| 
                                Riwayat Hidup dan Kondisi 
                                Sosio-Kultural MesirHassan hanafi adalah Guru Besar pada 
                                fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir 
                                pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng 
                                Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota 
                                ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa 
                                muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar, 
                                terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun 
                                lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak 
                                terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang 
                                di sana sejak lama. Secara historis dan 
                                kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi 
                                peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun, 
                                Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki, 
                                bahkan sampai dengan Eropa moderen. Hal 
                                ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama 
                                kota  Kairo, mempunyai arti penting bagi 
                                perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan 
                                Hanafi Masa kecil Hanafi berhadapan dengan 
                                kenyataan-kenyataan hi.dup di bawah penjajahan 
                                dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan 
                                itu membangkitkan sikap patriotik dan 
                                nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun 
                                masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan 
                                diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan 
                                Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda 
                                Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu 
                                muda. Di samping itu ia juga 
                                dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda 
                                Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa 
                                di Mesir saat itu telah terjadi problem 
                                persatuan dan perpecahan. . Ketika masih duduk di bangku SMA, 
                                tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan 
                                sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para 
                                syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan 
                                para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk 
                                membantu gerakan revolusi yang telah dimulai 
                                pada akhir tahun 1940‑an hingga revolusi itu 
                                meletus pada tahun 1952. Atas saran 
                                anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini 
                                ini pula ia  tertarik untuk memasuki 
                                organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di 
                                tubuh Ikhwan‑pun terjadi perdebatan yang sama 
                                dengan apa yang terjadi di Pemuda Muslimin. 
                                Kemudian Hanaafi kembali disarankan oleh para 
                                anggota Ikhwanu untuk bergabung dalam organisasi 
                                Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh 
                                Mesir Muda sama dengan kedua organisasi 
                                sebelumnya. Hal ini mengakibatkan 
                                ketidakpuasan  Hanafi atas cara 
                                berpikir kalangan muda Islam yang 
                                terkotak‑kotak. Kekecewaan ini menyebabkan ia 
                                memutuskan beralih konsentrasi untuk mendalami 
                                pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan 
                                perubahan sosial. Ini juga yang menyebabkan ia 
                                lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid 
                                Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip  
                                Keadilan Sosial dalam Islam. Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956 
                                Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk 
                                mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini 
                                ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir. 
                                Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan 
                                keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi. 
                                Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang 
                                berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib 
                                memiliki komitmen dan visi keislaman yang 
                                jelas. Kejadian‑kejadian yang ia alami pada masa 
                                ini, terutama yang ia hadapi di kampus, 
                                membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, 
                                pembaharu, dan reformis. 
                                Keprihatinan  yang muncul saat itu adalah 
                                mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan 
                                konflik internal terus 
terjadi. Tahun‑tahun berikutnya, Hanafi 
                                berkesempatan untuk belajar di Universitas 
                                Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966. 
                                Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif 
                                untuk mencari jawaban atas persoalan‑persoalan 
                                mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan 
                                sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis 
                                inilah ia dilatih untuk berpikir 
                                secara metodologis melalui kuliah‑kuliah 
                                maupun 
                                bacaan‑bacaan atau karya-karya orientalis. Ia 
                                sempat belajar pada seorang reformis Katolik, 
                                Jean Gitton; tentang metodologi berpikir, 
                                pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar 
                                fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis 
                                kesadaran dari Husserl, dan bimbingan 
                                penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari 
                                Profesor Masnion. Semangat Hanafi untuk mengembangkan 
                                tulisan-tulisannya tentang pembaharuan 
                                pemikiran Islam semakin tinggi sejak ia 
                                pulang dari Perancis pada tahun 1966. Akan 
                                tetapi, kekalahan Mesir dalam perang melawan 
                                Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu. 
                                la kemudian ikut 
                                serta dengan rakyat berjuang dan membangun 
                                kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi 
                                lain, untuk menunjang perjuangannya itu, Hanafi 
                                juga mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan 
                                akademis yang telah is peroleh dengan 
                                memanfaatkan media massa sebagai corong 
                                perjuangannya. Ia menulis banyak artikel untuk 
                                menangggapi masalah‑masalah aktual dan melacak 
                                faktor kelemahan umat Islam. Di waktu‑waktu luangnya, Hanafi mengajar 
                                di Universitas Kairo dan beberapa universitas di 
                                luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di 
                                Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian 
                                antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di 
                                Universitas Temple, Amerika Serikat. 
