| a. 
Muqaddimah Mesir adalah 
                                salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang 
                                sangat kaya dengan khazanah keislaman. Semenjak 
                                Islam masuk ke sana dan Amr bin ‘Ash menjadi 
                                gubernur pertama di bawah Khalifah Umar Ibn 
                                al-Khattab, di negeri ini telah muncul para 
                                pemikir muslim dan pembaharu yang sangat 
                                brilian. Pada zaman Islam klasik, kita 
                                mengetahui bahwa salah seorang imam madzhab 
                                Islam terbesar, Muhammad bin Idris al-Syafi’i 
                                atau yang dikenal dengan Imam Syafi’i, hampir 
                                separuh usianya beliau habiskan di Mesir. Pada 
                                tataran militer, negeri ini pernah dijadikan 
                                markas besar oleh mujâhid besar, 
                                Shalahuddin al-Ayyubi yang membebaskan al-Quds 
                                dari tangan kaum Nashrani. Pada abad ke-19, 
                                kita mendengar tokoh pembaharu seperti 
                                Jamaluddin al-Afghani (meskipun bukan kelahiran 
                                Mesir) (1838-1897 M), yang bersama-sama dengan 
                                Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905 M) menerbitkan 
                                majalah al-‘Urwah al-Wutsqâ di Paris. 
                                Afghani adalah seorang pembaharu yang berusaha 
                                keras membela dunia Islam dan membebaskan mereka 
                                dari genggaman para penjajah dan terkenal dengan 
                                ide pan Islamismenya (al-Jâmi’ah 
                                al-Islâmiyah). Adapun Muhammad Abduh adalah 
                                seorang ulama yang berusaha keras melakukan 
                                pembaharuan dan mendialogkan ajaran Islam 
                                (terutama syarî’ah) dengan  realitas 
                                masyarakat yang dihadapinya. Begitu pula 
                                muridnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha 
                                (1865-1935 M), yang meneruskan tafsir 
                                al-Mannâr karya Muhammad Abduh dan 
                                menerbitkan majalah al-Mannâr. Kemudian 
                                disusul ulama-ulama Al-Azhar lainnya yang tidak 
                                mungkin kami sebutkan satu persatu. Tentu saja 
                                rentang waktu antara Imam Syafi’i dengan 
                                Jamaluddin al-Afghani tersebut, di Mesir telah 
                                banyak pemikir besar lainnya yang 
                                muncul. Pada wacana 
                                pemikiran kaum intelektual muslim Mesir ini, 
                                sekitar awal abad ke-14 Hijriyah atau abad ke-19 
                                Masehi, terjadi polemik besar antara kaum 
                                pembaharu dan kaum tradisional. Di satu sisi, 
                                kaum pembaharu berusaha keras agar dapat 
                                menghadapkan dan membawa Islam kepada 
                                persoalan-persoalan kontemporer yang tidak 
                                pernah muncul pada zaman klasik, sedangkan di 
                                sisi lain kaum tradisionalis sama sekali menolak 
                                ide pembaharuan tersebut dan mereka menangkapnya 
                                dengan penuh kecurigaan bahkan mereka menganggap 
                                bahwa ide pembaharuan hanyalah merupakan sebuah 
                                ide besar berbau Barat yang akan menghancurkan 
                                prinsip-prinsip ajaran Islam, padahal bagi para 
                                pembaharu, upaya tajdid ini adalah sebuah 
                                keniscayaan (necessity), karena tanpanya, 
                                Islam tidak akan dapat menyentuh 
                                persoalan-persoalan baru. Akan tetapi, 
                                pembaharuan yang dilakukan harus tetap 
                                memperhatikan prinsip-prinsip pokok Islam yang 
                                tidak dapat berubah (tsawâbit). Tentu saja arah 
                                berlawanan ini menimbulkan polemik besar dan 
                                berkepanjangan. Akan tetapi, akhirnya polemik 
                                tersebut mulai menjinak dengan munculnya 
                                beberapa pemikir baru Mesir pada awal abad ke-20 
                                yang di antaranya adalah Syaikh Muhammad 
                                al-Ghazali dan Dr. Yusuf Qardhawi. Syaikh 
                                Muhammad al-Ghazali adalah ulama yang 
                                merepresentasikan kaum pembaharu, sedangkan 
                                Syaikh Qardhawi adalah reprsentasi kaum 
                                tradisonal. Dengan hadirnya dua orang ulama ini, 
                                kubu  pembaharu dan tradisional mulai 
                                saling berdialog dan mendekati, sehingga 
                                kemunculan dua orang tokoh tersebut (meminjam 
                                istilah Thariq al-Busyra) seperti dua buah 
                                lautan yang bertemu pada sebuah muara 
                                (multaqâ al-Bahrain), yaitu lautan para 
                                pembaharu dan lautan kaum tradisional, yang 
                                kemudian dua laut itu menjadi satu arus. Dengan 
                                demikian, dari kolaborasi ‘cantik’ antara dua 
                                pemikir ini, kita menemukan seorang pembaharu 
                                yang memiliki ruh tradisional dan pembela 
                                prinsip-prinsip Islam (ushűl); dan 
                                seorang tradisionalis yang memiliki jiwa 
                                pembaharu yang menggunakan tajdid sebagai jalan 
                                untuk mempertahankan eksistensi dan ushűl 
                                Islam. Dengan 
                                demikian, gaya pemikiran Islam seperti ini, akan 
                                dapat menjadikan Islam lebih dapat berdialog dan 
                                harmonis dengan zaman, tetapi ia tidak 
                                kehilangan kemurniannya. Dua orang ulama 
                                ini adalah alumni Universitas Al-Azhar Mesir. 
