MOHAMMAD ARKOUN:
CARA MEMBACA AL-QUR’AN
Oleh: Cecep Romli Bihar Anwar
Potret Seorang Sejarawan-Pemikir
1. Latar
Belakang sosial dan Intelektual
Mohammded Arkoun lahir pada
1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia,
Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan
berpenduduk Berber, terletak di sebelah timur
Aljir. Berber adalah penduduk yang tersebar
di Afrika bagian utara. Bahasa yang dipakai
adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).
Setelah Aljazair ditaklukan
bangsa Arab pada tahun 682, pada masa
kekhalifahan Yazid bin Muawiyah, dinasti Umayah,
banyak penduduknya yang memeluk Islam. Bahkan di
antara mereka banyak yang ikut dalam berbagai
pembebasan Islam, seperti pembebasan Spanyol
bersama Toriq Bin Ziyad.
Gerakan islamisasi di
daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai
oleh nuansa sufisme. Mahdi Bin Tumart dari
dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan
ortodoksi Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi,
tokoh sufisme yang terkenal itu, sempat
berguru kepada seorang sufi terkemuka di daerah
ini, Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang
berkembang adalah Syaziliyah, Aljazuliyah,
Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.
Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme
populer, berbagai unsur kepercayaan animistik
Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika.
Misalnya, konsep “manusia-suci atau pemimpin
keagamaan (alfa) merupakan serapan budaya
pemujaan orang-suci sebelum Islam datang.
Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang
sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual inilah
Arkoun dibesarkan.
Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi
dan kebudayaan merupakan faktor penting bagi
perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun
secara intens akrab dengan tiga bahasa: Kabilia,
Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai
dalam bahasa keseharian, bahasa Perancis
digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan
administratif, sementara bahasa Arab digunakan
dalam kegiatan-kegiatan komunikasi di mesjid.
Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut
mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang
berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga
mewakili cara berpikir dan memahami. Bahasa
Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan,
merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi
dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan
ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu tahun.
Bahasa Arab merupakan alat pengungkapan tertulis
mengenai ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri
Aljazair ini dengan Timur Tengah. Bahasa
Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan
menjadi sarana akses terhadap nilai dan
tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak
mengherankan kemudian kalau masalah bahasa
mendapatkan perhatian besar dalam bangunan
pemikiran Arkoun.
2. Pendidikan
dan Pengalaman
Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan
ke sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, kota
utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai
1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di
universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah
sekolah menengah atas di al-Harrach, di daerah
pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai
1962 ia menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961
Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas
Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra
pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972 Arkoun
mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia
kembali sebagai guru besar dalam bidang sejarah
pemikiran Islam.
Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi
Islam terkenal, Arabica. Ia juga memangku
jabatan resmi sebagai anggota panitia nasional
(Perancis) untuk Etika dan Ilmu Pengetahuan
Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota
majelis nasional untuk AIDS, dan anggota
Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, ia
menjabat sebagai direktur Lembaga Kajian Islam
dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne
Nouvelle (Paris III).
Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di
sejumlah universitas di luar Perancis, seperti
Iniversity of California di Los Angeles,
Princeton University, Temple University di
Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab
dan Islam di Roma, dan Universitas Katolik
Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat
menjadi Guru Besar tamu di Universitas
Amsterdam.
Konteks Pemikiran Pasca-Modernisme dan
Karya-karyanya
Pemikiran Arkoun sangat kentara dipengaruhi oleh
gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode
historisisme yang dipakai Arkoun adalah
formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil
ciptaan para pemikir (post) strukturalis
Perancis.
Referensi utamanya adalah De Sausure
(linguistic), Levi straus (antropologi), Lacan
(psikologi), Barthes (smiologi), Foucault
(epistemologi), Derrida (grammatologi)., filosof
Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack
Goody dan Pierre Bourdieu.
Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post)
strukturalisme untuk kemudian diterapkannya ke
dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep
seperti korpus, epistema, wacana, dekontruksi,
mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan
dipikirkan, parole, aktant dan lain-lain,
adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan
dalam kancah pergulatannya dengan (post)
strukturalisme. Arkoun memperlihatkan
kepiawaiannya ketika secara eklektik bisa
“menari-nari” di atas panggung post
strukturalisme itu, dan bila perlu sekali-kali
bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya,
bisa menerapkan analisis semiotika
ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui
batas kemampuan semiotika itu sendiri.
Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini
semiotika belum mengembangkan peralatan analitis
khusus untuk teks-teks suci. Padahal,
teks-teks keagamaan berbeda dengan teks lainnya
karena berpretensi mengacu pada petanda
terakhir, petanda transendental (signifie
dernier). Arkoun juga bisa
mencomot konsep-konsep dari Derrida
tanpa
harus terjebak pada titik
paling ekstrim dari implikasi pemikiran Derrida:
tidak ada petanda terakhir. Bahkan dalam
bangunan pemikirannya, Derrida yang
berpendapat bahwa bahasa tulisan lebih awal
ketimbang lisan (dalam bidang filsafat bahasa)
bisa disajikan, tanpa berbenturan dengan Frye
yang memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih
awal ketimbang bahasa tulisan (dalam bidang
antropologi, perkembangan kebudayaan atau
peradaban).
Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai
sejarawan-pemikir dan bukan sebagai
sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran
bertugas hanya untuk menggali asal-usul dan
perkembangan pemikiran (sejarawan murni),
sementara sejarawan-pemikir dimaksudkan sebagai
sejarawan yang setelah mendapatkan data-data
obyektif, ia bisa juga mengolah data tersebut
dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata
lain, seorang sejarawan-pemikir bukan hanya
bertutur tentang sejarah pemikiran belaka
secara pasif, melainkan juga secara aktif
bisa bertutur dalam
sejarah.
