Potret
Seorang Intelektual
Neomodernis
1. Latar
Belakang sosial dan
Intelektual
Fazlur Rahman dilahirkan
pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan.
Ia dibesarkan dalam keluarga yang bermadzhab
Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling
rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika
itu anak benua Indo-Pakistan belum terpecah ke
dalam dua negara merdeka, yakni India dan
Pakistan. Anak benua ini terkenal dengan
para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali
Allah, Sir Sayyid Ali dan
Iqbal.
Sejak
kecil sampai umur belasan tahun, selain
mengenyam pendidikan formal, Rahman juga menimba
banyak ilmu tradisional dari ayahnya--seorang
kyai yang mengajar di madrasah tradisional
paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan.
Menurut Rahman sendiri, ia dilahirkan dalam
keluarga muslim yang amat religius. Ketika
menginjak usia yang kesepuluh, ia sudah bisa
membaca Al-Qur’an di luar kepala.
Ia juga menerima ilmu hadis dan ilmu
syariah lainnya. Menurut Rahman, berbeda
dengan kalangan tradisional pada umumnya,
ayahnya adalah seorang kyai tradisional yang
memandang modernitas sebagai tantangan yang
perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia
apresiatif terhadap pendidikan modern.
Karena itu, keluarga Rahman selain kondusif bagi
perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar
tradisional, juga bagi kelanjutan karier
pendidikannya.
Selain itu, latar sosial
anak benua Indo-Pakistan yang telah melahirkan
sejumlah pemikir Islam liberal, seperti
disinggung di atas, juga merupakan
benih-benih dari mana pikiran liberal
Rahman dan skeptisisme Rahman tumbuh.
Misalnya, Rahman sangat apresiatif terhadap
pemikiran pendahulunya. Bahkan dalam
pembahasannya mengenai wahyu ilahi dan nabi, ia
secara eksplisit mengakui bahwa pemikirannya
merupakan kelanjutan dari pemikiran
pendahulunya, yakni Sah Wali Allah dan Muhammad
Iqbal:
Dengan demikian, argumen saya
tentang kemapanan karakter wahyu Al-Qur’an
terdiri dari dua bagian. Dalam bagian Pertama,
saya telah menyetujui—dan tidak berbuat lebih
lagi terhadap—pernyataan-pernyataan syah wali
Allah dan Muhammad Iqbal yang menerangkan proses
psikologis wahyu.
2. Latar
Belakang Pendidikan dan
Pengalaman
Setelah
menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil
studi bidang sastra arab di Departeman Ketimuran
pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia
berhasil menyelesaikan studinya di Universitas
tersebut dan menggondol gelar M. A dalam sastra
Arab. Merasa tidak puas dengan pendidikan di
tanah airnya, pada 1946, Rahman melanjutkan
studi doktoralnya ke Oxford University, dan
berhasil meraih gelar doktor filsafat pada tahun
1951. Pada masa ini seorang Rahman giat
mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia
menguasai banyak bahasa. Paling tidak ia
menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris,
Perancis, Jerman, Turki, Persia, Arab dan
Urdu.
Ia mengajar beberapa saat di Durham University,
Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate
Professor of Philosophy di Islamic Studies,
McGill University,
Kanada.
Sekembalinya
ke tanah air, Pakistan, pada Agustus 1962,
ia diangkat sebagai direktur pada Institute
of Islamic Research. Belakangan, ia juga
diangkat sebagai anggota Advisory Council of
Islamic Ideology Pemerintah Pakistan, tahun
1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan untuk
menafsirkan islam dalam term-term rasional dan
ilmiah dalam rangka menjawab kebutuhan-kebutuhan
masyarakat modern yang progresif. Sedangkan
Dewan Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau
seluruh hukum baik yang sudah maupun belum
ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya
dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”. Kedua
lembaga ini memiliki hubungan kerja yang erat,
karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga
riset untuk mengumpulkan bahan-bahan dan
mengajukan saran mengenai rancangan
undang-undang.