                                Mereka sering sekali mendialogkan pemikirannya 
                                secara terbuka. Salah satunya adalah ketika 
                                Syaikh Muhammad al-Ghazali menulis sebuah buku 
                                yang berisi rekontruksi standar keshahihan 
                                hadits berdasarkan makna (matan) dan 
                                tidak hanya mendasarkannya kepada kredibilitas 
                                para perawi (sanad) seperti yang 
                                dilakuakn oleh para ulama klasik. Buku tersebut 
                                berjudul: al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl 
                                al-Fiqh wa Ahl al-Hadîs. Kemudian Syaikh 
                                Qardhawi berusaha mengkritik metodologi Syaikh 
                                al-Ghazali ini dengan metodolgi klasik yang 
                                sangat dikuaisainya. Buku tersebut berjudul 
                                Kaifa na ta’âmal ma’a al-Sunnah 
                                al-Nabawiyah (Bagaimanakah seharusnya 
                                memperlakukan Sunnah Nabawiyah). Kedua buku 
                                tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa 
                                Indonesia. Kedua tokoh ini adalah dua orang 
                                ulama yang memiliki kedekatan secara personal 
                                dan pernah bersama-sama menjadi penghuni penjara 
                                Thűr, bahkan Qardhawi menulis buku yang secara 
                                khusus menceritakan kedekatannya dengan Syaikh 
                                Muhammad al-Ghazali yang berjudul: al-Syaikh 
                                al-Ghazâlî Kamâ Araftuhu: Rihlah Nishf 
                                Qarn.  Saat ini, setelah Syaikh 
                                Muhammad al-Ghazali meninggal dunia (bulan Maret 
                                tahun 1996), Syaikh Qardhawi 
                                terus berjuang dan berkarya untuk kebangkitan 
                                umat.  Tentu saja 
                                ruang sempit untuk pengantar buku ini bukan 
                                tempatnya untuk memaparkan perjalanan dan jasa 
                                mereka terhadap Islam. Kami hanya akan menulis 
                                sebagian kecil kontribusi yang telah diberikan 
                                Qardhawi, salah seorang ulama yang masih hidup 
                                dan berusaha keras meneruskan cita-cita para 
                                pendahulunya tersebut terhadap Islam.   b.      
                                Masa Kecil 
                                Syaikh Qardhawi Syaikh Yusuf 
                                Qardhawi (selanjutnya ditulis: Qardhawi) yang 
                                semenjak duduk di tingkat keempat Ibtida’iyah 
                                selalu dijuluki ‘Yâ Allâmah’ atau 
                                syaikh oleh para gurunya, beliau 
                                dilahirkan di sebuah kampung kecil yang bernama 
                                Shaft Turab. Ia adalah salah satu perkampungan 
                                asri Mesir yang terdapat di Provinsi Gharbiyah, 
                                dengan ibu kotanya Thantha. Dari Kairo, kampung 
                                tesebut berjarak sekitar 150 kilo meter atau 
                                untuk menempuhnya membutuhkan waktu 
                                sekitar 3-4 jam. Tepatnya ia dilahirkan 
                                pada tanggal 09 September 1926 dari pasangan 
                                suami istri yang sangat sederhana tetapi taat 
                                beagama. Ia tidak berkesempatan mengenal ayah 
                                kandungnya dengan baik, karena tepat usianya 
                                baru mencapai dua tahun, ayah yang dicintainya 
                                telah dipanggil sang Khâliq, pemilik 
                                kehidupan dan kematian. Setelah ayah 
                                kandungnya meninggal dunia, ia diasuh dan 
                                dibesarkan oleh ibu kandung, kakek dan pamannya. 
                                Akan tetapi pada saat ia duduk di tahun keempat 
                                Ibtida’iyah Al-Azhar, ibunya pun dipanggil yang 
                                maha kuasa. Beruntung, ibu yang dicintainya 
                                masih sempat menyaksikan putra tunggalnya ini 
                                hafal seluruh al-Quran dengan bacaan yang sangat 
                                fasih, karena pada usia sembilan tahun sepuluh 
                                bulan, ia telah hafal al-Qu’ran di bawah 
                                bimbingan seorang kutâb yang bernama 
                                Syaikh Hamid. Setelah ayah, Ibu dan kakeknya 
                                meninggal dunia, ia diasuh dan dibimbing oleh 
                                pamannya. Pendidikan formalnya dimulai pada 
                                salah satu lembaga pendidikan Al-Azhar yang 
                                dekat dengan kampungnya, yang hanya menerima 
                                calon siswanya yang sudah hafal al-Quran. Di 
                                lembaga pendidikan inilah Qardhawi kecil mulai 
                                bergelut dengan kedalaman khazanah Islam di 
                                bawah bimbingan para gurunya. Selain itu, dalam 
                                rentang waktu Ibtida’iyah sampai Tsanawiyah yang 
                                diseleaikannya di Al-Azhar, ia mengalami 
                                berbagai peristiwa yang kelak sangat 
                                mempengaruhi jalan hidupnya. Salah satu 
                                peristiwa istimewa yang dialaminya di tingkat 
                                Ibtida’iyah adalah pada saat pertama kali ia 
                                mendengarkan ceramah Ustdaz al-Bana. Ketika 
                                mendengarkan ceramahnya, intuisi Qardhawi kecil 
                                mulai dapat merasakan kehadiran seorang 
                                laki-laki ‘alim yang telah menggadaikan 
                                seluruh kehidupannya hanya untuk kepentingan 
                                Islam dan umatnya. Saat itu, Qardhawi kecil yang 
                                pernah bercita-cita untuk menjadi Syaikh 
                                Al-Azhar, dapat menangkap seluruh isi ceramah 
                                yang disampaikan Syaikh al-Bana tanpa terlewat 
                                satu bagian pun. Ia pun mulai memiliki kesadaran 
                                dan pemahaman akan pentingnya dakwah yang 
                                dilakukan secara berjama’ah; maka untuk upaya 
                                inilah ia mulai bergabung bersama Ikhwan 
                                al-Muslimin. Pada masa 
                                kecilnya, di dalam jiwa Qardhawi terdapat dua 
                                orang ulama yang paling banyak memberikan warna 
                                dalam hidupnya, yaitu Syaikh Al-Battah (salah 
                                seorang ulama alumni Al-Azhar di kampungnya) dan 
                                Ustadz Hasan al-Bana. Bagi Qardhawi, Syaikh 
                                al-Battah adalah orang yang pertama kali 
                                mengenalkannya kepada dunia fikih, terutama 
                                madzhab Maliki, sekaligus membawanya ke 
                                Al-Azhar. Sedangkan Syaikh al-Bana adalah orang 
                                yang telah mengajarkannya cara hidup berjamaah, 
                                terutama dalam melaksanakan tugas-tugas 
                                berdakwah. Mengenai pengaruh al-Bana dalam dunia 
                                pemikiran dan spiritualnya, beliau pernah 
                                mengatakan: “Di antara orang-orang yang paling 
                                banyak memberikan pengaruh besar dalam dunia 
                                pemikiran dan spiritual kami adalah Syaikh 
                                al-Syâhid al-Bana.”   c.       