Sementara itu, karya-karya Arkoun meliputi
berbagai bidang. Di sini hanya disebutkan
karya-karya yang berkaitan dengan kajian Islam
pada umumnya dan metodologi “cara membaca
Qur’an”nya pada khususnya: traduction
francaise avec introduction et notes du Tahdib
Al-Akhlaq
(tulisan tentang etika/terjemahan Perancis dari
kitab Tahdib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih),
La pensee arabe (Pemikiran Arab),
Essais sur La pensee islamique (esei-esei
tentang pemikiran Islam, Lecture du Coran
(pembacaan-pembacaan Al-Qur’an, pour une
critique de la raison islamique (demi kritik
nalar islami), Discours coranique et
pensee scintifique (Wacana Al-Qur’an dan
pemikiran ilmiah). Kebanyakan karya Arkoun
ditulis dalam bahasa Perancis.
B.
Kerangka Proyek Kritik Akal Islam Arkoun
Mohammed Arkoun memiliki “proyek kritik atas
akal Islam” dimana metode historis modern
menempati peran sentralnya. Proyek ini
terkandung dalam bukunya yang paling
fundamental, Pour de la raison islamique,
(Menuju Kritik Akal Islam). Buku ini, yang
semula akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
dengan judul “naqdu al-‘aqli al-Islmiy”,
kemudian diterjemahkan dengan judul “tarikhiyyatu
al-Fikri al-Arabiy al-Islamiy”
(Historitas Pemikiran Arab Islam). Menurut
Luthfi Assyaukany, karya tersebut bisa mewakili
pemikiran Arkoun secara keseluruhan, meskipun ia
masih mempunyai banyak karya lain.
Metode yang ditempuh Arkoun dalam buku ini
adalah metode historisisme. Historisisme
berperan sebagai metode rekonstruksi makna
melalui cara penghapusan relevensi antara teks
dengan konteks. Melalui metode historisisme,
yang mewujud dalam bentuk “kritik nalar islami”,
teks-teks klasik didekonstruksi menuju
rekonstruksi (konteks). Bila metode ini
diterapkan pada teks-teks agama, apa yang diburu
Arkoun adalah makna-makna baru yang secara
potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut.
Luthfi Asysaukanie menggolongkan Arkoun ke dalam
tipologi pemikir Arab kontemporer yang
“reformistik-dekonstruktif”. Tipologi
wacana pemikiran ini masih percaya pada tradisi
sejauh disesuaikan dengan tuntutan modernitas.
Arkoun, misalnya, membedakan dua tradisi: 1)
Tradisi dengan T besar yang berarti tradisi
transendental, abadi dan tak berubah; 2) tradisi
dengan t kecil yang adalah produk sejarah dan
budaya manusia, baik yang merupakan warisan
turun menurun maupun hasil penafsiran atas wahyu
tuhan lewat teks-teks suci.
Bagi Arkoun, hanya tradisi kedualah yang dapat
diuji lewat kritisisme, dan karenanya ia
mengabaikan tradisi yang pertama. Kelak,
sebagaimana akan dibahas, pembedaan Arkoun atas
tradisi ini, juga terlihat dalam bangunan
metodologi “cara membaca Qur’an”nya.
Arkoun menganggap proyek kritik akal Islamnya
sebagai tak lain dari perluasan terhadap makna
ijtihad klasik. Perpindahan dari ijtihad klasik
ke kritik akal Islam adalah usaha mematangkan
dan memantapkan posisi ijtihad itu sendiri.
Karena begitu sentralnya “proyek kritik akal
Islam” ini dalam bangunan pemikiran Arkoun,
berikut ini disajikan penjelasan Arkoun mengenai
maksud dari kata “kritik” dan
“akal”, dengan eksplorasi penerapannya.
Menurut pengakuannya,
istilah “kritik akal” dalam bukunya itu tidaklah
mengacu pada pengertian filsafat, melainkan pada
kritik sejarah. Ketika mendengar kata kritik
akal, orang memang tidak gampang melupakan karya
filosof besar Immanuel Kant,
Critique of pure Reason dan Critique of
Practical Reason, dan karya
Sartre, Critique of
Dialectical Reason. Tetapi, kata Arkoun,
belakangan Francois Furet menggunakan
istilah tersebut untuk tujuan penelitian
sejarah. Berbeda dengan Kant dan Sartre, Furet
adalah seorang sejarawan. Ia berusaha memikirkan
(ulang secara kritis tentunya) seluruh tumpukan
literatur sejarah mengenai revolusi perancis.
Revolusi Perancis adalah peristiwa sejarah yang
amat kompleks serta mempunyai pengaruh yang
begitu besar, sebegitu rupa sehingga darinya
lahir banjir bandang literatur komentar,
interpretasi yang beragam dan bahkan
bertentangan. Menurut Arkoun keadaan ini bisa
dibandingkan dengan peristiwa turunnya wayhu
Al-Qur’an yang telah melahirkan sekian banyak
literatur, yang selain beragam juga kadang
saling bertentangan satu sama lain. Ia
menegaskan:
Peristiwa itu (Revolusi Perancis) telah
merangsang lahirnya komentar serta teori yang
begitu luas serta teori yang begitu luas sejak
dua ratus tahun lampau hingga sekarang
(1789-1989). Keadaan ini dapat kita bandingkan
dengan apa yang terjadi pada kita dengan teks
Al-Qur’an.