Karena tugas yang diemban
oleh kedua lembaga inilah Rahman intens dalam
usaha-usaha menafsirkan kembali Islam untuk
menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu
saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang
merepresentasikan kaum modernis, selalu
mendapatkan serangan dari kalangan ulama
tradisionalis dan fundamentalis di
Pakistan. Ide-idenya di seputar riba dan
bunga bank, sunnah dan hadis, zakat, proses
turunnya wahyu Al-Qur’an, fatwa mengenai
kehalalan binatang yang disembelih secara
mekanis, dan lainnya, telah meledakkan
kontroversi-kontroversi berskala nasional
yang berkepanjangan. Bahkan pernyataan Rahman
dalam karya magnum opusnya, Islam,
bahwa “Al-Qur’an itu secara keseluruhannya
adalah kalam Allah dan—dalam pengertian
biasa—juga seluruhnya adalah perkataan
Muhammad”, telah menghebohkan media massa selama
kurang lebih setahun. Banyak media yang
menyudutkannya. Al-Bayyinat, media kaum
fundamentalis, misalnya, menetapkan Rahman
sebagai munkir al-Quran. Puncak
kontroversi ini adalah demonstrasi massa dan
aksi mogok total, yang menyatakan protes
terhadap buku tersebut. Akhirnya, Rahman pun
mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan
Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September
1968. Jabatan selaku anggota Dewan Penasehat
Ideologi Islam juga dilepaskannya pada
1969.
Akhirnya, Rahman memutuskan
hijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru
besar dalam kajian Islam dalam segala aspeknya
pada Departement of Near Eastern Languages and
Civilization, University of Chicago. Bagi
Rahman, tampaknya tanah airnya belum siap
menyediakan lingkungan kebebasan intelektual
yang bertanggungjawab.
3. Perkembangan
Pemikiran dan Karya-karyanya
Dari
selintas perjalanan hidup Fazlur Rahman di atas,
Taufik Adnan Amal membagi
perkembangan pemikirannya
ke dalam tiga
babakan utama, yang di
dasarkan pada perbedaan karakteristik
karya-karyanya: (I) periode awal (dekade 50-an);
periode Pakistan (dekade 60-an); dan periode
Chicago (dekade 70-an dan
seterusnya).
Ada tiga karya besar yang
disusun Rahman pada periode awal: Avicenna’s
Psychology (1952); Avicenna’s De
Anima (1959); dan Prophecy in Islam:
Philosophy and Orthodoxy (1958). Dua yang
pertama merupakan terjemahan dan suntingan karya
Ibn Sina (Avisena). Sementara yang terakhir
mengupas perbedaan doktrin kenabian antara yang
dianut oleh para filosof dengan yang dianut
oleh ortodoksi. Untuk melacak pandangan
filosof, Rahman mengambil sampel dua filosof
ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina
(980-1037). Secara berturut-turut, dikemukakan
pandangan kedua filosof tersebut tentang wahyu
kenabian pada tingkat intelektual, proses
psikologis wahyu tehnis atau imaninatif, doktrin
mukjizat dan konsep dakwah dan syariah. Untuk
mewakili pandangan ortodoksi, Rahman menyimak
pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali, Al-Syahrastani,
Ibn Taymiyah dan Ibn Khaldun. Hasilnya adalah
kesepekatan aliran ortodoks dalam menolak
pendekatan intelektualis-murni para filosof
terhadap fenomena kenabian. Memang, Kalangan
mutakallimun tidak begitu keberatan
menerima kesempurnaan intelektual nabi. Tapi
mereka lebih menekankan nilai-nilai syariah
ketimbang intelektual.
Rahman
sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan
mendasar antara posisi filosofis dan ortodoksi.
Sebab, perbedaan ada sejauh pada tingkat
penekanan saja. Menurut para filosof, nabi
menerima wahyu dengan mengidentifikasikan
dirinya dengan Intelek Aktif; sementara menurut
ortodoksi nabi menerima wahyu dengan
mengidentifikasikan dirinya dengan malaikat.