                                Proyek dan 
                                Kontribusi Qardhawi Dari sekitar 
                                tujuh puluh enam tahun perjalanan hidup Syaikh 
                                Qardhawi (sampai tahun 2002), minimal ada dua 
                                hal yang menjadi main stream aktivitas 
                                hidupnya. Pertama adalah aktivitasnya sebagai 
                                seorang intelektual dalam bidang fikih 
                                (faqih) dan kedua adalah aktivitasnya 
                                yang sangat signifikan dalam shahwah dan harakah 
                                Islamiyah. Bagi Qardhawi, ilmu yang diraihnya di 
                                Al-Azhar adalah bekalnya dalam menggali khazanah 
                                Islam, sedangkan yang didapatkannya di lapangan 
                                bersama Ikhwan adalah bekal utamanya dalam 
                                menjalani dunia pergeraklan Islam (harakah) 
                                dan shahwahIslamiyah. Kita akan 
                                mencoba melihat dua proyek besar yang terus 
                                menerus digarap oleh Qardhawi dalam rangka 
                                mengabdikan diri untuk kepentingan 
                                umat.   a.      
                                Sebagai 
                                Seorang Faqih Seperti telah 
                                disebutkan di atas, bahwa Mesir adalah salah 
                                satu negara di kawasan Timur Tengah yang sangat 
                                kaya dengan khazanah intelektual Islam. Di 
                                kawasan yang pernah disinggahi beberapa orang 
                                nabi ini, hampir semua aliran pemikiran dan 
                                madzhab keagamaan dapat kita temukan, baik 
                                madzhab fikih, kalam maupun tasawuf. Dalam dunia 
                                fikih, di negeri ini hampir seluruh madzhab 
                                besar (terutama empat madzhab Sunni), tetap 
                                hidup dan berkembang. Tidak heran jika di sana 
                                ada beberapa daerah yang dikenal sebagai kawasan 
                                madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah ataupun 
                                Hanbaliyah. Walaupun demikian, 
                                madzhab Imam Syafi’i adalah madzhab yang dianut 
                                oleh mayoritas masyarakat Mesir, terutama di 
                                perkampungan. Secara historis, hal tersebut 
                                disebabkan karena Imam Syafi’i pernah tinggal 
                                lama di Mesir (sampai meninggal dunia) dan di 
                                negeri ini pula beliau melahirkan qaul 
                                jadid, yaitu pendapat-pendapat yang sangat 
                                berbeda dengan yang pernah difatwakannya semasa 
                                di Irak (qaul 
                                qadîm). Dalam dunia 
                                tasawuf, sampai saat ini di Mesir masih tumbuh 
                                subur berpuluh-puluh tarikat sufi yang di 
                                antaranya adalah Ahmadiyah (bukan Ahmadiyah 
                                Mirza Ghulam Ahmad), Naqsyabandiyah, 
                                Syadziliyah, Rifa’iyah, Burhamiyah, ditambah 
                                puluhan tarikat lainnya yang merupakan cabang 
                                dari lima tarikat besar tersebut. Tentu saja 
                                tumbuh subur dan terjaganya khazanah Islam di 
                                Mesir ini tidak dapat dilepaskan dari peranan 
                                Al-Azhar yang merupakan pemilik otoritas 
                                keagamaan bagi seluruh masyarakat Mesir dan selalu membela ajaran 
                                Islam di garis paling depan. Di kampung 
                                halaman tempat lahir dan dibesarkannya Qardhawi 
                                sendiri, terdapat beberapa madzhab fikih dan 
                                aliran-aliran tarikat yang dianut masyarakat 
                                secara turun temurun. Tradisi ketaatan mereka 
                                terhadap madzhab tertentu secara ekstrim, telah 
                                menyebabkan mereka hidup statis dan monoton yang 
                                sering sekali berubah menjadi sikap fanatik yang 
                                tidak dapat dibenarkan oleh Islam, sehingga 
                                dalam beribadah, mereka tidak lagi mengikuti 
                                al-Quran dan Sunnah atau qaul yang 
                                argumentatif dan dapat dipertangungjawabakan. 