                                Kepergiannya ke Amerika, sesungguhnya 
                                berawal dari adanya keberatan pemerintah 
                                terhadap aktivitasnya di Mesir, sehingga ia 
                                diberikan dua pilihan apakah ia akan 
                                tetap meneruskan aktivitasnya itu atau 
                                pergi ke Amerika Serikat. Pada kenyataannya, 
                                aktivitasnya yang baru di Amerika memberinya 
                                kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog 
                                antaragama dengan revolusi. 
                                Baru setelah kembali dari 
                                Amerika ia mulai menulis tentang pembaruan 
                                pemikiran Islam. la kemudian memulai penulisan 
                                buku Al‑Turats wa al-Tajdid. Karya ini, 
                                saat itu, belum sempat ia selesaikan karena ia 
                                dihadapkan pada gerakan anti‑pemerintah Anwar Sadat yang 
                                pro-Barat dan “berkolaborasi” dengan Israel. la 
                                terpaksa harus terlibat untuk membantu 
                                menjernihkan situasi melalui ulisan‑tulisannya 
                                yang berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981. 
                                Tulisan-tulisannya itulah yang kemudian 
                                tersusun menjadi buku 
                                Al Din wa AI‑ Tsaurah. Sementara itu, 
                                dari tahun 1980 sampai 1983 ia menjadi profesor 
                                tamu di Universitas Tokyo, tahun 1985 di 
                                Emirat Arab. Ia pun diminta untuk merancang 
                                berdirinya Universitas Fes ketika 
                                ia mengajar di 
                                sana pada tahun‑tahun 1983‑1984. Hanafi berkali‑kali mengunjungi 
                                negara‑negara Belanda, Swedia, Portugal, 
                                Spanyol, Perancis, Jepang, India, Indonesia, 
                                Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya antara tahun 
                                1980‑1987. Pengalaman pertemuannya dengan 
                                para pemikir besar di negara‑negara tersebut 
                                telah menambah wawasannya untuk semakin tajam 
                                memahami persoalan‑persoalan yang dihadapi oleh 
                                dunia Islam. Maka, dari pengalaman hidup yang ia 
                                peroleh sejak masih 
                                remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu 
                                besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu, 
                                meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan 
                                diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia pun 
                                banyak terlibat langsung 
                                dalam kegiatan‑kegiatan pergerakan-pergerakan 
                                yang ada di Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam 
                                bidang akademis dan intelektual, baik secara formal maupun 
                                tidak, dan pertemuannya dengan para pemikir 
                                besar dunia semakin mempertajam analisis dan 
                                pemikirannya sehingga mendorong hasratnya untuk 
                                terus menulis dan mengembangkan 
                                pemikiran-pemikiran baru untuk membantu 
                                menyelesaikan persoalan‑persolan besar umat 
                                Islam.   Perkembangan Pemikiran dan 
                                Karya‑Karyanya Untuk memudahkan uraian pada bagian 
                                ini, kita dapat mengklasifikasikan karya‑karya 
                                Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang 
                                dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih 
                                dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Penode 
                                pertama berlangsung pada tahun‑tahun 1960‑an; 
                                periode kedua pada tahun‑tahun 1970‑an, dan 
                                periode ketiga dari tahun‑tahun 1980‑an sampai 
                                dengan 1990‑an. Pada awal dasawarsa 1960‑an pemikiran 
                                Hanafi dipengaruhi oleh faham‑faham dominan yang 
                                berkembang di Mesir, yaitu 
                                nasionalistik‑sosialistik populistik yang 
                                juga dirumuskan sebagai ideologi Pan 
                                Arabisme, dan oleh situasi 
                                nasional yang kurang menguntungkan setelah 
                                kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada 
                                tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula 
                                (1956‑1966), sebagaimana telah dikemukakan, 
                                Hanafi sedang berada  dalam masa-masa 
                                belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi 
                                lebih banyak lagi menekuni bidang‑bidang 
                                filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan 
                                hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi 
                                pemikiran Islam. Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama 
                                berada di Perancis ia mengadakan penelitian 
                                tentang, terutama, metode interpretasi sebagai 
                                upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori 
                                hukum Islam, Islamic legal theory) 
                                dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk 
                                memahami agama dalam konteks realitas 
                                kontemporer. Penelitian itu sekaligus 