Adapun kata akal merujuk
pada akal sebagai fakultas dalam diri manusia
untuk berpikir. Manusia berpikir dengan
menggunakan alat-alat, yakni berupa kata-kata
dari suatu bahasa, kategori-kategori dari
logika, postulat atau hipotesa tentang realitas.
Akal bisa berubah, seiring dengan perkembangan
alat-alat berpikir yang ditemukan akal itu
sendiri, seperti dari penemuan-penemuan ilmiah
yang revolusioner. Karena itu, Arkoun menegaskan
bahwa akal bukanlah konsep abstrak yang
melayang-layang di udara, ia adalah konsep
konkret yang bisa berubah-rubah. Ia mempunyai
sejarahnya dan memang terus meyejarah.
Arkoun membedakan bahan dan postulat
antara akal religius (religius reason)
dan akal filosofis (philosophical reason).
Dalam diskursus religius misalnya, ada
metafor-metafor, simbol dan kisah-kisah mitis.
Akal religius digunakan oleh kaum semitis:
yahudi, kristen dan islam, sementara akal
filosofis digunakan oleh filosof Yunani.
Menurutnya, penemuan revolusioner
Galileo dibidang astronomi (bahwa bumi mengitari
matahari) pada abad 16, revolusi Lutherian pada
abad 18 yang menegakkan pendirian (otonomi)
akal--dan menempatkannya dalam posisi
rasional—terhadap kitab suci, dan revolusi
politik di Inggris dan Perancis pada abad 18,
telah merubah akal secara radikal dengan
menghasilkan akal “modern”. Tetapi, apa yang
terjadi di Italia, Inggris, Perancis, spanyol
itu tidak terjadi dalam masyarakat-masyarakat
Islam.
Akibatnya, akal (atau alam pikiran) umat Islam
belum bisa lepas dari mental abad pertengahan
yang kental dengan ortodoksisme dan dogmatisme.
Untuk menelusuri
sejarah pemikiran Islam, layaknya seorang
arkeolog, Arkoun menggali seluruh
lapisan geologis pemikiran (akal) Arab-Islam
dengan memakai “pisau” epistema
Michael Foucault. Arkoun membagi tiga
tingkatan sejarah terbentuknya akal Arab-Islam:
klasik, skolastik dan modern. Yang dimaksud
dengan tingkatan klasik adalah sistem pemikiran
yang diwakili oleh para pemula dan pembentuk
peradaban Islam. Skolastik
adalah jenjang kedua
yang merupakan
medan taklid sistem berpikir umat.
Sedangkan tingkatan modern adalah apa yang
dikenal dengan kebangkitan dan revolusi. Dengan
membagi sejarah ke dalam tiga penggalan (ruputure)
epistema ini, tampaknya Arkoun bermaksud untuk
menjelaskan term “yang terpikirkan” (le
pensable/ thinkable), “yang tak terpikirkan”
(l’impinse/unthikable) dan “yang
belum terpikirkan” (l’impensable/not yet
thought),
untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah
sejarah sistem pemikiran Arab-Islam.
Yang dimaksud dengan “yang terpikirkan adalah
hal-hal yang mungkin umat Islam memikirkannya,
karena jelas dan boleh dipikirkan. Sementara
“yang tak terpikirkan adalah hal-hal seputar
tidak ada kaitannya antara ajaran agama
dengan praktek kehidupan.
Demi menembus lapisan terdalam dari geologi
pemikiran Islam, Arkoun pun menjamah
jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah
dan
Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an
tunduk pada sejarah (the Qur’an is
subject to historicity).
Baginya, lantaran Assyafi’i berhasil
membuat sistematika konsep sunnah
dan pembakuan ushul kepada standar
tertentu serta pembakuan Qur’an kepada sebuah
mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf
Utsman), banyak ranah pemikiran yang
tadinya “yang terpikirkan”, berubah menjadi
hal-hal yang tak terpikirkan. Sampai sekarang,
di tengah tantangan barat modern,
menurutnya, daerah tak terpikirkan masih terus
melebar.
Demikianlah, Arkoun
melihat ortodoksisme (paham yang selalu
menekankan pada penafsiran nash-nash yang
pasti benar, sehingga penafsiran orang lain
salah, bid’ah) dan dogmatisme abad
skolastik (dogmatisme ditandai dengan
pencampuradukkan antara wahyu dengan non wahyu,
atau masuknya non-wahyu ke dalam wilayah wahyu),
masih tetap bercokol dalam akal Arab-Islam
dewasa ini.
Dengan kritik historisnya, Arkoun menemukan
karakteristik umum akal-akal islam.
Pertama, ketundukan akal-akal kepada
wahyu yang “terberi” (diturunkan dari langit).
Wahyu mempunyai kedudukan dan posisi yang lebih
tinggi, sebab dihadapan akal-akal itu ia
memiliki watak transendentalitas (al-ta’ali,
La trancendance) yang mengatasi manusia,
sejarah dan masyarakat. Kedua,
penghormatan dan ketaatan kepada otoritas agung.
Imam mujtihid dalam setiap madzhab tidak boleh
dibantah atau didebat, walaupun di antara para
mujtahid sendiri terdapat banyak perbedaan
bahkan perselisihan. Para imam mujtahid ini
telah mematok kaidah-kaidah menafsirkan Al-Quran
secara benar, termasuk istimbath hukum.
Otoritas ini menjelma dalam sosok para imam
madzhab. Ketiga, akal beroperasi dengan
cara pandang tertentu terhadap alam semesta,
yang khas abad pertengahan, sebelum lahirnya
ilmu astronomi modern.