                                Hal tersebut disebabkan karena kepatuhan mereka 
                                adalah semata-mata merupakan kepatuhan terhadap 
                                indifidu dan bukan pada kekuatan hujjah 
                                yang digunakan. Kondisi 
                                inilah  yang membesarkan Qardhawi. Akan 
                                tetapi ia masih sangat beruntung, karena 
                                meskipun hidup di tengah-tengah masyarakat yang 
                                madzhab centris, ia masih dapat 
                                ‘tercerahkan’ dan memiliki arus berbeda dengan 
                                masyarakat di sekitarnya. Tentu saja sikap 
                                Qardhawi ini tidak dapat dilepaskan dari peranan 
                                dan bantuan para gurunya. Semenjak duduk di 
                                tingkat Tsanawiyah, Qardhawi telah banyak 
                                belajar agar dapat hidup berdampingan dengan 
                                mereka yang memiliki pandangan berbeda. Pada 
                                tingkat ini pulalah ia mulai belajar untuk 
                                mengikuti hujjah dan bukan mengikuti 
                                figur, karena ia mengetahui (sesuai perkataan 
                                Imam Malik), bahwa semua orang memiliki 
                                kesempatan yang sama untuk mendapatkan 
                                kebenaran, meskipun pada perjalanannya, secara 
                                tidak disengaja ia melakukan kesalahan. Semua 
                                orang  (meskipun seorang ulama besar atau 
                                imam madzhab), pendapatnya dapat diterima 
                                ataupun ditolak, kecuali Rasulullah saw. Oleh 
                                sebab itu, semenjak duduk di tingkat Ibtidaiyah, 
                                jika ia mendapatkan gurunya tidak memiliki 
                                argumen yang jelas dari al-Quran dan sunnah, ia 
                                tidak segan-segan mengkritik dan membantah 
                                pendapat gurunya. Melihat sikap kritis Qardhawi 
                                kecil ini, ada gurunya yang sangat bangga tetapi 
                                ada pula yang merasa ‘jengkel’, sehingga ia 
                                pernah diusir dari kelas karenanya. Sikap seperti 
                                ini, semenjak dini telah dibuktikan oleh 
                                Qardhawi di tengah-tengah masyarakat, yaitu pada 
                                saat ia diminta untuk mengajar ilmu-ilmu agama 
                                di sebuah masjid jami’ kampungnya. Saat itu, ia 
                                mengajarkan ilmu fikih tetapi yang diajarkannya 
                                bukanlah qaul-qaul madzhab Syafi’i yang 
                                dianut oleh mayoritas penduduk. Ia mengajarkan 
                                fikih langsung dari sumber utamanya, yaitu 
                                al-Qur’an dan Sunnah shahihah ditambah dengan 
                                fatwa para sahabat. Ia sendiri mengakui bahwa 
                                metode pengajaran yang diterapkannya ini 
                                diambilnya dari metode yang digunakan oleh 
                                Sayyid Sabiq dalam Fiqh 
                                Sunnahnya. Tentu  saja 
                                upaya-upaya Qardhawi tersebut mendapatkan 
                                penentangan yang sangat kuat dari masyarakat 
                                yang selama ini hanya hidup dalam Syafi’iyah 
                                cyrcle. Resistensi masyarakat dan para ulama 
                                tua di kampungnya ini mencapai puncaknya dengan 
                                sebuah ‘pengadilan’ yang mereka adakan secara 
                                khusus untuk meminta pertanggungjawaban 
                                Qardhawi. ‘Pengadilan’ tersebut akhirnya berubah 
                                bentuk menjadi sebuah forum polemik seru antara 
                                Qardhawi muda dengan para ulama madzhab di 
                                kampungnya. Pada perdebatan tersebut, ia 
                                berhasil meyakinkan para ulama dan 
                                masyarakatnya, bahwa ia bukanlah orang yang 
                                membenci madzhab, bahkan ia adalah salah 
                                seorang  pengagum para imam madzhab dengan 
                                kelebihan dan kekurangan mereka 
                                masing-masing. Ia menganjurkan seandainya 
                                kita akan mengambil sebuah qaul dari 
                                madzhab tertentu, maka ia harus diambil langsung 
                                dari qaul pendirinya yang ditulis dalam 
                                buku induknya (seperti al-Um bagi 
                                madzhab Syafi’i), karena jika suatu madzhab 
                                semakin dekat kepada sumber-sumber utamanya, 
                                maka pengikutnya akan semakin toleran, tetapi 
                                jika mereka semakin jauh dari sumber aslinya, 
                                justru inilah yang selalu menimbulkan fanatisme 
                                buta, meskipun mereka mengetahui bahwa pendapat 
                                tersebut tidak memiliki hujjah yang 
                                kuat. Selain itu, sikap toleran 
                                yang dimilikinya didapatkan pula dari Ikhwan al- 
                                Muslimin, sebuah pergerakan Islam yang membina 
                                umat dari berbagai segmen, sehingga ia banyak 
                                belajar berbaur dengan mereka yang memiliki 
                                faham berbeda memiliki latar belakang pendidikan 
                                berbeda. Sikapnya dalam 
                                memperlakukan fikih tersebut berlanjut sampai 
                                masa tua. Oleh sebab itu, tidak heran jika pada 
                                saat ia mulai mencapai kematangan dalam dunia 
                                fikih, ia memilih metode fikihnya dengan 
                                semangat moderasi (wasathiyah), toleransi 
                                (tasâmuh), lintas madzhab dan selalu 
                                menghendaki kemudahan bagi umat (taisîr), 
                                serta mengakses penggalian hukum secara langsung 
                                dari sumbernya yang asli, yaitu al-Quran dan 
                                sunnah shahihah. Dengan metode inilah Qardhawi 
                                menjelajahi dunia fikih, dari tema-tema yang 
                                paling kecil seperti masalah lalat yang hingap 
                                pada air, sampai masalah yang paling besar 
                                seperti ‘Bagaimanakah Islam menata sebuah 
                                negara’?, atau dari tema yang paling klasik 
                                seperti masalah thahârah, sampai yang 
                                paling kontemporer seperti masalah demokrasi, 
                                HAM, peranan wanita dalam masyarakat dan 
                                pluralisme (ta’addudiyah). Di dalam ijtihad 
                                fikihnya, Qardhawi telah berhasil membuat sebuah 
                                formulasi baru dalam memperlakukan fikih, 
                                terutama ketika ia berhadapan dengan 
                                persoalan-persoalan kontemporer. Di antara 
                                formula yang dibangunnya adalah mengenai 
                                perlunya dibangun sebuah fikih baru (fiqh 
                                jadîd) yang akan dapat membantu 
                                menyelesaikan persoalan-persoalan baru umat. 