                                merupakan upayanya untuk meraih gelar doktor pada Universitas 
                                Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis 
                                disertasi yang berjudul Essai sur la Methode 
                                d' Exegese (Esai tentang Metode 
                                Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu 
                                memperoleh 
                                penghargaan sebagai karya iliniah terbaik di 
                                Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas 
                                Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih 
                                pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund 
                                Husserl. Pada fase awal pemikirannya iru, 
                                tulisan‑tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah 
                                murni. Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai 
                                berbicara tentang keharusan Islam untuk 
                                mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif 
                                dan berdimensi pembebasan (taharrur, 
                                liberation). Ia mensyaratkan 
                                fungsi pembebasan jika memang itu yang 
                                diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat 
                                pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan 
                                sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang 
                                populistik adalah manifestasi kehidupannya dan 
                                kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep 
                                utamanya. Hanafi sampai 
                                pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi 
                                orientatif bagi ideologi populistikyang 
                                ada. Pada akhir periode ini, dan berlanjut 
                                hingga awal periode 1970‑an, Hanafi juga 
                                memberikan perhatian utamanya untuk mencari 
                                penyebab kekalahan umat Islam dalam 
                                perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena 
                                itu, tulisan‑tulisannya lebih bersifat populis. 
                                Di awal periode 1970‑an, ia banyak menulis 
                                artikel di berbagai media massa, seperti Al 
                                Katib, Al-Adab, Al‑Fikr al-Mu’ashir, 
                                dan Mimbar Al‑Islam. Pada 
                                tahun 1976, tulisan‑tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku 
                                dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina 
                                al-Mu’ashir. Buku ini memberikan deskripsi 
                                tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis 
                                tentang tugas para pemikir dalam menanggapi 
                                problema umat, dan tentang pentingnya 
                                pembaruan pemikiran Islam untuk 
                                menghidupkan kembafi khazanah tradisional Islam. Kemudian, pada 
                                tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu 
                                `ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua 
                                ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat 
                                untuk melihat bagaimana mereka memahami 
                                persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan 
                                pembaruan. Beberapa 
                                pemikir Barat yang ia singgung itu antara lain 
                                Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Unamuno, Karl 
                                Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund Husserl, 
                                dan Herbert Marcuse. Kedua buku itu secara keseluruhan 
                                merangkum dua pokok pendekatan analisis yang 
                                berkaitan dengan sebab‑sebab kekalahan umat 
                                Islam; memahami posisi umat lslam sendiri yang 
                                lemah, dan memahami posisi Barat yang superior. 
                                Untuk yang pertama penekanan diberikan pada 
                                upaya pemberdayaan umat, terutama dari segi pola 
                                pikirnya, dan bagi yang kedua ia berusaha untuk 
                                menunjukkan bagaimana menekan superioritas Barat 
                                dalam segala aspek kehidupan. Kedua pendekatan 
                                inilah yang nantinya melahirkan dua pokok 
                                pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah 
                                karyanya, yaitu Al-Turats wa al‑Tajdid 
                                (Tradisi dan Pembaruan), dan Al‑Istighrab 
                                (Oksidentalisme). Pada periode ini, yaitu antara 
                                tahun‑tahun 1971-1975, 
                                Hanafi juga menganalisis sebab‑sebab ketegangan 
                                antara berbagai kelompok kepentingan di Mesir, 
                                terutama antara kekuatan Islam radikal dengan 
                                pemerintah.    Pada saat 
                                yang sama situasi politik Mesir mengalami 
                                ketidakstabilan yang ditandai dengan beberapa 
                                peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap 
                                Anwar Sadat yang pro-Barat dan memberikan 
                                kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada 
                                Oktober 1981. Keadaan 
                                itu membawa Hanafi pada pemikiran bahwa 
                                seorang ilmuan juga harus mempunyai tanggung 
                                jawab politik terhadap nasib bangsanya. 
