| Pendidikan 
                                perempuan harus ditekankan pada kemandirian 
                                supaya mereka paham dan menjadi  dirnyai 
                                sendiri, bukan menjadi pelayan bagi kaum lelaki 
                                saja (Qasim Amien).  Pendahuluan Mengangkat masalah 
                                relasi gender dan feminisme terasa melelahkan, 
                                sekaligus mengasyikkan. Melelahkan karena 
                                seakan-akan perbincangan ini tidak akan berakhir 
                                dalam suatu ujung dan titik akhir tertentu. 
                                Mengasyikkan karena bahasan ini selalu 
                                memberikan nuansa dan wacana baru dengan 
                                jargon-jargon yang terus bermunculan dan 
                                berkembang, sehingga kita tidak pernah jenuh 
                                membahasnya. Maka, perbincangan seputar 
                                diskursus gender ini adalah pokok masalah yang 
                                “membumi”, artinya, tidak saja menjadi wacana 
                                dan fenomena bagi kelompok atau golongan 
                                tertentu, yang dibatasi garis geografis maupun 
                                ideologis, namun lebih merupakan permasalahan 
                                global yang lintas ruang dan 
                                waktu. Di Jepang, kita akan 
                                menemui Michiko, sebagai tokoh pergerakan kaum 
                                perempuan, di Maroko kita berjumpa dengan 
                                pemikiran Fatimma Mernissi. Ashgar Ali Engineer 
                                dan Rifat Hassan dari India, Amina Wadud Muhsin 
                                dari Malaysia. Dan di Indonesia sendiri kita 
                                temui para pakar dan pemerhati gender, sejak 
                                periode pra-kemerdekaan. Kita bisa runtut dari 
                                RA. Kartini, dan Dewi Sartika sebagai pioner 
                                “feminisme” kala itu, dan untuk saat kini, kita 
                                bisa menyebut nama Wardah Hafid, Nurul Agustina, 
                                Ratna Megawangi, hingga mantan first lady 
                                Indonesia, Sinta Nuriyah Abd Rahman Wahid berada 
                                di garda terdepan membela dan membekali kaum 
                                perempuan. Hingga tidak heran muncul “Teologi 
                                Perempuan” yang menjadi “akidah-akidah” baru 
                                yang mengagendakan pembebasan dan pemberdayaan 
                                kaum Hawa.    Di dunia Arab sendiri, 
                                khususnya Mesir, masalah relasi gender ini 
                                menjadi bagian problem-problem sentral 
                                (al-isykaliyât al-markaziyah) dari 
                                pergolakan pemikiran Mesir. Kita mengenal 
                                Huda Sya’rawi, Zaenab Fawwaz, Nawwal Sa’dawi, 
                                May Ziyadah, Aisha Taymoriah, dan yang lain. 
                                Namun kalau kita coba menarik sejarah aksi-aksi 
                                para feminis ini ke belakang, maka, Qasim 
                                Amien-lah, yang menciptakan mainstream 
                                dan aksi-aksi kaum Hawa ini. Karena itu, 
                                pada saat kita berbicara tentang gerakan 
                                feminisme di Arab maka tidak akan lepas dari 
                                pembicaraan tentang Qasim Amien, seorang tokoh 
                                yang berjasa dalam pergerakan pembebasan kaum 
                                perempuan Arab khususnya dan kaum perempuan 
                                muslimah di Negara-negara Dunia Ketiga pada 
                                umumnya. Qasim Amien dijuluki sebagai Bapak 
                                “Feminisme” Arab. Namanya dikenang sebagai 
                                pejuang kebebasan perempuan dari segala bentuk 
                                diskriminasi. Dan pemikirannya banyak 
                                mempengaruhi para pejuang pergerakan feminisme 
                                yang datang setelah zamannya. Sebagaimana biasanya, 
                                seperti pemikiran tokoh-tokoh yang lain dalam 
                                bidang apapun, tidak akan lepas dari 
                                permasalahan pro dan kontra terhadap 
                                pemikirannya, apalagi gerakan dan pemikirannya 
                                termasuk gerakan yang mengusung reformasi yang 
                                gegap gempita pada saat itu. Demikian halnya 
                                pemikiran Qasim Amien, yang berangkat dari 
                                analisa sosial, hingga mengkritisi teks-teks 
                                agama hingga dipahami sebagai tradisi yang 
                                profan dan tunduk pada nilai sosial dan sejarah. 
                                Pemikiran Qasim mampu meruntuhkan “tembok” 
                                kejumudan berpikir dan menjadi “shock 
                                theraphy” dari permasalahan-permasalahan 
                                yang menjadi “blunder” dalam 
                                masyarakat. Ide-ide perubahan 
                                sosial yang digulirkan oleh Qasim Amin memang 
                                bisa dikatakan sebuah pembaruan yang radikal 
                                jika kita lihat dalam konteks sosio-kultural 
                                pada waktu itu. Karena bagaimanapun juga, 
                                ide-ide tersebut berani “menantang arus” dari 
                                mainstream (arus utama) masyarakat, baik 
                                para ulama-ulama Al-Azhar maupun golongan 
                                pemerintah. Dalam artikel kali 
                                ini, kita akan mengkaji pemikiran-pemikiran 
                                Qasim Amien dari dimensi al-ishlâh 
                                al-ijtimâ‘î (reformasi sosial), di mana 
                                salah satu agenda untuk mensukseskan reformasi 
                                ini dengan “merombak” keadaan kaum perempuan 
                                sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang 
                                sering “terdiskriminasi”, baik dengan “kedok” 
                                syariat, mitos, adat-istiadat atau pun 
                                budaya. Menurut Qasim Amien 
                                masalah perempuan adalah akibat dari konstruksi 
                                sosial (social contruc) yang sering 
                                menjadi penyebab munculnya diskriminasi gender. 