Sementara para filosof lebih menekankan
kapasitas alami nabi sehingga menjadi
“nabi-manusia”, ortodoksi lebih suka meraup
karakter ilahiah dari mukjziat wahyu ini. Kelak,
pandangan ini cukup mempunyai pengaruh terhadap
pandangan Rahman tentang proses “psikologis”
nabi menerima wahyu. Seperti halnya teori para
filosof dan kaum ortodoks, Rahman berteori bahwa
Nabi mengidentifikasikan dirinya dengan hukum
moral.
Pada periode kedua
(Pakistan), ia menulis buku yang berjudul:
Islamic Methodology in History (1965).
Penyusunan buku ini bertujuan untuk
memperlihatkan: (I) evolusi historis
perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok)
pemikiran Islam—Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan
Ijma’; dan (ii) peran aktual
prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah
Islam itu sendiri. Buku kedua yang ditulis
Rahman pada periode kedua ini adalah Islam, yang
menyuguhkan—meminjam istilah Amin
Abdullah—rekontruksi sistemik terhadap
perkembangan Islam selama empat belas abad. Buku
ini boleh dibilang sebagai advanced
introduction tentang
Islam.
Pada periode Chicago,
Rahman menyusun: The Philosophy of Mulla
Sadra (1975), Major Theme of the
Qur’an (1980); dan Islam and
Modernity:Transformatioan of an intellektual
tradition (1982).
Kalau karya-karya Rahman
pada periode pertama boleh dikata bersifat
kajian historis, pada periode kedua bersifat
hitoris sekaligus interpretatif (normatif), maka
karya-karya pada periode ketiga ini lebih
bersifat normatif murni. Pada periode awal dan
kedua, Rahman belum secara terang-terangan
mengaku terlibat langsung dalam arus pembaruan
pemikiran Islam. Baru pada periode ketiga Rahman
mengakui dirinya, setelah mebagi babakan
pembaruan dalam dunia Islam, sebagai juru bicara
neomodernis.
B. Proyek
Membuka Pintu Ijtihad
Temuan historis Rahman
mengenai evolusi perkembangan empat prinsip
dasar (Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan
Ijma’), dalam bukunya Islamic
Methodology in History (1965), yang dilatari
oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan
(hukum) Islam di Pakistan, pada gilirannya telah
mengantarkannya pada agenda yang lebih penting
lagi: perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an
yang merupakan jantung
ijtihadnya.
Dalam
kajian historisnya ini, Rahman menemukan adanya
hubungan organis antara sunnah ideal Nabi SAW
dan aktivitas ijtihad-ijma’. Bagi Rahman, sunnah
kaum muslim awal merupakan hasil ijtihad
personal, melalui instrumen qiyas,
terhadap sunnah ideal nabi SAW yang
kemudian menjelma menjadi ijma’ atau
sunnah yang hidup. Di sini, secara tegas Rahman
menarik garis yang membedakan antara sunnah
ideal nabi SAW di satu sisi, dengan sunnah hidup
kaum muslim awal atau ijma’ sahabat di sisi
lain. Dengan demikian, ijma’ pada asalnya
tidaklah statis, melainkan berkembang
secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke
depan.
Namun demikian, karena keberhasilan gerakan
penulisan hadis secara besar-besaran yang
dikampanyekan Al-syafi’I untuk menggantikan
proses sunah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses
ijtihad-ijma’ terjungkirbalikkan menjadi
ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya
berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur
ke belakang: mengunci rapat
kesepakan-kesepakatan muslim masa lampau. Puncak
dari proses reifikasi ini adalah tertutupnya
pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau
sepuluh masehi.
Berpijak
pada temuan historis ini, Rahman secara
blak-blakan menolak doktrin tertutupnya pintu
ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam
ijtihad muthlaq, ijtihad fil
masail, dan ijtihad fil madzhab.
Rahman mendobrak doktrin ini dengan beberapa
langkah: Pertama (1), menegaskan bahwa
ijtihad bukanlah hak privilise eksklusif
golongan tertentu dalam masyarakat muslim;
Kedua (2), menolak kualifikasi
ganjil mengenai ilmu gaib misterius
sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga (3),
memperluas cakupan ranah ijtihad klasik.