                                Walaupun demikian, yang dimaksudnya dengan 
                                ‘fikih’, tidak hanya terbatas pada 
                                persoalan-persoalan yang berkaitan dengan 
                                hukum-hukum juz’i yang diambil dari 
                                dalil-dalil terperinci (tafshîlî) seperti 
                                persoalan-persoalan thaharah, shalat, zakat dan 
                                lain sebagainya, bukan pula hanya merupakan 
                                sebuah sistem ilmu dalam Islam. Lebih dari itu, 
                                seraya mengutip al-Ghazali, yang dimaksudnya 
                                dengan kata ‘fikih’ adalah merupakan 
                                sebuah pemahaman yang komprehensif terhadap 
                                Islam, yaitu al-Fiqh (fikih) sebagai 
                                al-Fahm (pemahaman). Adapun fikih baru yang 
                                berusaha dibangunnya antara lain adalah sebuah 
                                fikih terdiri dari:   1.      
                                Keseimbangan (fiqh al-Muwâzanah). 
                                Yang dimaksudnya dengan fikih keseimbangan 
                                (muwâzanah) adalah sebuah  metode 
                                yang dilakukan dalam mengambil keputusan hukum, 
                                pada saat terjadinya pertentangan dilematis 
                                antara maslahat dan mafsadat atau 
                                antara kebaikan dan keburukan, karena 
                                menurutnya, di zaman kita sekarang ini sudah 
                                sangat sulit mencari sesuatu yang halal seratus 
                                persen atau yang haram seratus 
                                persen.  Menurutnya, dengan 
                                menggunakan sistem fikih seperti ini, kita akan 
                                dapat memahami: Pada kondisi seperti apakah 
                                sebuah kemudaratan kecil boleh dilakuakan untuk 
                                mendapatkan kemaslahan yang lebih besar, atau 
                                kerusakan temporer yang boleh dilakukan untuk 
                                mempertahankan kemaslahatan yang kekal, bahkan 
                                kerusakan yang besar pun dapat dipertahankan 
                                jika dengan menghilangkannya akan menimbulkan 
                                kerusakan yang lebih besar. 2.      
                                Fikih 
                                realitas (Fiqh Wâqi’î). Yang 
                                dimaksudkannya dengan fikih wâqi’î adalah 
                                sebuah metode yang digunakan untuk memahami 
                                realitas dan persoalan-persoalan yang muncul di 
                                hadapan kita, sehingga kita dapat menerapkan 
                                hukum sesuai dengan tuntutan 
                                zaman. 3.      
                                Fikih 
                                prioritas (Fiqh al-Aulawiyât). Yang 
                                dimaksudnya dengan fikih prioritas adalah sebuah 
                                metode untuk menyusun sebuah sistem dalam 
                                menilai sebuah pekerjaan, mana yang seharusnya 
                                didahulukan atau diakhirkan. Salah satunya 
                                adalah bagimana mendahulukan ushűl dari 
                                furű’, mendahulukan ikatan Islam dari 
                                ikatan yang lainnya, ilmu pengethuan sebelum 
                                beramal, kualitas dari kuantitas, agama dari 
                                jiwa serta mendahulukan tarbiyah sebelum 
                                berjihad. 4.      
                                Fiqh al-Maqâshid al-Syarî’ah, 
                                yaitu  sebuah fikih 
                                yang dibangun atas dasar tujuan ditetapkannya 
                                sebuh hukum. Pada teknisnya, metode ini 
                                ditujukan bagaimana memahami nash-nash syar’i 
                                yang juz’î dalam konteks maqâshid 
                                al-Syarî’ah dan mengikatkan sebuah hukum 
                                dengan tujuan utama ditetapkannya hukum 
                                tersebut, yaitu melindungi kemaslahatan bagi 
                                seluruh manusia, baik dunia maupun 
                                akhirat. Ia mengutip Ibn Qayyim 
                                yang mengatakan, bahwa prisip utama yang menjadi 
                                dasar ditetapkannya syari’ah adalah kemaslahatan 
                                dan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Oleh 
                                karena itu, maka seluruh kandungan syari’ah 
                                selalu berisi keadilan, kasih sayang Tuhan dan 
                                hikmah-Nya yang mendalam. Dengan demikian, 
                                segala sesuatu yang di dalamnya mengandung 
                                kelaliman, kekejian, kerusakan dan 
                                ketidakbergunaan, maka pasti ia bukanlah 
                                syari’ah. 5.      
                                Fikih 
                                perubahan (Fiqh al-Tagyîr). Ia adalah 
                                sebuah metode untuk melakukan perubahan terhadap 
                                tatanan masyarakat yang tidak Islami dan 
                                mendorong masyarakat untuk melakuakn perubahan 
                                tersebut. Selain itu, 
                                kontribusi lain yang diberikan Qardhawi dalam 
                                bidang fikih adalah bagaimana mencairkan 
                                kejumudan umat Islam dalam menghadapi zaman. 