                                Selanjutnya, Qasim Amien berusaha untuk mencari 
                                solusi dan terobosan-terobosan baru demi 
                                memperbaiki keadaan umatnya yang terpuruk dalam 
                                jurang kemunduran dan 
                                kejumudan.   Sekelumit Biografi 
                                Qasim Amien Ketika kita mencoba 
                                menganalisa pemikiran seorang tokoh, maka, usaha 
                                ini tidak akan lepas dari keharusan untuk 
                                mengetahui sekelumit sejarah dan catatan 
                                hidupnya yang banyak mempengaruhi dan 
                                melatarbelakangi struktur dan “ideologi” 
                                pemikiran-pemikirannya. Tujuan dari “pembacaan” 
                                ini agar kita bisa mengungkap pemikiran tokoh 
                                tersebut dengan lebih objektif dan tepat, 
                                sehingga kita bisa terhindar dari “analisis 
                                ideologis” yang melahirkan analisa yang 
                                subjektif dan menyudutkan. Di bawah ini 
                                sekelumit ringkasan riwayat hidup Qasim Amien 
                                dengan menekankan segi pendidikan dan 
                                sosio-kulturalnya yang banyak mempengaruhi 
                                pemikiran-pemikiran beliau, tentang realitas 
                                sosio-kultural masyarakat Mesir secara umum, dan 
                                nasib perempuan secara khusus. Qasim  Amien, 
                                dilahirkan di sebuah dusun di daerah Mesir dari 
                                seorang ayah keturunan Turki Ustmani dan dari 
                                ibu yang berdarah asli Mesir. Beliau lahir pada 
                                awal bulan Desember tahun 1863 M. Setelah 
                                menamatkan Sekolah Dasar di Alexandria, 
                                keluarganya hijrah ke Kairo. Pada tahun 1881, ia 
                                mencapai gelar licance dari Fakultas 
                                Hukum dan Administrasi dari sebuah akademi. Pada 
                                waktu itu, Qasim Amien masih berumur 20 tahun. 
                                Pada masa kuliahnya itu, ia mulai kenal dengan 
                                sosok Jamaluddin Al-Afgahani dan aliran-aliran 
                                pemikirannya yang memang berkembang di Mesir 
                                pada saat itu. Dengan bekal gelar 
                                licance-nya ia bekerja sebagai pengacara 
                                pada sebuah kantor milik Musthafa Fahmi Basya, 
                                seorang pengacara besar pada saat itu yang 
                                memang sudah memiliki hubungan baik dengan orang 
                                tua Qasim. Melalu perantara kantornya, Qasim 
                                berkesempatan untuk melanjutkan studi di 
                                Perancis atas sponsor dari Musthafa Fahmi Basya. 
                                Dalam masa perantauannya di Paris, di Mesir 
                                sendiri pada saat itu terjadi Revolusi Arab yang 
                                dipimpin murid-murid Jamaluddin al-Afghani. 
                                Revolusi ini berakhir dengan penjajahan Mesir 
                                oleh tentara Inggris dan tokoh tokoh revolusi 
                                tersebut dihadapkan ke Meja Hijau. Jamaluddin 
                                al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh 
                                diasingkan dari Mesir, dan pada akhirnya 
                                keduanya menetap di Paris. Di sinilah Qasim 
                                kembali menjalin hubungan dengan Al-Afghani dan 
                                juga menjadi penerjemah pribadi bagi Muhammad 
                                Abduh. Selayaknya orang asing di 
                                kota Paris, ia berusaha untuk bisa berinteraksi 
                                dan beradaptasi dengan masyarakat Perancis. 
                                Namun karena beliau memiliki kepribadiannya yang 
                                mencirikan kepribadian bangsa Timur; pemalu dan 
                                tertutup, dan terdapat perbedaan yang sangat 
                                jauh antara budaya Perancis dan budaya Mesir, 
                                maka ia tidak bisa bergaul dan berinteraksi 
                                dengan bebas dan luas. Namun, sebagaimana 
                                lazimnya kehidupan mahasiswa dan mahasiswi di 
                                kampus, Qasim Amien juga memiliki teman 
                                perempuan yang istimewa. Dari kebersamaannya 
                                dengan gadis Perancis tadi, disinyalir mulai 
                                tumbuh benih-benih kepeduliannya terhadap kaum 
                                hawa, yang nantinya membidani perjuangannya di 
                                Mesir yang penuh dengan bentuk interaksi sosial 
                                yang diskriminatif. Kekasihnya menjadi sumber 
                                inspirasi dan penggugah kesadaran bahwa kaum 
                                perempuan sebetulnya memiliki kemampuan yang 
                                selama ini “tidak pernah difungsikan”. Sekembalinya dari 
                                Paris pada tahun 1885, ia diangkat menjadi 
                                hakim. Kariernya sebagai seorang hakim semakin 
                                meningkat sehingga pada tahun 1889, ia diangkat 
                                menjadi walikota di Bani Suef, sebuah propinsi 
                                di Mesir. Dari daerah ini ia memulai 
                                pergerakannnya dalam mengadakan 
                                perbaikan-perbaikan di segala bidang sosial 
                                (ishlâh ijtimâ'î). Jasa-jasanya yang 
                                patut diacungi jempol pada saat itu, ia berupaya 
                                keras membebaskan para narapida 
                                politik. Tahun 1894, Qasim Amien 
                                menikah dengan seorang gadis pilihannya yang 
                                masih memiliki darah keturunan Turki, Zaenab 
                                Amien Taufiq. 
                                Dan pada tahun yang sama ia mulai aktif dalam 
                                kegiatan tulis menulis, karya pertamanya lahir, 
                                “Al-Mashriyyûn” (Les Egyptiens) dengan 
                                menggunakan bahasa Perancis. Buku ini adalah 
                                counter terhadap tulisan seorang tokoh 
                                Perancis, Duc D'harcouri, yang mengecam realitas 
                                sosio-kultural masyarakat Mesir. Karya perdana 
                                ini rupayanya bisa menggenjot kreatifitas Qasim 
                                Amien dalam dunia tulis-menulis. Selanjutnya lahir karya-karya Qasim 
                                Amien yang menjadi magnum opus-nya, 
                                yaitu, “Tahrîr al-Mar’ah'” (Pembebasan 
                                Perempuan) terbit pada tahun 1899 dan 
                                “Al-Mar’ah Al-Jadîdah” (Perempuan Modern) 
                                yang terbit tahun 1900.   Qasim Amien di antara 
                                Pergumulan Pemikiran Islam di 
                                Mesir Dalam kajian 
                                sosiologi pemikiran, kita akan dikenalkan dua 
                                macam varian dari pergerakan-pergerakan 
                                pemikiran. Pertama, gerakan yang menjaga 
                                usul-usul (fundamen), tradisi dan agama secara 
                                rigid dan tertutup, varian ini biasanya 
                                dikenal dengan Front Tradisionalis-konservatif. 