                                Untuk itulah kemudian ia 
                                menulis Al‑Din wa al‑Tsaurah fi Mishr 
                                1952‑1981. Karya ini terdiri dari 8 jilid 
                                yang merupakan himpunan berbagai artikel yang 
                                ditulis antara tahun 1976 sampai 1981 dan 
                                diterbitkan pertama kali pada tahun 1987. Karya 
                                itu berisi pembicaraan dan analisis tentang 
                                kebudayaan nasional dan hubungannya dengan 
                                agama, hubungan antara agama dengan perkembangan 
                                nasioanlisme, tentang gagasan mengenai gerakan 
                                "Kiri Keagamaan" yang 
                                membahas gerakan-gerakan keagamaan kontemporer, 
                                fundamentalisme Islam, serta "Kiri Islam dan 
                                Integritas Nasional". Dalam analisisnya Hanafi 
                                menemukan bahwa salah satu penyebab utama 
                                konflik berkepanjangan di Mesir adalah 
                                tarik-menarik antara ideologi Islam dan Barat 
                                dan ideologi sosialisme. Ia juga memberikan 
                                bukti‑bukti penyebab munculnya berbagai 
                                tragedi politik dan, terakhir, 
                                menganalisis 
                                penyebab munculnya radikalisme 
                                Islam. Karya‑karya lain yang ia tulis pada 
                                periode ini adalah Religious Dialogue and 
                                Revolution dan Dirasat 
                                al-Islamiyyah.  Buku pertama berisi 
                                pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972‑1976 
                                ketika ia berada di Amerika 
                                Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun 
                                1977. Pada bagian 
                                pertama buku ini ia merekomendasikan 
                                metode hermeneutika sebagai 
                                metode dialog antara Islam, Kristen, dan 
                                Yahudi. Sedangkan bagian 
                                kedua secara khusus membicarakan hubungan antara 
                                agama dengan 
                                revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan 
                                fenomenologi sebagai metode untuk menyikapi 
                                dan menafsirkan realitas umat Islam. Sementara itu Dirasat Islamiyyah, 
                                yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun 
                                1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap 
                                ilmu‑ilinu keislaman klasik, seperti ushul 
                                fikih, ilmu‑ilmu ushuluddin, dan filsafat. 
                                Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat 
                                perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya 
                                rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk 
                                disesuaikan dengari realitas 
                                kontemporer. Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 
                                1980‑an sampai dengan awal 1990‑an, 
                                dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang 
                                relatif lebih stabil ketimbang masa‑masa 
                                sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai 
                                menulis Al-Turats wa al‑Tajdid yang 
                                terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini 
                                merupakan landasan teoretis yang memuat 
                                dasar‑dasar ide pembaharuan dan 
                                langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al- 
                                Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah 
                                tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto 
                                politik" yang berbau ideologis, sebagaimana 
                                telah saya kemukakan secara singkat di 
                                atas. Jika Kiri Islam baru merupakan 
                                pokok‑pokok pikiran yang belum memberikan 
                                rincian dari program pembaruannya, buku Min 
                                Al‑Aqidah ila Al‑Tsaurah (5 jilid), yang 
                                ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru 
                                terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian 
                                terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia 
                                canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang 
                                terdahulu. Oleh karena itu, 
                                bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan 
                                sebagai karya Hanafi yang paling 
                                monumental. Satu bagian pokok bahasan yang sangat 
                                penting dari buku ini adalah gagasan 
                                rekonstruksi ilmu kalam. Pertama‑tama ia mencoba 
                                menjelaskan seluruh karya dan aliran ilmu kalam, 
                                baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan 
                                metodologi maupun perkembangannya. Lalu ia 
                                melakukan analisis untuk melihat kelebihan dan 
                                kekurangannya, terutama relevansinya dengan 
                                konteks modernitas. Salah satu kesimpulannya 
                                adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat 
                                teoretis, elitis dan statis secara konsepsional. 