Hasilnya adalah satu kesimpulan Rahman: ijtihad
baik secara teoritis maupun secara praktis
senantiasa terbuka dan tidak pernah
tertutup. Tetapi, Rahman pun tampaknya tidak
ingin daerah teritorial kebebasan ijtihad yang
telah dibukanya—sebagai hasil dari
liberalisasinya terhadap konsep ijtihad—menjadi
tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad yang
liar, sewenang-wenang, serampangan dan tidak
bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan
Rahman adalah upaya sistematis, komprehensif dan
berjangka panjang. Untuk mencegah ijtihad
yang sewenag-wenang dan merealisasikan ijtihad
yang bertanggung jawab itulah, Rahman mengajukan
metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan
pada periode Chicago. Dan dalam konteks
inilah metodologi tafsir Rahman yang
dipandangnya sebagai “the correct prosedure
for understanding the Qur’an” atau “ the
correct methode of Interpreteting The
Qur’an”
memainkan peran sentral dalam seluruh bangunan
pemikirannya. Metodologi tafsir Rahman merupakan
jantung ijtihadnya sendiri. Hal ini selain
didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an sebagai
sumber pokok ijtihad, juga yang lebih penting
lagi adalah didasarkan pada pandangannya bahwa
seluruh bangunan syariah harus diperiksa
dibawah sinaran bukti
Al-Qur’an:
Seluruh kandungan syari’ah mesti menjadi
sasaran penilikan yang segar dalam sinaran bukti
Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang
sistematis dan berani harus dilakukan.
Akan tetapi, justru persoalannya
terletak pada kemampuan kaum muslim untuk
mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Rahman
menegaskan:
bukan
hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah
sebagai mana yang dilakukan pada masa lalu,
tetapi suatu pemahaman terhadap
keduanyalah yang akan memberikan pimpinan
kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau
secara sederhana, tentu saja kembali keliang
kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi
muslim awal ,pasti kita temui pemahaman yang
hidup terhadap Al-Qur’an dan
sunnah.
C. Apa itu Al-Qur’an
dan Apa Tujuan Metodologi
Tafsir
Pandangan Rahman mengenai
Al-Qur’an merupakan landasan bagi perumusan
metodologi tafsirnya. Bahwa Al-Qur’an itu adalah
kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad
SAW, menurut Rahman, merupakan kepercayaan
pokok. Tanpa kepercayaan ini, tidak seorang pun
yang bahkan dapat menjadi muslim nominal (hanya
nama saja). Karena itu, Rahman memberikan
argumen yang sangat kokoh untuk menegaskan
kemapanan karakter wahyu dari Al-Qur’an ini.
Rahman mengutip kembali apa yang telah
ditulisnya dalam Islam:
Bagi Al-Qur’an sendiri, dan
konsekwensinya juga bagi kaum muslimin,
Al-Qur’an adalah kalam Allah. Muhammad juga
dengan tegas meyakinai bahwa ia adalah penerima
risalah dari Tuhan, yang sepenuhnya lain,
demikian hebatnya, hingga ia menolak—atas dasar
kuatnya keyakinan ini—beberapa klaim mendasar
dari tradisi Yudeo-Kristiani mengenai Ibrahim
dan nabi-nabi lainnya.
Konsepsinya mengenai
Al-Qur’an secara sederhana dapat
dijabarkan ke dalam nuktah-nuktah sebagai
berikut:
1. Al-Qur’an secara keseluruhannya
adalah kalam Allah, dan dalam pengertian biasa,
juga seluruhnya adalah perkataan
Muhammad.
2. Al-Qur’an adalah respon
ilahi, melalui ingatan dan pikiran nabi,
terhadap situasi moral-sosial arab pada
masa nabi, khususnya kepada masalah-masalah
masyarakat dagang makkah pada waktu itu.
3. Karenanya, semangat atau elan
vital Al-Qur’an adalah semangat moral,
darimana ia menekankan monoteisme dan keadilan
sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah
hukum Allah. Al-Qur’an terutama sekali adalah
sebuah prinsip-prinsip dan seruan-seruan
keagamaan serta moral, bukan sebuah dokumen
legal. karenanya, keabadian kandungan legal
spesifik Al-Qur’an terletak pada prinsip-prinsip
moral yang menasarinya, bukan pada
ketentuan-ketentuan
harfiahnya.