                                Kedua, Font Reformis-liberal adalah 
                                gerakan yang mengkaji agama dan tradisi secara 
                                kritis, rasional dan liberal. Begitu juga halnya 
                                dengan permasalahan relasi gender, di satu sisi 
                                terdapat kelompok yang berusaha keras 
                                mempertahankan warisan kaum terdahulu 
                                (al-Sâbiqûn al-Awwalûn). Terlepas apakah 
                                warisan tersebut merupakan syariat murni atau 
                                hasil ijtihad manusia terhadap masalah-masalah 
                                kontekstual. Di tepi lain, suatu golongan 
                                berusaha mencari terobosan-terobosan baru, guna 
                                menyelesaikan problem kontekstual dengan 
                                mengkaji tradisi agama dan sosial secara kritis 
                                tanpa mengenyampingkan tradisi dan pengalaman 
                                hidup leluhurnya. Jika kita mencoba 
                                mengklasifikasikan posisi para feminis ke dalam 
                                dua golongan tersebut, yaitu 
                                Tradisionalis-konservatif dan Reformis-liberal, 
                                maka Qasim Amien masuk pada kelompok kedua. 
                                Ketika Qasim Amien mengadakan pembaruan di 
                                bidang sosial,—di antaranya permasalahan kaum 
                                perempuan— beliau menafsirkan kembali 
                                (reinterpretasi), dengan jalan mengkritisi, 
                                “dekonstruksi” dan rekonstruksi terhadap 
                                syariat-syariat Islam yang menjadi pemicu 
                                timbulnya diskriminasi dan subordinasi terhadap 
                                perempuan.  Dalam menyikapi 
                                pemikiran Qasim Amien, masyarakat Mesir pecah 
                                menjadi dua kubu. Pertama, kubu yang 
                                sangat mendukung pemikiran-pemikiran dan agenda 
                                pergerakan Qasim, secara penuh dan total yang 
                                akhirnya menimbulkan fanatisme terhadap 
                                pemikiran Qasim Amien. Menurut mereka, pemikiran 
                                Qasim Amien merupakan hasil ijtihad yang 
                                benar-benar positif, mengentaskan umat manusia 
                                dari Zaman Kegelapan (‘Ashr al-Dlalâm) 
                                menuju Zaman Terang-benderang (‘Ashr 
                                Tanwîr). Zaman ini memiliki beberapa 
                                identitas, di antaranya kebebasan kaum perempuan 
                                dari kekangan-kekangan dan terlepas dari 
                                pandangan negatif dan nyinyir dari kaum 
                                laki-laki. Kedua, kubu 
                                yang menyikapi pemikiran dan gerakan Qasim Amien 
                                dengan sikap skeptis, apatis bahkan antipati. 
                                Bagi mereka, pemikiran dan pergerakan tersebut 
                                tidak lain hanyalah bentuk lain dari 
                                westernalisasi terhadap budaya-budaya Timur, 
                                yang akan mengikis habis identitas budaya Timur 
                                itu sendiri. Sedangkan penulis 
                                sendiri tidak mau terjebak di dua sisi ini, 
                                karena, akan melahirkan pemikiran yang memihak, 
                                tidak objektif dan ekstrim. Seyogyanya pemikiran 
                                seorang tokoh diapresiasi sedemikian rupa, 
                                dengan “pisau analisis” yang “steril” terbebas 
                                dari “karat-karat” ideologi dan kepentingan 
                                kelompok.        Dari 
                                Analisa Sosial Menuju Pembebasan dan 
                                Pemberdayaan PerempuanDalam menyusun tesa-tesa 
                                pemikirannya hingga sampai pada suatu hipotesa 
                                yang siap disuguhkan, Qasim Amien lebih 
                                cenderung menyimpulkan suatu permasalahan 
                                menggunakan piranti-piranti analisa sosial dan 
                                data empirik dari interaksi beliau dengan 
                                masyarakat luas. Bagi beliau, teori-teori sosial 
                                dan hipotesa-hipotesa yang hanya lahir dari 
                                “atas meja” akan melahirkan teori dan kesimpulan 
                                yang cenderung “mengira-ngira”, tidak realistis, 
                                dan bahkan jauh dari nilai kebenaran. Kita bisa 
                                melihat, ketika beliau memberikan kritik pedas 
                                terhadap tulisan D'Harcouri tentang kondisi 
                                sosial masyarakat Mesir sebagai masyarakat 
                                Muslim yang terpuruk. Menurutnya, tesa-tesa 
                                dalam tulisan D'Harcouri itu—dapat dikatakan— 
                                sama sekali tidak mendekati kebenaran, karena ia 
                                (D'Harcouri) tidak berinteraksi langsung dengan 
                                masyarakat Mesir sehingga tidak tahu persis 
                                keadaan masyarakat Mesir sebenarnya. Jika 
                                realitanya demikian, bagaimana mungkin tesa-tesa 
                                D'Harcouri bisa “dicap” objektif? Jadi, bisa 
                                kita katakan bahwa pemikiran-pemikiran seseorang 
                                bermula dari analisa sosial yang tajam dan 
                                kritis dengan tetap melihat fenomena-fenomena 
                                sosial yang nampak. Selanjutnya, ia boleh 
                                “berijtihad” untuk  menyusun tesa-tesa demi 
                                memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan 
                                sosial yang dianggap wajib untuk 
                                diperbarui. Posisi Qasim sebagai 
                                hakim dan tokoh masyarakat pada waktu itu 
                                nampaknya lebih memberikan kesempatan baginya 
                                untuk mengadakan pembaruan di bidang sosial 
                                kemasyarakatan. Qasim juga merupakan salah 
                                seorang yang memberikan kontribusi besar 
                                terhadap teori-teori sosial. Namun, syarat utama 
                                suatu teori sosial, adalah, teori tersebut harus 
                                sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. 
                                Artinya, teori-teori sosial tersebut harus 
                                fleksibel, elastis, dan nisbi, jika suatu teori 
                                bisa direlisasikan pada suatu masa dan tempat 
                                tertentu, maka bisa jadi teori tersebut tidak 
                                dapat direalisasikan kembali pada masa dan 
                                tempat yang lain, karena tergantung pada 
                                kemaslahatan dan kebutuhan masyarakat yang 
                                plural, berbeda, dan bertentangan. Dengan kata 
                                lain, teori sosial-sosial tersebut—termasuk 
                                di dalamnya norma-norma agama— tidak boleh 
                                absolut, statis dan 
“otoriter”. Norma-norma agama yang 
                                bersifat tekstual, harus dicari “celah-celah” 
                                kontekstualnya. Misalnya, kewajiban hijâb 
                                bagi kaum perempuan yang termaktub dalam teks 
                                al-Quran, bukanlah semata-mata syariat agama 
                                Islam, namun bagi Qasim, hijâb lebih 
                                merupakan bentuk adat istiadat yang diwarisi 
                                bangsa-bangsa Arab kuno. Nah, dalam 
                                Islam, teori hijâb ini menjadi syariat 
                                karena sesuai dengan kondisi sosial-kultural 
                                masyarakat pada saat itu. Jika kondisi berubah, 
                                maka, tradisi ini boleh jadi tidak sesuai lagi. 