                                Ia merekomendasikan sebuah teologi atau ilmu 
                                kalam yang antroposentris, populis, dan 
                                transformatif. Selanjutnya, pada tahun‑tahun 
                                1985‑1987, Hanafi menulis banyak artikel 
                                yang ia presentasikan dalam berbagai 
                                seminar di beberapa negara, seperti Amerika 
                                Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah, 
                                Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu 
                                kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang 
                                berjudul Religion, Ideology, and 
                                Development  yang terbit pada tahun 
                                1993. Beberapa artikel lainnya juga 
                                tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam 
                                in the Modern World (2 jilid). Selain berisi 
                                kajian‑kajian agama dan filsafat, dalam 
                                karya-karyanya yang terakhir pemikiran Hanafi 
                                juga berisi kajian‑kajian ilmu sosial, 
                                seperti ekonomi dan teknologi. Fokus pemikiran Hanafi pada karya 
                                karya terakhir ini lebih tertuju pada upaya 
                                untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya 
                                dalam pembangunan di negara-negara dunia 
                                ketiga.                 Pada perkembangan selanjutnya, Hanafi 
                                tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu 
                                melainkan tentang paradigma baru yang sesuai 
                                dengan ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan 
                                hakiki kaum muslimin. Sublimasi pemikiran dalam 
                                diri Hanafi ini antara lain didorong oleh maraknya 
                                wacana nasionalisme-pragmatik Anwar Sadat yang menggeser 
                                popularitas paham sosialisme Nasser di Mesir 
                                pada dasawarsa 1970‑an. Paradigma baru ini ia 
                                kembangkan sejak paroh kedua dasawarsa 1980‑an 
                                hingga sekarang. Pandangan universalistik ini di satu sisi 
                                ditopang oleh upaya pengintegrasian wawasan 
                                keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam 
                                upaya penegakan martabat manusia melalui 
                                pencapaian otonomi individual bagi warga 
                                masyarakat; penegakan kedaulatan hukum, 
                                penghargaan pada HAM, dan penguatan 
                                (empowerment) bagi kekuatan massa rakyat 
                                jelata. Pada sisi lain, paradigma universalistik 
                                yang diinginkan Hanafi harus dimulai dari 
                                pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. 
                                Orang Islam, menurut Hanafi, tidak butuh hanya 
                                sekadar menerima dan mengambil alih paradigma 
                                ilmu pengetahuan modern Barat yang bertumpu pada 
                                materialisme, melainkan juga harus mengikis 
                                habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu 
                                pengetahuan Arab. Seleksi dan dialog konstruktif 
                                dengan peradaban Barat itu dibutuhkan untuk 
                                mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya. 
                                Dan upaya pengenalan itu sebagai unit kajian 
                                ilmiah, berbentuk ajakan kepada ilmu-ilmu 
                                kebaratan (al-Istighrab, 
                                Oksidentalisme) sebagai imbangan 
                                bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq, 
                                Orientalisme). Oksidentalisme dimaksudkan untuk 
                                mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, 
                                sehingga dari pendekatan ini akan muncul 
                                kemampuan mengembangkan kebijakan yang 
                                diperlukan kaum muslimin dalam ukuran jangka 
                                panjang. Dengan 
                                pandangan ini Hassan Hanafi memberikan harapan 
                                Islam untuk menjadi mitra bagi 
                                peradaban-peradaban lain dalam penciptaan 
                                peradaban dunia baru dan 
                                universal.   Sekitar Pandangan Hassan Hanafi 
                                tentang Teologi Tradisional 
                                Islam Di muka telah kita lihat, meskipun dalam 
                                beberapa hal menolak dan mengkritik Barat, 
                                Hanafi banyak menyerap dan mengonsentrasikan 
                                diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan 
                                modern. Oleh karena itu, Shimogaki 
                                mengkatagorikan Hanafi sebagai seorang 
                                modernis‑liberal, karena ide‑ide liberalisme 
                                Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan 
                                telah banyak mempengaruhinya. Pemikiran Hanafi sendiri, menurut Isaa J. 
