesifik 
                                lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan 
                                nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan 
                                kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan 
                                spesifik yang harus dirumuskan dan 
                                direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang. 
                                Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian 
                                yang cermat atas situasi sekarang sehingga 
                                situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai 
                                dengan priortitas-prioritas moral tersebut. 
                                Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara 
                                mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi 
                                hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama 
                                merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam 
                                pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial 
                                muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis 
                                yang sebenarnya dalah kerja ahli 
                                etika.  Momen 
                                gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat 
                                koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap 
                                hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil 
                                pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka 
                                tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam 
                                memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi 
                                sekarang.  
                                Sebab, tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya 
                                bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke 
                                dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam 
                                konteks sekarang tidak 
                                bisa. Gerakan  ganda ini, 
                                digambarkan oleh Taufik Andnan Amal dengan tiga 
                                langkah metodologis utama: (a) pendekatan 
                                historis untuk menemukan makna teks al-Quran 
                                dalam bentangan karir dan perjuangan nabi; (b) 
                                pembedaan antara ketetakpan legal dan tujuan 
                                Al-Quran; (c) pemahaman dan penetapan sasaran 
                                Al-Qur’an  dengan memperhatikan sepenuhnya 
                                latar sosiologis.  Berkaitan dengan butir 
                                pertama, Rahman mengungkapkan: Suatu pendekatan historis yang serius dan 
                                jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks 
                                Al-Qur’an…Pertama-tama, Al-Qur’an harus 
                                dipelajari dalam tatanan historisnya. Mengawali 
                                dengan  pemeriksaan terhadap bagian-bagian 
                                wahyu paling awal akan memberikan suatu persepsi 
                                yang cukup akurat mengenai dorongan dasar 
                                gerakan Islam, sebagaimana dibedakan dari 
                                pranata-pranata yang dibangun belakangan. Dan 
                                demikianlah, seseorang harus mengikuti bentangan 
                                Al-Qur’an sepanjang karir dan perjuangan 
                                nabi…Metode ini akan menunjukkan secara jelas 
                                makna keseluruhan Al-Quran dalam suatu cara yang 
                                sistematis dan koheren.    Mengenai  pembedaan 
                                antara ketetapan legal dan tujuan moral 
                                Al-Qur’an, Rahman menulis: Kemudian seseorang telah siap untuk 
                                membedakan antara ketetapan legal dan sasaran 
                                Al-Qur’an, dimana hukum diharapkan mengabdi 
                                kepadanya. Di sekali lagi seseorang berhadapan 
                                dengan bahaya subyektivitas, tetapi hal ini 
                                dapat direduksi seminimum mungkin dengan 
                                menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Sudah terlalu 
                                sering diabaikan baik oleh kalangan non-muslim 
                                maupun muslim sendiri bahwa Al-Quran biasanya 
                                memberikan alasan-alasan bagi 
                                pernyataan-pernyataan legal 
                                spesifiknya.   Mengenai butir ketiga, 
                                Rahman menulis: Sasaran Al-Qur’an harus dipahami dan 
                                ditetapkan, dengan tetap memberi perhatian 
                                sepenuhnya  terhadap latar sosiologis—yakni 
                                lingkungan dimana nabi bekerja dan bergerak. 
                                [www.islamlib.com]   |