                                Dan ini berarti, jika hijab sudah tidak lagi 
                                mengandung unsur kemaslahatan sosial, maka kita 
                                bisa menggantikannya dengan solusi lain yang 
                                sesuai dengan zaman kita sekarang ini. Qasim Amien juga 
                                memberikan perhatian yang serius terhadap 
                                kondisi ekonomi masyarakat. Baginya,  
                                kondisi  ekonomi sangat mempengaruhi 
                                keadaan suatu masyarakat, lebih jauh lagi, 
                                ekonomi memiliki faktor dominan yang 
                                mempengaruhi kondisi masyarakat dari pada 
                                faktor-faktor lain, seperti; pendidikan, agama 
                                dan budaya. Dari kondisi ekonomi, kita bisa 
                                melacak sebab-sebab terjadinya diskriminasi 
                                perempuan. Misalnya, dalam skup permasalahan 
                                yang lebih sempit, yaitu, poligami. Komunitas 
                                masyarakat pada tataran ekonominya menengah ke 
                                atas akan lebih termotivasi melakukan poligami. 
                                Realita ini terjadi pada masyarakat Mesir. 
                                Masyarakat pedesaan yang kondisi ekonominya 
                                lemah dan pas-pasan, akan mengurangi 
                                kemungkinan menjamurnya tradisi poligami. 
                                Berbeda dengan masyarakat kota yang mempunyai 
                                pendapatan perkapita lebih besar. Premis ini 
                                dapat dibenarkan, pasalnya, masyarakat dengan 
                                pendapatan perkapita yang hanya bisa untuk 
                                mencukupi kebutuhan primernya, tidak akan 
                                terlalu ngoyo untuk memenuhi kebutuhan 
                                sekunder. Jangankan untuk kebutuhan yang 
                                sekunder, untuk kebutuhan primer saja mereka 
                                harus berjuang dan bekerja keras. Berbeda dengan 
                                masyarakat yang telah mencukupi kebutuhan 
                                primernya, mereka memiliki kesempatan lebih 
                                banyak memikirkan kebutuhan-kebutuhan 
                                sekunder. Namun, premis ini tidak 
                                selamanya dapat dibenarkan, karena, faktor 
                                ekonomi bukanlah satu-satunya faktor penentu 
                                bagi yang mengkonstruksi bentuk sosial 
                                masyarakat, tetapi, di samping itu masih banyak 
                                lagi terdapat variabel-veriabel yang lain, 
                                seperti tingkat pendidikan, ideologi masyarakat, 
                                dan budaya. Pada masa Qasim 
                                Amien, posisi kaum perempuan dalam keluarga dan 
                                masyarakat tidak lebih hanya sebagai konco 
                                wingking-nya laki-laki, artinya, tugas 
                                sosialnya hanyalah “sekedar” pelayan bagi 
                                seorang suami, seorang istri hanya bertugas 
                                menghidangkan makanan bagi sang suami, 
                                mengandung dan melahirkan anaknya, dan bahkan 
                                tidak jarang istri tidak mengetahui banyak hal 
                                tentang suaminya. Ia juga “hanya” ibu bagi 
                                anak-anaknya, tugasnya melahirkan, menyusui dan 
                                menyediakan kebutuhan-kebutuhan materi anak, 
                                tanpa ada bekal pengetahuan sedikitpun tentang 
                                pengasuhan dan pendidikan anak. Padahal, 
                                kualitas generasi umat sangat tergantung pada 
                                pendidikan anak, khususnya pendidikan yang 
                                ditanamkan ibu pada masa-masa perkembangan 
                                awal. Sedangkan nasib 
                                perempuan pada saat itu dalam kondisi yang 
                                terpuruk dan mengenaskan. Pendidikan sekolah 
                                hampir tidak pernah dirasakan kaum perempuan, 
                                pendidikan nonformal dari pihak keluarga dan 
                                lingkungan mereka hanya sekedar pembekalan untuk 
                                mengatur urusan dapur dan rumah tangga saja. 
                                Interaksi sosial bagi kaum perempuan pada saat 
                                itu dengan masyarakat luas hampir menjadi suatu 
                                hal yang mustahil, karena ia “terpenjara” di 
                                antara dinding-dinding rumah mereka sendiri. 
                                Keadaan yang ironis tersebut memasung kebebasan 
                                kaum perempuan, baik kebebasan berkehendak, 
                                berpikir dan berbuat yang semestinya menjadi hak 
                                asasi setiap insan. Perempuan terkekang dan 
                                tunduk di bawah kekuasaan kaum lelaki. Kondisi 
                                inilah yang menyentuh hati Qasim dan 
                                mendorongnya untuk berjuang demi melakukan 
                                pembaruan sosial ke arah yang lebih 
                                “memanusiakan” manusia. Qasim sadar bahwa 
                                fenomena seperti ini merupakan salah satu sebab 
                                utama keterbelakangan dan kejumudan masyarakat 
                                Islam di Arab. Menurut Qasim, kebebasan 
                                kaum perempuan adalah masalah pertama yang harus 
                                diperjuangkan. Karena bagaimanapun, kebebasan 
                                merupakan kekayaan termahal bagi setiap manusia 
                                yang memiliki hak untuk merdeka dan bebas. Namun 
                                perlu menjadi catatan, kebebasan yang ditekankan 
                                Qasim bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas, 
                                melainkan kebebasan yang dibatasi dengan 
                                kerangka syariat agama dan etika 
                                sosial. Kondisi kaum perempuan 
                                pada waktu itu bisa disamakan dengan budak, 
                                karena budak adalah orang yang terampas 
                                kemerdekaan dan hak-haknya. Jangankan hak untuk 
                                memperoleh pendidikan, kebebasan untuk 
                                berkehendak saja sudah sedemikian terkekang. 