                                Menurutnya, salah satu penyebab kejumudan 
                                tersebut adalah berhentinya kreativitas umat 
                                dalam berijtihad yang merupakan dapur utama 
                                kemajuan mereka. Dari masa ke masa, persoalan 
                                umat selau berkembang, terutama setelah 
                                terjadinya inovasi-inovasi baru dalam  
                                bidang sains dan teknologi, sementara seperti 
                                kita fahami bersama, jumlah ayat al-Quran dan 
                                hadits nabi, sampai kiamat mustahil akan 
                                bertambah. Oleh sebab itu, tidak ada cara lain 
                                untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut 
                                kecuali melalui jalan ijtihad yang didasarkan 
                                pada prinsip-prinsip utama ajaran 
                                Islam. Menurutnya, 
                                melakukan ijtihad adalah merupakan sebuah 
                                kewajiban agama kolektif (fardlu kifâyah), 
                                artinya pada setiap zaman harus ada 
                                seseorang yang mampu dan mau melakukannya, 
                                bahkan bagi mereka yang sudah mencapai kemampuan 
                                untuk melakukanya, ijtihad adalah merupakan 
                                sebuah kewjiban indifidual (fardhu 
                                ‘ain). Meskipun 
                                demikian, menurut Qardhawi, dalam melakukan 
                                ijtihad kontemporer, terdapat beberapa kode etik 
                                ijtihad yang harus menjadi acuan utama para 
                                mujtahid, baik yang berhubungan dengan para 
                                mujtahid (sebagai subjek) maupun yang 
                                berhubungan dengan  tema persoalan (objek). 
                                Kode etik yang berkenaan dengan para mujtahid 
                                antara lain: 
                                
                                Dalam melakukan 
                                ijtihad, hendaknya seseorang telah memiliki 
                                perangkat-perangkat utama yang diperlukan dalam 
                                berijtihad. Perangkat-perangkat tersebut  
                                antara lain: harus memahami bahasa Arab, 
                                memiliki pengetahuan yang memadai mengenai 
                                al-Quran dan sunnah, ushul fikih serta memiliki 
                                keahlian dalam beristidlal. Syarat lain yang 
                                tidak kalah penting adalah agar seorang mujtahid 
                                benar-benar memahami kondisi zamannya, sehingga 
                                ia dapat menetapkan sebuah hukum  yang 
                                sesuai dengan tuntutan zamannya. Dengan 
                                demikian, maka seorang mujtahid tidak akan 
                                menjadi masyarakat elit yang berada di menara 
                                gading, dan keputusan hukum yang diambilnya jauh 
                                dari realitas umat, dengan istilah lain mujtahid 
                                fî wâdin dan realitas umat fî wâdin 
                                âkhar. Artinya, dalam menentukan hukum, ia 
                                tidak akan memandang sebuah kasus hanya sebagai 
                                kasus yang berdiri sendiri tanpa melihat latar 
                                belakang dan faktor-faktor penyebabnya. Ia 
                                mencontohkan hal ini dengan ijtihad Ibn 
                                Taimiyah. Pada saat Ibn Taimiyah bersama 
                                beberapa orang muridnya melewati barak tentara 
                                Tatar, beliau mendapatkan mereka sedang pesta 
                                mabuk. Tentu saja para murid Ibn Taimiyah tidak 
                                dapat menerima kenyataan ini. Akan tetapi kepada 
                                para muridnya Ibn Taimiyah berkata: “Biarkan 
                                saja mereka tenggelam dalam mabuk dan khamar. 
                                Allah telah mengharamkannya karena ia dapat 
                                menghalangi seseorang dari dzikir dan shalat, 
                                tetapi saat ini kita lihat khamar telah 
                                menghalangi mereka dari melakukan pembunuhan dan 
                                peperangan”.
                                Dalam melakukan 
                                ijtihad, hendaklah seorang mujtahid selalu 
                                independen dan tidak berada di bawah tekanan 
                                pihak manapun. Memang kode etik 
                                ijtihad tersebut sangat ideal dan menjadi 
                                kriteria untama untuk seorang mujtahid 
                                muthlak. Akan tetapi pada prakteknya, 
                                semua orang dapat melakuakn ijtihad dalam bidang 
                                tertentu yang menjadi spesialisasinya atau yang 
                                disebut dengan  al-Mujtahid 
                                al-Juz’î, yaitu seseorang yang hanya 
                                berijtihad pada beberapa persoalan yang menjadi 
                                spesialisasinya saja. Adapun kode etik 
                                yang berhubungan dengan objek ijtihad adalah 
                                sebagai berikut: 
                                
                                Hendaknya 
                                ijtihad yang dilakukan hanya pada 
                                wilayah-wilayah yang dzannî, baik 
                                dzannî dilâlah maupun dzannî 
                                al-Tsubît. Dengan demikian kita tidak 
                                diperkenankan untuk berijtihad pada 
                                persoalan-persoalan yang qathî, karena 
                                persoalan yang didasarkan pada dalil 
                                qath’i, bukan merupakan wilayah 
                                ijtihad.
                                Ijtihad dapat 
                                dilakukan baik dalam tema-tema yang benar-benar 
                                baru (ijtihâd insyâ’î) maupun dalam 
                                memilih pendapat yang argumennya paling kuat, 
                                paling sesuai dengan Maqâshid al-Syarî’ah 
                                dan paling maslahat bagi umat.    b.      