                                Boulatta dalam Trends and lssues in 
                                Contemporary Arabs Thought bertumpu pada 
                                tiga landasan: I) tradisi atau sejarah Islam; 2) 
                                metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial 
                                Marxian. Dengan demikian 
                                dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam 
                                dapat disebut sebagai pengetahuan yang terbentuk 
                                atas dasar watak sosial masyarakat (socially 
                                contructed) berkelas yang merupakan ciri 
                                khas tradisi Marxian. Dalam gagasannya tentang rekonstruksi 
                                teologi tradsional, Hanafi menegaskan perlunya 
                                mengubah orientasi perangkat konseptual sistem 
                                kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan 
                                konteks sosial‑politik yang terjadi. 
                                Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam 
                                konteks sejarah ketika inti keislaman sistem 
                                kepercayaan, yakni 
                                transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte‑sekte dan budaya 
                                lama. Teologi itu dimaksudkan untuk 
                                mempertahankan doktrin utama dan untuk 
                                memelihara kemurniannya. Dialektika berasal dari 
                                dialog dan mengandung pengertian saling menolak; 
                                hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan 
                                dialektika konsep‑konsep tentang sifat 
                                masyarakat atau tentang 
                                sejarah. Sementara itu konteks sosio‑politik 
                                sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai 
                                kekalahan di berbagai medan pertempuran 
                                sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, lanjut 
                                Hanafi, kerangka konseptual lama masa‑masa 
                                permulaan, yang berasal dari 
                                kebudayaan klasik 
                                harus diubah menjadi kerangka konseptual baru, 
                                yang berasal dari kebudayaan modern. Teologi merupakan refleksi dari wahyu 
                                yang memanfaatkan kosakata zamannya dan 
                                didorong oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat; 
                                apakah kebutuhan dan tujuan itu merupakan 
                                keinginan obyektif atau semata-mata.manusiawi, 
                                atau barangkali hanya 
                                merupakan cita‑cita dan nilai atau pernyataan 
                                egoisme murni. 
                                Dalam konteks ini, teologi 
                                merupakan basil proyeksi kebutuhan dan tujuan 
                                masyarakat manusia ke dalam teks-teks kitab 
                                suci. Ia.menegaskan, tidak ada arti‑arti yang 
                                betul‑betul berdiri sendiri untuk setiap 
                                ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata Hanafi, 
                                adalah sejarah proyeksi keinginan manusia 
                                ke dalam Kitab Suci itu. Setiap ahli teologi 
                                atau. penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka 
                                lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia 
                                menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada 
                                naskah‑naskah itu. Teologi dapat berperan sebagai suatu 
                                ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau 
                                sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para 
                                penindas. Teologi 
                                memberikan fungsi legitimatif bagi setiap 
                                perjuangan kepentingan dari masing‑masing 
                                lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hanafi 
                                menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran 
                                obyektif atau arti yang berdiri sendiri, 
                                terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran 
                                teologi, dengan demikian, adalah kebenaran 
                                korelasional atau, dalam bahasa Hanafi, 
                                persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri 
                                sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu 
                                berupa nilai‑nilai manusiawi yang universal. 
                                Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat 
                                obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang 
                                sama pada setiap ruang dan waktu. Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi 
                                teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya 
                                tradisi‑tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk 
                                mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang 
                                datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang 
                                terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang 
                                terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi 
                                pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas 
                                duniawi yang sekarang. Dialektika harus 
                                dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan 
                                hanya terdiri atas konsep‑konsep dan 
                                argumen‑argumen antara individu‑individu, 
                                melainkan dialektika berbagai masyarakat dan 
                                bangsa di antara kepentingan‑kepentingan yang 
                                bertentangan. Rekonstruksi itu bertujuan untuk 
                                mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi 
                                harapan-harapan dunia muslim terhadap 
                                kemendekaan, kebebasan, kesamaan sosial, 
                                penyatuan kembali identitas, 
                                kemajuan dan 
                                mobilisasi massa. Teologi baru 
                                itu harus 
                                mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai 
                                tujuan perkataan 
                                (kalam) dan sebagai analisis 
                                percakapan. Karena itu pula harus tersusun 
                                secara kemanusiaan. Asumsi dasar dari pandangan teologi 
                                semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan 
                                Hanafi, adalah protes, oposisi dan 
                                revolusi. Baginya, Islam 
                                memiliki makna ganda. Pertama, Islam 
                                sebagai ketundukan; yang diberlakukan oleh 
                                kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam 
                                sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh 
                                mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang 
                                miskin. Jika untuk mempertahankan 
                                status-quo suatu rezim politik, 
                                Islam ditafsirkan sebagai tunduk. 