                                Sehingga ia tidak mempunyai kebebasan untuk 
                                berbuat lebih banyak, baik untuk dirinya 
                                sendiri, keluarga dan 
                                masyarakatnya.   Pembebasan Perempuan 
                                melalui Tradisi “Kritik 
                                Teks” Seperti diketahui, 
                                pembebasan adalah agenda terdepan sebelum 
                                pemberdayaan. Jauh-jauh hari Qasim Amien telah 
                                membidik teks-teks agama yang menjadi 
                                “momok”  perempuan lewat karyanya Tahrîr 
                                Al-Mar’ah. Seperti permasalahan hijab dan 
                                poligami. Sebelum terlalu jauh 
                                membicarakan masalah hijab, mungkin ada baiknya 
                                jika kita mencoba mengetahui terlebih dahulu 
                                pemahaman Qasim tentang makna hijab ini. Menurut 
                                Qasim Amien hijab mempunyai dua makna. 
                                Pertama, hijab secara makna hakiki, 
                                berfungsi menutup aurat perempuan hingga wajah 
                                dan telapak tangan (penutup wajah disebut 
                                niqâb [cadar]). Bagi masyarakat Mesir 
                                pada waktu itu, hijab dalam makna di atas 
                                dianggap sebagai syariat Islam. Kedua, 
                                adalah hijab dalam makna majazi, yaitu “penjara” 
                                kaum perempuan dalam rumahnya sendiri. Selain 
                                memaparkan makna hijab sesuai dengan “idelogi” 
                                masyarakat Mesir di atas, Qasim juga mencoba 
                                membuat analisa dan studi kritik tentang hijab 
                                ini dari dua sudut pandang; agama dan 
                                sosial. Dalam perjalanan 
                                sejarah masyarakat Timur, hijab bagi kaum 
                                perempuan sangat memainkan peranan penting dalam 
                                membentuk sistem sosial yang ada. Bahkan 
                                sebenarnya hijab bukan saja merupakan ciri khas 
                                masyarakat Timur saja. Sejarah telah mencatat, 
                                kaum perempuan pada masyarakat Yunani waktu itu 
                                juga memakai busana tersebut jika keluar dari 
                                rumahnya. Adat ini berlanjut sampai pada abad 
                                pertengahan, khususnya abad ke-IX, dan sampai 
                                pada abad ke-XIII. Namun, karena keadaan 
                                sosiologis yang terus berubah menuju kemajuan 
                                dan kemodernan maka adat ini-pun di daerah 
                                Yunani dan wilayah Barat lainnya menjadi 
                                punah. Menurut Qasim Amien 
                                masyarakat Arab mempunyai pandangan yang “salah 
                                kaprah” terhadap hijab ini, sehingga mereka 
                                bersikeras mempertahankan tradisi ini. Hijab 
                                hanya  dianggap sebagai pesan syariat agama 
                                an sich. Sehingga agama dijadikan 
                                legitimasi atas kewajiban memakai hijab. 
                                Padahal—menurut Qasim—tidak ada satupun 
                                nash-nash sharîh yang mewajibkan 
                                pemakaian hijab ini. Dalam Surat Al-Nûr ayat 30, 
                                difirmankan secara jelas, bahwa kaum perempuan 
                                yang beriman diperintahkan untuk menjaga 
                                kehormatannya dan tiada memperlihatkan 
                                perhiasannya (tubuhnya) selain dari yang nyata 
                                (mesti terbuka). Para ulama telah bersepakat 
                                bahwa yang dimaksud dengan anggota tubuh yang 
                                mesti terbuka di sini adalah anggota tubuh yang 
                                diperlukan dalam kehidupan dan interaksi 
                                sehari-hari, yaitu wajah dan telapak tangan. 
                                Jika pemakaian hijab bertujuan menghindari 
                                fitnah, maka menurut Qasim, justru hijab—dalam 
                                makna masyarakat Mesir di atas lengkap dengan 
                                antribut cadarnya—yang berpotensi menimbulkan 
                                fitnah, sebab, seorang yang memakai hijab 
                                cenderung lebih bebas untuk bertindak melanggar 
                                sosial tanpa ada rasa khawatir untuk diketahui 
                                oleh khalayak ramai. Berbeda dengan seorang 
                                perempuan yang tidak menutupi wajahnya, ia akan 
                                cenderung menjaga kehormatan pribadi dan 
                                keluarganya sehingga lebih berhati-hati dalam 
                                bertindak. Jadi, etika dan 
                                perilaku sosial yang terpuji tidak ada 
                                hubungannya dengan pemakaian hijab, karena yang 
                                lebih menentukan baik atau tidaknya moral 
                                seseorang adalah dari nurani dan hatinya, 
                                bukanlah dari penampilan 
                                lahiriyah. Pada sisi sosial, Qasim 
                                melihat bahwa hijab dalam beberapa hal justru 
                                menjadi kendala bagi pemakainya untuk bisa 
                                berinteraksi dengan masyarakat luas. Misalnya, 
                                dalam hal kriminalitas dan kesaksian dalam 
                                pengadilan, kemungkinan untuk melakukan 
                                bentuk-bentuk manipulasi terbuka lebar. 