                                Dalam 
                                Dunia Dakwah (Harakah Dan Shahwah 
                                Islamiyah) Selain sebagai 
                                seorang penulis dan pemikir produktif, Qardhawi 
                                aktif pula dalam dunia dakwah (harakah dan 
                                shahwah Islamiyah). Yang dimaksud dengan 
                                shahwah adalah sebuah upaya untuk 
                                membangkitkan umat dari keterlenaan, 
                                keterbelakangan, kejumudan dan melepaskan mereka 
                                dari konflik internal melalui berbagai wujud 
                                usaha dengan tujuan memperbaharui agama, 
                                sehingga dapat memperbaharui kehidupan dunia 
                                mereka. Pada tataran teknis, 
                                cita-cita shahwah tersebut berusaha diwujudkan 
                                dalam sebuah aktivitas harakah. Ia menyadari 
                                bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, tidak 
                                dapat dilakukan secara individual, tetapi ia 
                                membutuhkan sebuah kerja massal (‘amal 
                                jamâ’i) yang tersusun dan  terprogram 
                                secara rapi. Oleh karena hal inilah maka 
                                semenjak duduk di tingkat Tsanawiyah, Qardhawi 
                                telah memulai tugas berdakwah dengan bergabung 
                                bersama Ikhwan dan semenjak awal, ia telah 
                                dipersiapkan agar menjadi salah seorang kader 
                                terbaik mereka. Salah satunya adalah pada saat 
                                ia ditunjuk untuk menjadi da’i Ikhwan untuk 
                                seluruh Mesir, dari Provinsi Alexandria 
                                (Iskandariyah) sampai Aswan dan Sinai, bahkan ia 
                                pernah ditugaskan berdakwah di beberapa negara 
                                Arab seperti Suria, Libanon dan Yordania, dengan 
                                dana yang didapatkannya dari Ustadz Hasan 
                                al-Hudhaibi, Mursyid ‘âm Ikhwan yang 
                                kedua, padahal saat itu ia masih berstatus 
                                sebagai seorang mahasiswa. Selain menjadi 
                                aktivis di lapangan, Qardhawi juga adalah 
                                merupakan salah seorang pemikir yang ide-idenya 
                                banyak dijadikan sebagai referensi oleh para 
                                aktivis harakah. Menurutnya, yang dimaksud  
                                dengan harakah adalah sebuah pekerjaan 
                                yang dilakukan secara kolektif dan dimulai dari 
                                masyarakat paling bawah (bottom up) dan 
                                terorganisir secara rapih dalam upaya 
                                mengembalikan masyarakat kepada ajaran 
                                Islam.  Menurut 
                                Qardhawi, tujuan utama yang harus direalisasikan 
                                oleh sebuah harakah Islamiyah adalah 
                                bagaimana mewujudkan sebuah pembaharuan 
                                (tajdîd). Melakukan tajdîd adalah 
                                merupakan sebuah sunnatullah yang akan terus 
                                berulang. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis 
                                riwayat Abu Dawud dan al-Hakim: “Sesunggunya 
                                pada setiap seratus tahun, Allah akan mengutus 
                                untuk umat ini,  orang yang memperbaharui 
                                agamanya”. Yang dimaksudkannya dengan 
                                pembaharuan (tajdid) adalah sebuah upaya 
                                untuk memperbaharui pemahaman keagamaan,  
                                keimanan,  sikap iltizam kepada 
                                agama serta memperbaharui metode dakwah yang 
                                digunakan. Ia bukanlah sebuah usaha untuk 
                                membuat aturan baru dalam agama dengan merubah 
                                prinsip-prinsip baku (tsawabit) atau 
                                merusak tatanan ajaran yang 
                                qath’i. Adapun bidang-bidang yang 
                                harus diprioritaskan dalam memncapai tujuan 
                                tersbeut antara lain adalah:  pendidikan 
                                (tarbiyah), pekerjaan politik 
                                (siyâsah), ekonomi (iqtishâdiyah), 
                                sosial (ijtimâ’iyah), media massa 
                                (wasâ’il al-‘Ilâm) dan pekerjaan 
                                ilmiah. Kontribusi 
                                Qardahawi dalam dunia dakwah tersebut, sangat 
                                kental dengan warna Hasan al-Bana. Dalam hal ini 
                                kita dapat mengatakan, jika Ustadz al-Bana 
                                adalah merupakan pendiri (mu’assis) dan 
                                disigner harakah Ikhwan, kemudian 
                                diteruskan oleh para mursyid ‘âm lainnya, 
                                maka kemunculan Qardhawi dalam harakah ini 
                                adalah sebagai  penyambung lidah dan 
                                penerus cita-cita al-Bana. Kita mengetahui 
                                bersama bahwa perjuangan al-Bana dalam 
                                membesarkan harakah tersebut telah sampai pada 
                                tahap pembentukan sebuah harakah yang 
                                terorganisir. Setelah lama berkembang, maka 
                                kemunculan Qardhawi dalam gerakan ini adalah 
                                sebagai orang yang berusaha memagari harakah 
                                tersebut. Oleh sebab itu, karya-karya utama 
                                Qardhawi dalam bidang harakah dan shahwah 
                                Islamiyah, selalu diarahkan kepada upaya 
                                memperkokoh gerakan tersebut. Di antara 
                                karya-karyanya yang diarahkan kepada tujuan 
                                tersebut adalah al-Shahwah al-Islâmiyyah 
                                baina al-Juhűd wa al-Tatharruf, al-Shahwah 
                                al-Islâmiyyah baina al-Ikhtilâf al- Masyrű’ wa 
                                al-Tafarruq al-Madzműm, al-Shahwah al-Islâmiyyah 
                                wa Huműm al-Wathan serta Aulawiyyât 
                                al-Harakah al-Islâmiyah fi al-Marhalah 
                                al-Qadîmah. Pada empat karya tersebut, 
                                Qardhawi berusaha keras membuat batasan-batasan 
                                etis yang harus dipegang dalam menjalankan 
                                tanggung jawab harakah, serta mengobati penyakit 
                                yang biasanya menghingapi para aktivis 
                                harakah. Menurut 
                                Qardhawi, hal-hal yang harus dilakukan oleh 
                                seorang aktivis harakah Islamiyah adalah 
                                bagaimana mewujudkan sikap moderat 
                                (wasathiyah) dan menghindari sikap 
                                ekstrem (tatharruf), menghindari sikap 
                                yang terlalu mudah mengkafirkan seseorang 
                                (takfîr) serta sudah 
                                saatnya agar harakah Islamiyah membuka diri 
                                untuk berdialog dengan arus yang selama ini 
                                berseberangan dengan mereka, baik kalangan 
                                sekuler, orientalis, mereka yang berbeda 
                                agama,  bahkan dialog dengan mereka yang 
                                ateis, sehingga harakah Islamiyah tidak 
                                lagi diasumsikan sebagai gerakan yang ekslusif 
                                (inghilâq).  