                                Sedang jika untuk memulai 
                                suatu perubahan sosial politik melawan 
                                status‑quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai 
                                pergolakan. Secara generik, istilah aslama 
                                adalah menyerahkan diri kepada Tuhan, bukan 
                                kepada apa pun yang lain. Pengertian ini secara 
                                langsung menyatakan sebuah tindakan ganda; Yaitu 
                                menolak segala kekuasaan  
                                yang tidak 
                                transendental dan menerima kekuasaan 
                                transendental. Makna ganda dari 
                                kata kerja aslama dan kata benda 
                                Islam ini, menurut Hanafi, dengan sengaja 
                                disalahgunakan untuk mendorong Islam cenderung 
                                pada salah satu sisinya, yakni tunduk. Maka 
                                rekonstruksi teologi tradisional itu berarti 
                                pula untuk menunjukkan aspek lain dari Islam 
                                yang, menurutnya, sengaja disembunyikan, yakni 
                                penolakan, oposisi den pergolakan yang merupakan 
                                kebutuhan aktual masyarakat muslim. Di dalam hal 
                                ini, karena selalu terkait dengan masyarakat, 
                                refleksi atas nilai‑nilai universal agama pun 
                                mengikuti bentuk dan struktur kemasyarakatan, 
                                struktur sosial dan kekuatan politik. 
                                [www.islamlib.com]   
                                
 
                                 
                                 
                                 
                                [4]Pengaruh-pengaruh 
                                intelektual dari tokoh-tokoh tersebut terlihat 
                                pada karya-karya awalnya. Hal ini juga 
                                diterangkan dalam, misalnya, Hassan  
                                Hanafi, Al‑Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr 
                                1952‑1981, Vol. VII, (Kairo: A1-Maktabat 
                                a1-Madbuliy, I987), h. 
                                332. 
                                [5]Lihat, Hassan 
                                Hanafi,  Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina 
                                al-Mu`ashir, (Beirut: Dar al-Tanwir li 
                                al‑Thiba`at al‑Nasyr, I983), cet. ke‑2, h. 
                                7 
                                 
                                [7]Lihat lebih lanjut, 
                                Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan 
                                Eksperimentasinya" (selanjutnya disebut 
                                Eksperimen), dalam Kazuo Shimogaki, Op 
                                Cit., h. Xi. 
                                 
                                 
                                [10]Lihat Abdurrahman Wahid, 
                                "Pengantar'” (selanjutnya disebut 
                                Pengantar), dalam ldeologi, h, 
                                xi. 
                                [11]Hassan Hanafi, 
                                Qadhaya Mu`ashirat fi al‑Fikr al‑Gharb 
                                al‑Mu’ashir, (Beirut: Al-Muassasat 
                                al-Jami’iyyat li Dirasat wa al-Nasyr wa 
                                al-Tauzi, 1990), cet. 
                                ke‑4. 
                                 
                                [13]Arthur Schopenhauer, 
                                seorang filosof Barat modern, pernah memberikan 
                                gagasan agar teologi juga berarti bermakna dan 
                                berisi Antropologi. Maksudnya, ia menghendaki 
                                agar teologi tidak melulu berbicara tentang 
                                Tuhan, tetapi harus muIai berbicara tentang 
                                manusia. 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                [18]Lihat catatan kaki (1) 
                                buku Shimogaki, Between Modernity and 
                                Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan 
                                Hanafi's Thought:  A Critical Reading 
                                (selanjutnya disebut Between 
                                Modernity), (Japan: The Institute of Middle 
                                Eastern Studies, 1988), h. 
                                14. 
                                [19]Issa J. Boullatta, 
                                "Hassan Hanafi: Terlalu Teoretis untuk 
                                Dipraktekkan", tulisan pendek yang 
                                diterjernahkan oleh Saiful Muzani dalam 
                                Islamika 1, g. 
21. 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
								. 
                                 |