                                Ujung-ujungnya akan merugikan salah satu pihak 
                                dari kedua puhak yang beselisih. Begitu juga 
                                dalam bentuk interaksi sosial lainnya, seperti 
                                perdagangan dan pertanian. Masyarakatpertanian 
                                di pedesaan di mana kaum perempuan sedikit 
                                banyak ikut berperan dalam cocok tanam, akan 
                                lebih banyak menemukan kesulitan dari pada 
                                perempuan yang tidak berhijab. Bahkan secara 
                                lebih radikal lagi, Qasim menyatakan bahwa kaum 
                                perempuan yang berhijab akan lebih terisolir 
                                dari pada kaum perempuan yang menanggalkan 
                                hijabnya. Dalam masalah 
                                poligami, Qasim bisa digolongkan ke dalam 
                                kelompok yang paling menentang adanya poligami 
                                dengan alasan etika kemanusiaan. Poligami 
                                menurut Qasim adalah bentuk penghinaan bagi kaum 
                                perempuan. Sudah menjadi tabiat asli manusia, 
                                seorang perempuan tidak akan pernah rela jika 
                                suaminya membagi cinta kepada perempuan lain, 
                                demikian halnya sang suami, tidak akan rela jika 
                                ada lelaki lain yang ikut mendapatkan bagian 
                                cinta istrinya. Sisi negatif yang 
                                disorot Qasim akibat dari poligami ini adalah 
                                permusuhan batin antara istri yang satu dengan 
                                yang lain, sehingga tidak jarang permusuhan 
                                antara mereka diwariskan kepada anak-anak 
                                mereka. Karena bisa jadi seorang ibu—secara 
                                tidak sadar— menyulut api permusuhan dan 
                                kedengkian antara anak-anak dan keluarganya 
                                kepada keluarga dari istri yang lain. Seorang 
                                istri yang dimadu dan tidak rela, namun ia 
                                berusaha untuk memendam perasaannya akan 
                                mengakibatkan akumulasi kekecewaan di bawah alam 
                                sadar, dan sewaktu-waktu bisa meledak dan 
                                menyulut konflik besar. Persaingan yang terjadi 
                                antara mereka adalah persaingan yang tidak 
                                sportif, nilai-nilai persaudaraan dan etika 
                                kemanusiaan yang seharusnya dipupuk antara 
                                sesama manusia,—karena poligami ini—akan 
                                cenderung dikalahkan oleh api kedengkian dan 
                                permusuhan. Walaupun secara radikal 
                                Qasim menentang praktek poligami, namun ia masih 
                                memberikan “pengecualian”. Menurutnya, poligami 
                                “diperbolehkan” untuk beberapa kasus, misalnya 
                                seorang istri tidak bisa memberikan keturunan 
                                kepada sang suami. Namun—menurut Qasim—dalam 
                                kondisi seperti ini, sang suami harus bersabar, 
                                karena istrinya tiada bersalah dan berdosa, jika 
                                sang suami tetap bersikeras untuk menihak lagi, 
                                maka harus sepengetahuan istrinya, jika sang 
                                istri minta cerai, maka sang suami harus 
                                menceraikannya. Selain tujuan-tujuan di atas, 
                                poligami adalah bentuk dari pemuasan nafsu 
                                binatang dan tanda-tanda dari dekadensi 
                                moral.   Pemberdayaan 
                                Perempuan melalui 
                                Pendidikan Dalam hal pendidikan, Qasim 
                                mengklasifikasikan jenis pendidikan menjadi tiga 
                                tingkatan secara berurutan. Pertama 
                                adalah pendidikan yang wajib bagi setiap orang 
                                demi menjaga kehidupannya sendiri dan untuk 
                                memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya 
                                (kebutuhan primer setiap individu). Kedua 
                                adalah pendidikan yang bermanfaat bagi 
                                keluarganya  Ketiga pendidikan yang 
                                bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat 
                                sekelilingnya. Nah, pendidikan 
                                kaum perempuan yang diperjuangkan oleh Qasim 
                                pada waktu itu lebih ditekankan kepada jenis 
                                pendidikan yang pertama dan kedua. Karena 
                                pendidikan jenis ketiga masih terlalu jauh 
                                jangkauannya jika diterapkan bagi kaum perempuan 
                                Mesir. Alasan yang lain, kondisi psikologis kaum 
                                perempuan dan kondisi sosiologis masyarakat yang 
                                masih memprihatinkan dan belum siap. Namun 
                                walaupun begitu ia tetap menekankan bahwa ketiga 
                                jenis pendidikan tersebut merupakan kewajiban 
                                dan kebutuhan hidup bagi setap individu tanpa 
                                terkecuali. Dalam memperjuangkan 
                                hak  pendidikan perempuan ini, Qasim 
                                menemui banyak kendala yang justru timbul akibat 
                                dari asumsi-asumsi negatif tentang tabiat 
                                perempuan. Asumsi-asumsi ini berasal dari 
                                teks-teks agama dipandang kebenaran mutlak, 
                                seperti, asumsi masyarakat bahwa perempuan 
                                adalah makhluk yang akal dan agamanya lemah 
                                (Nâqishah 
                                al-Dîn wa al-‘Aql). Pada hakikatnya asumsi ini 
                                terpengaruh oleh keadaan sosiologis bangsa Arab 
                                dulu, di mana perang menjadi kebiasaan. Tidak 
                                sedikit penghasilan yang mereka peroleh dari 
                                barang-barang rampasan perang-perang ini. Dengan 
                                keadaan yang seperti ini maka peran kaum 
                                perempuan tidak banyak diperhitungkan, sehingga 
                                keadaan yang berlangsung lama ini akhirnya 
                                menjadikan perempuan dipandang sebelah mata oleh 
                                masyarakat, bahkan perempuan dinggap sama 
                                seperti harta rampasan perang lainnya. 
                                Ironisnya, asumsi ini terbawa sampai pada masa 
                                saat perang sudah tidak menjadi kebanggaan 
                                masyarakat Arab. Menghadapi adat 
                                istiadat masyarakat Arab ini, Qasim tetap 
                                bersikukuh pada prinsip dan perjuangannya dalam 
                                membela hak pendidikan bagi kaum perempuan, 