Maka, bagi Arkoun, syarat
utama untuk mencapai keterbukaan (pencerahan)
pemikiran Islam di tengah kancah dunia
modern adalah dekontruksi terhadap epistema
ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan.
Dari kritik historisnya,
Arkoun juga mendapati bahwa tumpukan literature
tafsir Al-Qur’an tak ubahnya seperti endapan
lapisan-lapisan geologis bumi. Dalam konteks
ini, secara radikal Arkoun menganggap sejarah
tafsir sebagai sajarah penggunaan Al-Qur’an
sebagai dalih:
Jika kita lihat khazanah tafsir
dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan tahu
bahwa sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah “alat”
saja untuk membangun teks-teks lain yang dapat
memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa
tertentu setelah masa turunnya Al-Qur’an itu
sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan
sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia
merupakan karya intelektual serta produk budaya
yang lebih terikat dengan konteks kultural yang
melatarinya, dengan lingkungan sosial atau
teologi yang menjadi “payungnya” nya daripada
dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri.
Menurutnya, pola hubungan yang terus-menerus
antara teks pertama dan ekploitasi teologis dan
ideologis yang begitu beragam terhadapnya yang
dilakukan oleh berbagai latar kultural dan
sosial yang berbeda itu, membuat teks kedua
memiliki sejarahnya sendiri. Sejarah tafsir
adalah sejarah pernyataan yang diulang-ulang,
secara lebih kurang atau lebih bersemangat,
mengenai sifat kebenaran, keabadian dan
kesempurnaan dari risalah yang diterima dan
disampaikan Nabi Muhammad. Dengan begitu, tafsir
lebih bersifat “apologi defensif”
daripada pencarian suatu cara memahami. Padahal,
kata Arkoun, Al-Qur’an tidak membutuhkan suatu
apologi guna menunjukkan kekayaan yang
terkandung didalamnya.
Karena itu, berbagai literatur tafsir, di satu
sisi, memang membantu mengantarkan kita untuk
memahami Al-Qur’an; namun, di sisi lain, kadang
malahan merintangi pemandangan kita dari
Al-Qur’an. Lantaran sejarah tafsir yang
“menggeologis” itulah, barangkali, Arkoun
memandang Al-Qur’an sekarang lebih banyak
menyebabkan kemandegan ketimbang pencerahan dan
kemajuan:
Jadinya sekarang, Kalam Allah ditentang
dan digagalkan oleh praktek masyarakat
kita di masa kini; dihormati, namun pada
kenyataannya dihalangi oleh kaum muslim, dan
direduksi oleh pengetahunan ilmiah kaum
orientalis menjadi kejadian budaya semata.
Dalam konteks di atas,
perlu segera dicatat bahwa yang dianggap tidak
relevan atau memandegkan bukanlah Al-Qur’an,
melainkan pemikiran yang dipakai oleh para
teolog dan fuqaha dalam menafsirkan Al-Qur’an:
Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an
tidak relevan. Saya tidak berkata demikian.
Harap berhati-hati. Yang saya katakan adalah
bahwa pemikiran yang dipakai oleh para teolog
dan fuqoha untuk menafsirkan Al-Qur’an tidak
relevan. Sebab, sekarang kita ilmu baru seperti
antropologi, yang tidak mereka kuasai. Kita juga
memiliki linguistik baru, metode sejarah,
biologi—semuanya tidak mereka kuasai.
Demikian komplek dan
peliknya sejarah tafsir, sehingga upaya
restrukturisasi (I’adat tarkib) dengan
cara penulisan sejarahnya secara jernih dan
kritis adalah sangat mendesak. Berangkat dari
persoalan ini, Arkoun merumuskan permasalahan:
Bagaimanakah kita dapat melakukan
klarifikasi (al-idhahah at-tarikhiyyah)
seperti terlihat di atas? Bagaimana kita
dapat membaca Al-Qur’an secara “baru”?
Bagaimanakah kita dapat memikirkan ulang
pengalaman kesejarahan Islam sepanjang empat
belas abad?
Untuk
menelusuri alur pikiran metodologi Arkoun dalam
memahami Al-Qur’an (bagaimana), terlebih dahulu
di sini akan diajukan dua pertanyaan: (1) apa
itu teks Al-Qur’an; dan (2) apa tujuan membaca
Al-Qur’an. Sebab, secara metodologis, cara
membaca Al-Qur’an sedikit banyak
ditentukan oleh antara lain pandangan mengenai
Al-Qur’an itu sendiri (postulat ontologis) dan
tujuan pembacaannya (postulat Aksiologis).
C. Apa Itu Al-Qur’an dan Apa
Tujuan Membaca (Qira’ah) nya?
Di
antara teks-teks keagamaan, tentunya teks kitab
suci menduduki posisi paling sentral karena di
dalamnya terkandung pewahyuan ilahi kepada
manusia. Lagi pula, proses pewahyuan ini besifat
unik, dalam pengertian sekali untuk selamanya
dan tak tergantikan. Nama-nama lain Al-Qur’an
sendiri seperti al-Furqon, (al-Furqon:1),
al-Kitab (al-Dukhon:1-2), Kalam
(al-Taubah:6), Nur (al-Nisa:174),
Mau’idzah (Yunus:57), al-Shirat
al-Mustaqim
(al-An’am:153)
dan lain-lain, mencerminkan pandangan kaum
muslim mengenai status kitab sucinya yang sangat
dimuliakan dan disucikan.