4. Al-Quran
merupakan sosok ajaran yang koheren dan kohesif.
Kepastian pemahaman tidaklah terletak pada arti
dari ayat-ayat individual Al-Qur’an, tetapi
terdapat pada Al-Qur,an secara keseluruhan,
yakni suatu satu set prinsip-prinsip dan
nilai-nilai yang koheren di mana keseluruhan
ajarannya
bertumpu.
5. Al-Qur’an adalah dokumen untuk
manusia, bukan risalah mengenai Tuhan. Perhatian
utama Al-Qur’an adalah perilaku
manusia. Karenanya ia lebih
berorientasi pada aksi moral ketimbang spekulasi
intelektual.
6. Tetapi, di atas segalanya,
dalam kenyataannya, Al-Qur’an itu laksana puncak
gunung es yang terapung: sembilan sepersepuluh
darinya terendam di bawah permukaan air sejarah
dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak ke
permukaan. Tidak satupun dari orang-orang yang
telah serius berupaya memahami al-Qur’an dapat
menolak kenyataan bahwa sebagian besar
Al-Qur’an mensyaratkan pengetahuan mengenai
situasi-situasi kesejarahan yang baginya
pernyataan-pernyataan Al-Qur’an memberikan
solusi-solusi, komentar-komentar dan respon.
Sampai pada titik ini,
Rahman menandaskan bahwa tujuan ideal-moral
Al-Qur’an yang merupakan elan vitalnya itu telah
terkubur dalam endapan geologis sebagai
akibat dari proses reifikasi yang begitu
panjang. Hal ini merupakan harga
yang harus dibayar (cost) dari perluasan
wilayah islam yang terlalu cepat, tanpa
diimbangi infrastruktur tingkat pemahaman
keagamaan yang memadai. Karena itu, metodologi
yang diharapkan adalah metodologi yang, tentu
saja, bisa menembus endapan sejarah
tersebut sampai lapisan
terdalam.
Dengan demikian,
dapat pahami bahwa tujuan metodologi tafsir bagi
Rahman adalah untuk
menangkap kembali pesan moral
universal Al-Qur’an yang obyektif itu, dengan
cara membiarkan Al-Qur’an berbicara sendiri,
tanpa ada paksaan dari luar dirinya, untuk
kemudian diterapkan pada realitas kekinian.
Misalnya, dalam masalah hukum, bagi
Rahman, tujuan tafsirnya adalah untuk menangkap
resiones logis yang berada di balik
pernyataan formal Qur’an. Untuk inilah Rahman
sering menyebut-nyebut kasus ijtihad Umar
bin Khaththab yang dinilainya sebagai preseden
baik (uswah) untuk mengeneralisasikan
prinsip-prinsip dan nilai-niali umum yang berada
di bawah permukaan Sunah dan bahkan teks
Al-Qur’an.
D. Metodologi Tafsir
Rahman
Metodologi tafsir Rahman tidak bisa lepas dari
agenda pembaruan sebelumnya. Karenanya, ada
baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya
mengenai dialektika perkembangan pembaruan yang
muncul dalam dunia Islam. Rahman membagi
gerakan pembaruan ke dalam empat gerakan.
Gerakan pertama adalah revivalisme pra modernis
yang lahir pada abad ke 18 dan 19 di Arabia,
India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara
orisinal dari dunia Islam, bukan merupakan
reaksi terhadap barat. Gerakan ini secara
sederhana mempunyai ciri-ciri umum: (a)
keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi
sosio-moral umat Islam; (b) imbauan untuk
kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan
memberantas takhayul-takhayul dan dengan
membuka dan melaksanakan ijtihad; (c) imbauan
untuk membuang sikap fatalisme; dan (d) imbauan
untuk melaksanakan pembaruan ini lewat jihad
jika diperlukan.