                                Satu hal yang tidak kalah penting bagi 
                                para aktivis harakah Islamiyah adalah agar mau 
                                merangkul semua kelompok yang sama-sama memiliki 
                                dedikasi untuk Islam, sehingga dalam menghadapi 
                                berbagai kekuatan dan pemikiran yang akan 
                                merusak jati diri Islam, mereka dapat bersatu 
                                padu dalam sebuah barisan yang kokoh dengan 
                                seluruh kekuatan yang mereka miliki 
                                bersama.   c.       
                                Pro-Kontra 
                                Seputar Pemikiran Qardhawi Adalah merupakan 
                                salah satu sunnah Allah bahwa kehidupan 
                                manusia  tidak akan ada yang mencapai 
                                kesempurnaan. Tidak ada seseorang yang 
                                ide-idenya akan selau mulus diterima tanpa 
                                reserve oleh berbagai kelompok. Begitu pula 
                                dengan usaha-usaha yang dilakuakan oleh 
                                Qardhawi, karena selain para pengagum yang 
                                selalu terperangah dengan ide-ide briliannya, 
                                ada juga kelompok lain yang harus ‘berfikir dua 
                                kali’ untuk menerima ide-idenya, bahkan ada pula 
                                yang mencurigai seluruh usahanya. Pada dasarnya 
                                kritikan yang disampaikan oleh siapa dan kepada 
                                siapa pun, akan sangat konstruktif jika 
                                dilakukan dengan cara-cara yang cerdas dan 
                                beradab, sehingga generasi yang akan datang, 
                                dapat belajar banyak dari mereka. Akan tetapi, 
                                semua itu akan menjadi preseden buruk bagi masa 
                                depan umat, jika dilakukan secara emosional dan 
                                penuh kecurigaan. Pada konteks 
                                inilah kita akan memahami pihak-pihak yang 
                                berseberangan dengan Qardhawi. Di antara para 
                                ulama yang mengkritik Qardhawi dengan ilmu dan 
                                menghargai seluruh usahanya adalah Syaikh 
                                Nashiruddin al-Albani (peneliti hadits terbesar 
                                abad 20), Syaikh Abdullah bin Beh dan Syaikh 
                                Rasyid al-Ghanusi. Untuk mengkritik Qardhawi, 
                                Syaikh al-Albani, menulis sebuah buku yang 
                                berjudul Ghâyah al-Marâm fî Takhrîj Hadîts 
                                al-Halâl wa al-Harâm. Pada buku ini beliau 
                                berusaha meneliti (takhrîj) kesahihan 
                                hadis-hais yang digunakan Qardhawi dalam bukunya 
                                yang berjudul al-Halâl wa al-Harâm fî 
                                al-Islâm. Selain itu, menurut Isham Talimah, 
                                kelompok yang keras mengkritik pemikiran 
                                Qardhawi adalah mereka yang menamakan diri 
                                sebagai kaum Salafî. Ia telah menemukan 
                                ada oknum mereka yang menulis sebuah buku yang 
                                berjudul al-Qardhâwi fî al-Mîzân. Buku 
                                ini beredar luas di Sudi Arabia. Isham Talimah 
                                mengatakan, bahwa ia pernah bertanya mengenai 
                                persoalan ini kepada salah seorang pejabat 
                                Konsul Saudi Arabia di Qathar. Ternyata ia menjawab bahwa 
                                buku tersebut ditulis oleh seseorang yang tidak 
                                dikenal, karena ulama-ulama Saudi sangat respek 
                                terhadap pemikiran Qardhawi. Buku ini telah 
                                dijawab dengan ilmiah dan penuh tangung jawab 
                                oleh salah seorang mantan hakim Syari’ah Qathar, 
                                Syaikh Walid Hadi.   d. 
                                Penutup Demikianlah 
                                pembacaan kami terhadap usaha dan karya ulama 
                                yang karya tulisnya telah mencapai ratusan ini. 
                                Apapun yang kami tangkap dan tuangkan pada 
                                tulisan sederhana ini adalah merupakan sebuah 
                                pandangan sederhana dari seseorang yang ingin 
                                berpihak kepada kebenaran dan ingin menjauhi 
                                sikap berat sebelah. Apapun hasilnya, Allah maha 
                                tahu terhadap mereka yang tulus membela 
                                agama-Nya dan Dia maha tahu pahala apa yang 
                                layak diberikan-Nya. 
                                [www.islamlib.com] Wallâhu ‘Alam bi 
                                al-Shawâb.   Kairo,  22 
                                Juni 2002 M,  11 Rabi’utsani  1423 
                                H   DAFTAR 
REFERENSIAl-Jauziyah, Ibn 
                                Qayyim. ‘Ilâm al-Muwâqi’în. (Dar al-Fikr: 
                                Beirut). 1976. Farhat, Muhamad 
                                Nur. al-Bahtsu ‘an al-‘Aql: Hiwâr ma’a fikr 
                                al-Hâkimiyah wa al-Naql. (Dar al-Hilâl: 
                                Kairo).1997. 
                                  
 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                [7] 
                                Muhamad Nur Farhat. al-Bahtsu ‘an al-‘Aql: 
                                Hiwâr ma’a fikr 
                                al-Hâkimiyah wa 
                                al-Naql. Dar al-Hilâl: Kairo.1997. Halaman: 
                                269. 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 
                                 |