Mengikuti analisis
semiotik, Arkoun menekankan
bahwa teks yang ada di
tengah-tengah kita adalah
hasil tindakan pengujaran (enonciation).
Dengan kata lain, teks ini berasal dari bahasa
lisan yang kemudian ditranskripsi ke dalam
bentuk teks. Tidak terkecuali teks-teks
kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang diterima dan disampaikan
nabi Muhammad kepada umat manusia selama tidak
kurang dari dua dasawarsa. Terhadap keyakinannya
ini, dalam berbagai kesempatan Arkoun selalu
menegaskannya: baik yang bersifat spontan dari
keimanannya sebagai muslim maupun dari
pernyataan-pernyataannya yang ingin
“membuktikan” keniscayaan petanda terakhir (signifie
dernier).
Akan tetapi, wahyu dalam bentuk bahasa lisan ini
baru kemudian dibukukan setelah memasuki
masa Utsman, sekitar satu setengah periode
setelah nabi Muhammad saw. wafat. Jauh
sebelum Arkoun, buku-buku pegangan (teksbook)
sebenarnya telah banyak memberikan informas
mengenai penulisan dan pembakuan wahyu menjadi
mushaf Utmsni ini. Hanya saja, Arkoun melihat
bahwa informasi-informasi tersebut belum
dipertimbangkan secara serius bagi penjelajahan
makna Al-Qur’an. Untuk mempertimbangkan data
historis ini semaksimal mungkin, Arkoun kembali
pada rujukan linguistik mengenai: (1) peralihan
dari bahasa lisan ke bahasa tulisan; dan (2)
perubahan dari kalam kenabian yang bersifat
terbuka pada konteks yang beraneka ragam, yang
membicarakan situasi akhir batas eksistensial
manusia: cinta, hidup, dan mati; menjadi wacana
pengajaran yang memerikan menurut anggitan
kaku dan karenanya cenderung tertutup.
Tampaknya, bagi Arkoun, proses yang kedua
(perubahan kalam kenabian) dengan yang pertama
(peralihan bahasa lisan ke tulisan) berlangsung
seiring dan berjalan secara simultan.
Menerapkan proses
linguistis di atas kepada proses gerakan
tanzil (turunnya) wahyu, Arkoun
memilah-milah tahap-tahap kalam Allah
(KL), Wacana Qur’ani (WQ), Korpus Resmi Tertutup
(KRT) dan Korpus Tertafsir (KT). Anggitan Kalam
Allah atau merujuk pada Logos atau sabda Allah
yang tak terbatas dalam pengertian yang dipakai
al-Qur’an (31:27):
” Seandainya semua pohon yang ada di
atas bumi diubah menjadi pena dan lautan
yang diperluas dengan tujuh lautan lain dengan
tinta, kata-kata Allah tidak akan habis
(oleh usaha mentranskripsinya)”. Demikian
juga dalam pengertian orang-orang kristen yang
mengatakan, “ Isa adalah Sabda Allah”.
Maka, wahyu-wahyu yang
disampaikan kepada manusia dengan perantaraan
para rasul hanyalah penggalan dari Kalam Allah
yang tak terbatas, suatu Kalam yang tak tertulis
yang didefinisikan dalam teologi klasik sebagai
bersamaan dengan Allah dalam keabadian-Nya.
Penggal-penggal dari kalam
Allah secara linguistis telah diartikulasikan
dalam bahasa Ibrani (Al-kitab), bahasa Aramea
(Isa, meski demikian ajarannya dilaporkan dalam
bahasa Yunani), dan bahasa Arab (Qur’an). Tahap
pengujaran lisan sejajar dengan atau sesuai
dengan tahap wacana (yakni wacana dalam
pengertian linguistik yang diartikan
sebagai pengujaran yang mengandaikan adanya
seorang pembicara dan pendengar dengan niat dari
yang pertama untuk menyampaikan kepada yang
kedua suatu pesan dan kemungkinan bagi yang
kedua untuk bereaksi secara langsung) Alkitab,
Injil dan Qur’an. Hubungan komunikasi antara
Tuhan dan Nabi selalu terkait dengan situasi
wacana atau lingkuangan
semiologis ketika pelepasan dan penangkapan
pesan berlangsung, yang terjadi sekali untuk
selamanya dan tidak bisa diulang. Inilah tahap
semio-linguis yang pertama.
Tahap semio-linguis kedua adalah proses
pencatatannya secara tertulis dalam mushaf
Utsmani (Korpus Resmi Tertutup).
Dengan ungkapan Corpus officiel clos,
Korpus resmi tertutup, Arkoun ingin
menekankan aspek historisis dari mushaf, yang,
suka atau tidak, tidak bisa diabaikan. Arkoun
mengatakan:
This is extremely important: it
refer to many historical fact depending on
social and political agent, not on God. Let us
elaborate it more clearly.
Tahap semio-linguis ketiga
adalah penafsiran dari Korpus Resmi Tertutup
itu. Secara linguistis adalah mutlak sehubungan
dengan penjelajahan makna-makna al-Qur’an itu,
pemahaman bahwa selalu teks tertulislah
yang ditafsirkan dan bukan lagi wacana
pertama. Arkoun mengajukan argumentasi:
Sesungguhnya kita tahu bahwa
suatu teks tidak ditulis selama saya belum
membacanya: artinya setiap pembaca menulis
teks itu lagi sesuai dengan kisi-kisi
persepsinya dan prinsip-prinsip penafsirannya.
Kisi-kisi dan prinsip-prinsip sendiri tidak
hanya berkaitan dengan tradisi kebudayaan
yangdipakiai setiap pembaca sebagai sandaran,
namun juga dengan paksaan ideologis dari
keolompok dan masanya.