                                karena baginya pendidikan adalah hak setiap 
                                manusia, kaya atau miskin, lemah atau kuat, 
                                bodoh atau pandai karena ia adalah kebutuhan 
                                untuk mempertahankan hidup dan menjadi kebutuhan 
                                bagi mereka semua tanpa pandang 
                                bulu. Menurut sebagian 
                                ulama kala itu, kewajiban perempuan dalam 
                                menuntut ilmu itu hanya berkutat pada masalah 
                                ibadah-ibadah ritual, atau berkisar pada 
                                mengatur rumah tangga dan tetek 
                                bengeknya. Karena kewajiban mencari nafkah 
                                secara mutlak ditanggung laki-laki, maka dalam 
                                pemahaman ini, pendidikan bukan hal yang 
                                mendesak bagi perempuan. Qasim Amien kembali 
                                mempertanyakan asumsi-asumsi di atas. Kalau 
                                sejenak kita melihat realitas kehidupan 
                                masyarakat, kita sering menyaksikan fenomena 
                                yang bertolak belakang dengan fenomena dan 
                                asumsi tersebut. Tidak sedikit kita 
                                mendapatkan kepala rumah tangga (suami atau 
                                ayah) yang penghasilannya tidak mencukupi 
                                kebutuhan-kebutuhan rumah tangga mereka. Dan 
                                tidak sedikit kaum perempuan hidup tanpa sistem 
                                herarki kepala keluarga seperti ini, karena 
                                beberapa hal, misalnya perceraian ataupun 
                                meninggalnya suami dan ayah. Maka bagaimana 
                                dengan nasib kaum perempuan dalam keadaan yang 
                                seperti itu? Bagaimana caranya ia mampu 
                                mencukupi kebutuhan pribadi dan anak-anaknya, 
                                sedangkan bekal pengetahuan untuk itu tidak 
                                sedikitpun ia dapatkan? Bagaimana ia dapat 
                                mempertahankan hidupnya dan keluarganya jika ia 
                                sendiri adalah seorang yang lemah, miskin dan 
                                bodoh tanpa mengetahui apa yang musti dia 
                                lakukan? Fenomena-fenomena tersebut yang terjadi 
                                dalam masyarakat kala itu dan sangat menyentuh 
                                hati nurani Qasim Amien. Dari sinilah, beliau 
                                melihat pentingnya pembekalan kaum perempuan 
                                dengan pendidikan yang  layak dan memadai 
                                agar mereka dapat hidup mandiri tanpa 
                                ketergantungan dari ayah atau suami mereka dan 
                                dapat mempertahakan kelangsungan hidupnya 
                                sendiri dan keluarga. Kemudian, jika kita 
                                tengok posisi kaum perempuan yang menjadi 
                                pengasuh dan pendidik bagi anak-anaknya, maka 
                                pembekalan kaum perempuan dengan pendidikan 
                                dalam konteks ini sangat urgen bahkan menjadi 
                                kewajiban, karena nantinya, kepribadian umat dan 
                                bangsa ditentukan anak-anak mereka. Maka, 
                                pendidikan tunas-tunas bangsa ini dimulai dari 
                                proses pendidikan mental dan pembentukan 
                                kepribadian dalam keluarga. Selanjutnya, 
                                mempersiapkan mereka menjadi sumber daya manusia 
                                yang unggul dan sempurna. Nah, 
                                agenda-agenda dan harapan-harapan di atas akan 
                                sulit terkabul, kecuali melalui tangan-tangan 
                                dan nurani ibu-ibu pendidik yang berpendidikan 
                                tinggi dan memiliki bekal yang memadai. 
                                Bagaiamana kita akan membentuk dan membina 
                                generasi yang unggul dan tangguh jika kaum ibu 
                                saja masih terbelakangan tanpa pendidikan? 
                                Bagaimana bangsa dan umat akan maju jika mereka 
                                masih terseret fenomena-fenomena 
                                ini?   Dari Konservatifisme 
                                Menuju Liberalisme Jika kita runtut dan 
                                cermati lebih lanjut pemikiran Qasim Amien dalam 
                                memperjuangkan agenda-agenda kaum perempuan di 
                                Mesir, ada satu hal yang menarik sekali untuk 
                                kita kaji berkaitan dengan metaformosa 
                                (perubahan) pola pikirnya sangat mencolok dan 
                                dahsyat. Dalam karya perdananya “Les 
                                Egyptiens” (Mashriyyûn), Qasim termasuk 
                                pemikir dari kelompok konservatif. Ketika itu, 
                                kondisi sosial masyarakat Mesir digambarkan 
                                secara negatif oleh Duc D'harcouri—dalam sebuah 
                                tulisannya—masyarakat Mesir terbelakang, 
                                terisolir, dari kemodernan dan kemajuan. Sebagai 
                                seorang yang cukup memiliki jiwa nasionalisme 
                                tinggi, Qasim merasa “tidak rela” jika sisi-sisi 
                                negatif dari keadaan masyarakat di negerinya 
                                harus dibeberkan kepada masyarakat luas, apalagi 
                                kepada masyarakat asing (Perancis). Dan demi 
                                mengembalikan nama baik masyarakatnya yang 
                                sempat tercemari itu, ia menuliskan sebuah 
                                tanggapan yang cenderung bersifat membela diri. 
                                Dalam tulisan inilah, Qasim dengan 
                                konservatifisme-nya mencoba menjadikan sisi-sisi 
                                negatif tersebut menjadi nilai-nilai yang 
                                positif. Misalnya, ketika  D'harcouri 
                                memandang tradisi hijab—dalam makna majazi, 
                                yaitu masyarakat  yang benar-benar 
                                memisahkan antara kelompok perempuan dan 
                                laki-laki—sebagai sebuah tradisi yang negatif 
                                dan penghambat kemajuan masyarakat, Qasim justru 
                                menganggapnya sebagai tradisi  yang sangat 
                                positif. Dengan dalih, tradisi hijab ini 
                                merupakan identitas masyarakat yang beretika, 
                                lebih terjaga dan lebih sesuai dengan ajaran 
                                agama. Lima Tahun kemudian, 
                                1899, Qasim Amien menelurkan salah satu karyanya 
                                yang sederhana dan—dalam prediksinya—tidak 
                                terlalu berharga, namun ternyata berhasil 
                                menimbulkan ledakan besar bagi masyarakat Mesir 
                                dengan gerakan pembaruan dan revolusi sosial. 