Dengan demikian, dapat dilihat secara mencolok
bahwa Arkoun mengaitkan (menarik korelasi
positif) proses pembekuan tafsir al-Quran
tersebut yang tercermin dari berbagai tumpukan
literatur, dengan proses penetapan
al-Qur’an secara tertulis dan dengan perubahan
dari wacana kenabian menjadi wacana pengajaran,
sebagaimana disinggung di atas. Pendirian Arkoun
ini bukannya melenggang tanpa kritik. Van
Koningsveld, dalam kritiknya terhadap Arkoun,
mengatakan bahwa Arkoun melebih-lebihkan
pentingnya pencatatan teks Qur’an secara
tertulis sebagai faktor pembakuan penafsirannya.
Merujuk pada Hjemselv, bahwa pendekatan semiotis
yang memandang suatu teks sebagai
keseluruhan dan sebagai sesuatu sistem dari
hubungan-hubungan interen, dan mendekati suatu
teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya atau
praanggapan lain, tampaknya Arkoun melihat
Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan teks yang
terkait secara koheren dan utuh satu sama
lain. Karena itu juga, Arkoun ingin memandang
Al-Qur’an sebagaimana Al-Qur’an itu sendiri
berbicara dan memandang dirinya sendiri.
Dari semua proses historis di atas, Arkoun
tampaknya ingin menegaskan bahwa telah terjadi
pemiskinan kemungkinan untuk memahami wahyu dari
segala dimensinya. Firman kenabian (prophetique)
di reduksi menjadi firman yang berorientasi pada
pengajaran (professoral), yakni
berorientasi pada abstraksi tanpa
memperhitungkan secara serius pihak yang
mula-mula dituju oleh firman itu.
Dalam ungkapan bahasa semiotika, teks Qur’an
sebagai parole di desak oleh teks
langue.
Mengenai langue bahasa arab sebagai lokus
turunnya Al-Qur’an ini, Arkoun mengatakan:
Pada kenyataannya, wacana Qur’an adalah
suatu orkestrasi musikal sekaligus simantis dari
anggitan-anggitan kunci yang ditimba dari kosa
kata arab biasa yang telah mengalami
transformasi radikal selama berabad-abad.
Di atas segalanya, Arkoun
berpendapat bahwa meskipun Qur’an sekarang lebih
berfungsi sebagai teks tertulis,
Qur’an kini tetap merupakan parole bagi
para mukmin.
Adapun tujuan membaca al-Qur’an (qira’at)
bagi Arkoun adalah untuk mengerti (comprendre)
komunikasi kenabian yang disampaikan lewat teks
tertulis. Dengan kata lain, qira’at
dimaksudkan untuk melakukan semacam “napak
tilas” proses pengujaran (enonciation)
Al-Qur’an dari berbagai segi dan dimensinya,
sebagaimana waktu pertama kali di ungkapkan
dalam suasana
semiologis yang masih kaya dan segar.
Artinya, tujuan qira’at bukan
semata-mata untuk mengerti teks, melainkan
untuk mendapatkan teks. Secara metodologis,
“napak tilas” ini sebenarnya tidak mungkin
karena proses pengujaran hanya terjadi satu
kali, unik, dan karenanya tak akan pernah
terulang lagi. Yang paling mungkin
dilakukan hanyalah menjulurkan tangan secara
asimtotis
kepada suatu pendekatan yang makin lama makin
akrab dengan wacana itu, dengan cara
mengembalikan (dengan segala keterbatasannya)
teks Qur’an sebagai langue menjadi
parole bagi orang-orang yang hidup pada
zaman sekarang ini.
Bagi Arkoun,
Qira’at juga dimaksudkan untuk
memproduksi makna-makna yang berada di balik
teks harfiah, dengan cara mengungkap struktur
bahasa mitis Al-Qur’an dan melepaskannya dari
jebakan bahasa logis dan logosentris.
Tampaknya, bagi Arkoun,
qira’at juga berarti menangkap pesan
universal dan asas paling primordial yang berada
di balik semua Al-Kitab (selauruh kitab suci
yang diturunkan Allah kepada umat manusia lewat
perantaraan para rasul-Nya), dengan melakukan
semacam ziarah spiritual vertikal melalui
gerak-balik menaiki tangga gerakan
linear tanzil Al-Qur’an yang
dikemukakannya, sampai pada Sabda atau Kalam
Allah yang tak terhingga, guna mendamaikan
perang teologis yang terjadi di antara
masyarakat kitab. Karena itu, Arkoun
menginginkan tafsirnya mampu mengatasi masalah
ketegangan klaim teologis ini:
Keinginan kami adalah membuat
mungkin suatu penanganan yang solider terhadap
kitab-kitab suci oleh orang-orang “ahlu kitab”
Untuk itu kami mengajak pembaca untuk membaca
Al-Qur’an menurut aturan-aturan suatu
metode yang dapat diterapkan kepada
semua teks doktrinal besar.
D. Cara Membaca Al-Qur’an Mohammed
Arkoun
Aturan-aturan metode Arkoun yang hendak
diterapkannya kepada Al-Quran (termasuk kitab
suci yang lainnya) terdiri dari dua kerangka
raksasa:
1.
mengangkat
makna dari apa yang dapat disebut dengan
sacra doctrina dalam Islam dengan
menundukkan teks al-Qur’an dan semua teks yang
sepanjang sejarah pemikiran Islam telah berusaha
menjelaskannya (tafsir dan semua litaeratur yang
ada kaitannya dengan Al-Qur’an baik langsung
maupun tidak), kepada suatu ujian kritis
yang tepat untuk menghilangkan
kerancuan-kerancuan, untuk memperlihatkan
dengan jelas kesalahan-kesalahan,
penyimpangan-penyimpangan dan
ketakcukupan-ketakcukupan, dan untuk mengarah
kepada pelajaran-pelajaran yang selalu berlaku;
2.
Menetapkan suatu
kriteriologi yang didalamnya akan dianalisis
motif-motif yang dapat dikemukakan oleh
kecerdasan masa kini, baik untuk menolak maupun
untuk mempertahankan konsepsi-konsepsi yang
dipelajari.
Dalam mengangkat makna dari
Al-Qur’an, hal yang paling pertama dijauhi oleh
Arkoun adalah pretensi untuk menetapkan “makna
sebenarnya dari Al-Qur’an. Sebab, Arkoun tidak
ingin membakukan makna Al-Qur’an dengan cara
tertentu, kecuali menghadirkan—sebisa
mungkin—aneka ragam maknanya. Untuk itu,
pembacaan mencakup tiga saat (moment):
1.
suatu
saat linguistis yang memungkinkan kita
untuk menemukan keteraturan dasar di bawah
keteraturan yang tampak.
2.
Suatu
saat antropologi, mengenali dalam
Al-Qur’an bahasanya yang bersusunan
mitis.
3.
Suatu saat historis yang di
dalamnya akan akan ditetapkan jangkauan dan
batas-batas tafsir logiko-leksikografis
dan tafsir-tafsir imajinatif yang sampai
hari ini dicoba oleh kaum muslim.
1.
Moment Linguistis Kritis
Pembacaan linguistik
dimulai dengan pengumpulan data-data linguistis
dari Al-Qur’an sebagaimana tertulis. Dalam tahap
ini, misalnya, Arkoun memeriksa tanda-tanda
bahasa (modalisateur du dicours). Karena
“kanon resmi tertutup” ditulis dalam bahasa
arab, maka tanda-tanda bahasa yang harus
diperhatikan adalah tanda-tanda (bahasa) bahasa
arab. Menurut Arkoun, semakin kita menegaskan
modalisateur du discours, kita semakin
memahami maksud (intention) dari
locuteur
(qo’il atau penutur).
Untuk memasuki proses pengujaran, di antara
unsur-unsur linguistik yang diperiksa biasanya
adalah determinan (ism ma’rifah),
kata ganti orang (pronomina, dlomir),
kata kerja (fi’il), sistem kata benda (ism
dan musamma), struktur sintaksis dan
lain-lain. Pemeriksaan terhadap unsur-unsur
linguistis ini dimaksudkan untuk
menganalisis aktan-aktan (actants),
yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada
dalam teks atau narasi. Dengan kategori aktan,
ujaran (Perancis
enonce/Inggris utterance)
dipandang sebagai suatu hubungan antara
berbagai aktan yang membentuknya. Atau,dalam
kaca mata linguistik, ujaran mau tidak mau harus
dilihat dari dari kategori hubungan antar aktan.
Dilihat dari kategori ini, ada tiga poros
hubungan antar-aktan. Poros Pertama dan
yang terpenting adalah poros subyek-obyek di
mana orang dapat memeriksa “siapa” melakukan
“apa”. Poros kedua adalah poros
pengirim-penerima yang menjawab persoalan
siapa melakukan dan untuk siapa dilakukan.
Sedengkan poros ketiga dimaksudkan untuk mecari
aktan yang mendukung dan menentang subyek, yang
berada dalam poros “pendukung-penerima”.
Ketiga pasangan aktan ini dapat membantu pembaca
untuk mengidentifikasi aktan dan kedudukannya.
Aktan tidak selalu harus berupa orang atau
pribadi, tapi juga bisa berupa nilai.
Dengan kategori poros aktan
pengirim-penerima, misalnya, Arkoun mengatakan
bahwa Allah adalah aktan pengirim-penerima;
manusia sebagai pengujar adalah aktan
penerima-pengirim. Dalam kebanyakan surat
Al-Qur’an, Allah adalah aktan pengirim
(destinateur) pesan, sementara manusia adalah
aktan penerima (destinaire) pesan. Akan tetapi
hal sebaliknya juga bisa berlaku: manusia juga
menjadi “pengirim” dan Allah menjadi “penerima”.
Analisis aktansial ini tidak saja diterapkan
pada tingkat sintaksis tapi juga terhadap
seluruh teks sebagai suatu kesatuan atau seluruh
narasi.
Hasil dari kritik
linguistik di atas sebenarnya sudah banyak
dipikirkan oleh para mufassir klasik. Mereka
mementingkan—dan sudah terbiasa dengan analisis
sintaksis. Tetapi bagi Arkoun lebih dari itu:
pentingnya analisis linguistis kritis ini
terletak pada kemungkinan “mengungkapkan tatanan
yang mendalam” yang berada di balik penampakan
teks yang seolah-olah tidak teratur.
2. Moment Antropologis:
Analisis Mitis
Professor linguistik dari Swis, J.