                                Subtansi buku ini; Tahrîr al-Mar'ah ini 
                                sangat bertolak belakang dengan pemikiran 
                                sebelumnya. Jika dalam Mashriyyûn beliau 
                                sangat konservatif, anti barat dan membabi buta, 
                                dalam karya ini, ia menjadi seorang yang sangat 
                                liberal, dan bahkan cenderung berkiblat pada 
                                masyarakat barat untuk melakukan kritik terhadap 
                                situasi dan kondisi masyarakatnya pada waktu 
                                itu. Misalnya saja ketika mengangkat masalah 
                                disinteraksi antara kaum perempuan dan kaum 
                                lelaki karena dibatasi hijab. Awalnya, beliau 
                                menganggap tradisi ini memiliki nilai-nilai 
                                positif. Namun pada buku Tahrîr al-Mar'ah 
                                ini, Qasim Amien malah mengkritik tradisi 
                                hijab ini dan meminta tradisi tersebut 
                                “ditinggalkan” karena tidak ada lagi 
                                kemaslahatan di sana. Pendapat ini dipertegas 
                                dan diperkuat dengan karyanya yang ketiga, 
                                al-Mar'ah al-Jadîdah, (Perempuan Modern) 
                                sebagai “terminal akhir” dari 
                                pikiran-pikirannya. Kita bisa 
                                bertanya-tanya, dalam tempo yang relatif singkat 
                                (lima tahun), Qasim Amien merubah cara 
                                pandangnya secara frontal. Apa sebab-sebab yang 
                                melatar belakangi ini semua? Benarkan ini 
                                pemikiran orisinil Qasim Amien? Kalau kita lihat 
                                latar belakang lahirnya buku yang pertama itu, 
                                adalah refleksi dari pembelaan diri ketika 
                                masyarakatnya “ditelajangi” orang lain, dengan 
                                serta merta Qasim Amien melakukan pembelaan diri 
                                dan bisa dikatakan berapologi. Kala itu ia 
                                sangat subjektif, egois, “grusa-grusu” dan tanpa 
                                melakukan introspeksi. Jadi, dengan kata lain, 
                                pemikirannya dalam Mashriyyûn ini belum 
                                bisa dikatakan orisinil, karena terlahir dari 
                                tuntutan-tuntutan psikologis yang 
                                mendesak. Sedangkan nafas-nafas 
                                pembaruan dalam karyanya yang kedua, Tahrîr 
                                Al-Mar'ah, beliau lebih menekankan pada sisi 
                                reinterpretasi syariat agama Islam yang menjadi 
                                sebab subordinasi kaum lelaki terhadap kaum 
                                perempuan. Padahal, Qasim bukanlah seorang 
                                pemerhati, pakar agama dan ahli syariat. Apakah 
                                dalam waktu yang relatif singkat itu, beliau 
                                benar-benar mendalami syariat Islam dengan 
                                membaca buku-buku referensi utama (ummahât 
                                al-kutb) yang berjilid-jilid sehingga dapat 
                                menerbitkan karya sehebat itu? Adakah indikasi 
                                terjadi plagiasi dalam karya-karya 
                                ini? Menurut Muhammad ‘Imarah, 
                                Muhammad ‘Abduh—sebagai guru dan sparing 
                                partner Qasim— memiliki kontribusi dalam 
                                penulisan karya ini, karena pemikiran dan 
                                pembaruan yang menjadi subtansi buku ini sejalan 
                                nafas-nafas pembaruan yang dihembuskan Muhammad 
                                ‘Abduh. Buku Tahrîr Al-Mar'ah ini bukan 
                                seratus persen buah pemikiran Qasim Amien, namun 
                                bisa dikatakan karya berdua bersama Muhammad 
                                Abduh. Seperti yang dijelaskan buku Tahrîr 
                                Al-Mar'ah ini mengandung dua dimensi; agama 
                                dan sosial. Muhammad Abduh menulis separo isi 
                                buku ini yang berkaitan dengan masalah-masalah 
                                keagamaan, sedangkan Qasim Amien menulis dimensi 
                                sosial budaya yang menjadi keahliannya.  PenutupDua karya besar yang 
                                menjadi magnum opus Qasim Amin adalah 
                                Tahrîr al-Mar’ah dan al-Mar’ah 
                                al-Jadîdah. Dalam Tahrîr al-Mar’ah 
                                (Pembebasan Perempuan) Qasim lebih menekankan 
                                pada ide-ide pembebasan perempuan dari belenggu 
                                diskriminasi dan kungkungan subordinasi. Qasim 
                                mencoba membuka “kran-kran” penyumbat kemajuan 
                                ummat dengan menghilangkan tradisi subordinasi 
                                kaum lelaki. Dan metode yang digunakannya pun 
                                lebih menitikberatkan pada reinterpretasi 
                                al-Quran dan Hadist yang seakan selalu 
                                melegitimasi adanya sistem patriarkhi dalam 
                                masyarakat. Sedangkan dalam 
                                al-Mar’ah al-Jadîdah (Perempuan Modern) 
                                Qasim mengembangkan dan memperkuat ide-ide pokok 
                                dalam karya sebelumnya. Ketika kaum perempuan 
                                telah sedikit banyak tercerahkan dengan ide-ide 
                                pembebasan (liberalisasi), maka Qasim Amien 
                                memulai memperjuangkan pemberdayaan perempuan. 
                                Di sini Qasim terlihat sangat getol menyerukan 
                                urgensi pendidikan kaum perempuan. Menurutnya, 
                                perempuan harus bisa bersikap mandiri sepenuhnya 
                                tanpa harus ada ketergantungan pada kaum 
                                laki-laki. Dari dua karya Qasim Amien ini, kita 
                                menemukan relefansi pemikiran-pemikirannya, dari 
                                pembebasan perempuan melalui kritik tradisi 
                                sosial agama dan budaya, menuju perempuan modern 
                                yang “berdaya” dan tidak bisa “dipercaya”. 
                                Pemikiran Qasim Amien yang pertama masih berbau 
                                teks-teks agama, maka pada karya kedua, Qasim 
                                Amien ingin merekonstruksi sosial, setelah 
                                mendekonstruksinya. Namun, di zaman 
                                modern ini, model-model usaha Qasim Amien 
                                kelihatannya sudah tidak begitu menemukan 
                                relevansinya lagi, sebab bagi kita yang hidup 
                                pada era globalisasi ini, pembebasan perempuan 
                                dari “penjara” rumah dan perjuangan kaum 
                                perempuan untuk menikmati pendidikan bukalah hal 
                                yang sulit untuk didapat. Di segala lini 
                                kehidupan, perempuan sudah mulai diperhitungkan. 
                                Artinya, diskriminasi kaum perempuan dan 
                                subordinasi kaum lelaki yang mencolok dan 
                                dirasakan oleh masyarakat semasa hidup Qasim 
                                Amin, saat ini sudah berangsur-angsur punah. 
                                Walaupun tidak menutup kemungkinan kita masih 
                                menjumpai tradisi-tradisi tersebut dalam 
                                kehidupan sosial. Nah, agenda yang 
                                mungkin masih relevan saat ini adalah 
                                “pemberdayaan kaum perempuan” bukan lagi 
                                “pembebasan kaum perempuan” seperti perjuangan 
                                Qasim Amien dan tokoh-tokoh feminis yang lain 
                                pada zamannya. Jadi, yang bisa kita 
                                ambil dari ide-ide pembaruan Qasim Amien 
                                bukanlah model-model materialistis usahanya, 
                                namun spirit pembaruan dan pencerahan masyarakat 
                                yang senantiasa diperjuangkannya. Kita harus 
                                bisa menghidupkan kembali ruh perjuangan itu 
                                sesuai dengan konteks yang ada.  Semoga 
                                semangat dan jasa-jasa Qasim Amien dalam ijtihad 
                                dan perjuangannya dalam merekonstruksi 
                                masyarakat selalu menjadi tauladan bagi generasi 
                                selanjutnya. Wa’l lahu a‘lam bi Al-Shawâb 
                                [www.islamlib.com] |