Starobinski, mengartikan hubungan kritis sebagai
“a transcoding, a free transcription of
various data presented in the ‘interior’
of the ‘text’”. Keberhasilan suatu kritik
teks bukan terletak pada kemampuannya untuk
mengupas. Keberhasilannya harus diarahkan kepada
hubungan-hubungan yang ada pada teks yang
tidak lain adalah “the driving force behind the text”
Asumsi Starobinski ini terutama berlaku bagi
penafsiran teks-teks keagamaan. Karena analisis
linguistis memberikan kesan yang determisnistis
dan tidak mempunyai piranti khusus bagi teks
keagamaan. Arkoun telah berusaha melampaui
keterbatasan linguistik tersebut. Dalam hal ini,
Starobinski telah memberikan andil besar
dalam usaha Arkoun untuk memberikan
pertanggungjawaban metodologis. Arkoun
meninggalkan aras kritis dan analitis menuju
aras relasional. Pada aras ini,
qira’at diarahbidikkan kepada signifie
dernier, petanda terakhir. Dalam rangka
mencari petanda terakhir inilah Arkoun beranjak
pada tahap (moment) antropologis di mana
ia memakai analisis mitis. Bila pada tahap
linguistis-kritis data linguistis pertama-tama
dianggap sebagai “kata sebagai tanda” (mot-signe),
maka pada tahap antropologis data linguistik
kemudian dianggap sebagai “kata sebagai simbol”
(mot-symbole).
Menurut Arkoun, semua ciri
yang telah dikenal sebagai gaya bahasa mitis
dalam Alkitab dan Perjanjian Baru terdapat
juga dalam Al-Qur’an. Gaya bahasa Al-Qur’an itu
adalah:
1.
benar, karena
gaya bahasa itu efektif mengenai kesadaran
manusia yang belum digalakkan oleh gaya bahasa
mitis lain yang membuka berbagai perspektif yang
sebanding;
2.
efektif,
karena
gaya bahasa itu menghubungkan dengan waktu purba
penciptaan dan karena gaya itu sendiri
memulai suatu waktu yang istimewa: waktu
pewahyuan, kenabian Muhammad dan para sahabat
yang solih (as-salaf as-solih);
3.
sepontan, karena
gaya bahasa itu merupakan pancaran terus menerus
dari kepastian-kepastian yang tidak
bersandarkan pada pembuktian, melainkan pada
keseuaian yang mendasar dengan semangat-semangat
yang permanen dalam kepekaan manusia;
4.
simbolis, bisa
dilihat dari simbol surga sebagai “surga tuhan
yang penuh dengan bidadari-bidadari yang
merangsang birahi dan di situ mengalir
sungai-sungai anggur dan madu.
Dengan suatu bangunan simbolis luas di
atas, Al-Qur’an membanjiri hati nurani manusia.
Hingga hari ini bangunan simbolis luas itu
tak henti-hentinya memberikan ilham kepada
orang-orang beriman untuk berpikir dan
bertindak. Dalam Al-Qur’an unsur-unsur bangunan
simbolis itu adalah: a) “simbolisme
kesadaran akan kesalahan”
yang oleh
refleksi teologi, yuridis dan moral akan
disederhanakan dalam peraturan formal dan kaku;
b) “simbolisme cakrawala eskatologis”
yang menugasi sejarah dengan satu makna, yakni
pengarahan dan pemaknaan. Orang-orang masuk
Islam, dengan demikian, mendapatkan dirinya
termasuk dalam Sejarah Sakral dari umat
Tuhan; sebagai agen-agen ungkapan terakhir
Kehendak Sakral—Muhammad telah
menutup dengan pasti rangkaian para Rasul—mereka
menjadi umat terpilih yang mesti menunjukkan
cakrawala keselamatan kepada orang-orang lain;
c)”simbolisme umat” yang menerjemahkan
apa yang telah lalu dan menerima proyeksi
sejarah konkret di Madinah pada tahun 1H/622
M.;d)”simbolisme hidup dan mati”.
Simbolisme-simbolisme yang berbeda-beda di atas
ini saling mengisi,saling memperkuat untuk
membangun suatu visi dari dunia yang benar,
yakni suatu visi fungsional yang disesuaikan
secara sempurna dengan pencarian keselamatan
kita. Untuk sekadar mengambil contoh,
simbolisme menyangkut kesadaran akan kejahatan
tampak misalnya pada surat Al-Fatihah dalam
ungkapan iyyaka na’budu..., sirat mustaqim,
magdlubi alaihim, dlaallin dan lain-lain.
Maka,
dalam Islam khususnya, visi imajinatif
transhistoris akan mengalahkan visi metavisis
yang merasionalkan.
Analisis simbolis ini memungkinkan bahasa
keagamaan dapat menjadi bahasa performatif
atau bahasa yang mempunyai kekuatan kreatif (force
effectuante). Ciri performatif ini, yang
memang merupakan ciri yang paling mencolok dalam
bahasa keagamaan, juga berlaku pada Al-Qur’an.
Baginya, “wacana” performatif” adalah “parole
yang ‘mengatakan’ apa yang saya buat dan
pada waktu yang bersamaan merupakan parole yang
membuat saya menyempurnakan atau menyelesaikan
tindakan saya”. Dengan demikian, wacana
performatif bukanlah wacana tentang “tindakan”,
melainkan wacana yang diucapkan bersamaan dengan
dilakukannya “tindakan”. Segi performatif inilah
yang memungkin Al-Qur’an menjadi
parole bagi siapa saja yang
mengujarkannya sebagaimana ia dulu menjadi
parole nabi Muhammad SAW. Ketika kita membaca “ar
rahman ar rahim, misalnya, kita tidak hanya
mengatakan-- atau membuat konstatasi
tentang--suatu tindakan, melainkan juga sedang
menciptakan tindakan, entah itu pengharapan
(mohon pengampunan dari ar rahman ar rahim),
pengakuan, penyerahan diri, permintaan
kepada-Nya dan seterusnya.