Menurut Rahman, dasar
pembaruan revivalisme pramodernis ini kemudian
dikembangkan oleh gerakan kedua, modernisme
klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal
abad ke-20 di bawah pengaruh ide-ide barat.
Pengembangannya terletak pada usaha gerakan ini
untuk memperluas isi ijtihad—dan juga agenda
gerakan—seperti isu tentang hubungan akal dan
wahyu, pembaruan sosial terutama pada
bidang pendidikan dan status wanita, pembaruan
politik untuk membetuk pemerintahan yang
representatif dan konstitusional. Jasa
modernisme klasik ini adalah usahanya untuk
menciptakan hubungan harmonis antara
pranata-pranata barat dengan tradisi Islam dalam
kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja,
penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini
tidak ditopang dengan metodologi yang memadai.
Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari
barat dan membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”.
Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak bisa
lepas dari kesan barat sentris, atau bahkan dari
tuduhan sebagai gerakan antek-antek barat
yang ingin merusak Islam, bak kanker, dari dalam
dunia Islam sendiri.
Reaksi terhadap modernisme
klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni
neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis,
yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala
aspek kehidupan manusia, baik individual maupun
kelompok. Pandangan ini mirip dengan basis
pemikiran modernisme klasik. Namun karena
sifatnya yang reaksioner, ingin membedakan
dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung
menutup diri, apologetis dan tidak
otentik.
Di sela-sela pengaruh
neorevivalisme inilah gerakan neomodernis
muncul, dan Rahman mengaku dirinya sebagai juru
bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua
kelemahan mendasar modrnisme klasik ini yang
menyebabkan timbulnya reaksi dari
neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya
yang kontroversialis-apologetis terhadap barat,
gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi
yang sistematis dan menyeluruh terhadap Islam.
Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an
lebih bersifat ad hoc dan parsial.
Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal
dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa
kuat bahwa mereka terbaratkan atau agen
westernisasi.
Menurut
Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap
kritis baik terhadap barat maupun terhadap
khazanah klasik warisan Islam. Dalam
konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang
paling mendasar dari kalangan neomodernisme ini
adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat
dan logis untuk mempelajari al-Qur’an guna
mendapatkan petunjuk bagi masa depannya. Dengan
metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa
metodologi yang ditawarkannya dapat menghindari
pertumbuhan ijtihad yang liar dan
sewenang-wenang, sebagaimana yang terjadi
sebelumnya.
Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan
gerakan ganda (bolak-balik). Yang pertama dari
dua gerakan ini terdiri dari dua langkah.
Pertama, memahami arti atau makna
suatu pernyataan Al-Qur’an,
dengan mengkaji situasi atau
problem historis dari mana jawaban dan respon
Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna
spesifik dalam sinaran latar belakang
spesifiknya, tentu saja, menurut Rahman juga
harus ditopang dengan suatu kajian
mengenai situasi makro dalam batasan-batasan
agama, masyarakat, adat-istiadat dan
lembaga-lembaga, serta mengenai kehidupan
menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah
kedua dari gerakan pertama ini adalah
menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban
spesifik, pernyataan-pernyataan yang memiliki
tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat
disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran
latar belakang historis dan rationes
logis yang juga kerap dinyatakan oleh
ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama
langkah ini adalah ajaran Al-Qur’an sebagai
keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik,
setiap hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan
yang dirumuskan koheren satu sama lain. Ini
sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa
ajarannya tidak mengandung kontradiksi-dalam dan
koheren secara keseluruhan. Langkah ini
juga bisa dan selayaknya dibantu oleh pelacakan
terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal.
Menurut Rahman, sampai sekarang sedikit sekali
usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an
secara keseluruhan.
Bila gerakan yang
pertama mulai dari hal-hal yang spesifik
lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan
nilai-nilai moral jangka panjang, maka gerakan
kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan
spesifik yang harus dirumuskan dan
direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang.
Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian
yang cermat atas situasi sekarang sehingga
situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai
dengan priortitas-prioritas moral tersebut.
Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh secara
mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi
hidup dan efektif kembali. Bila yang pertama
merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam
pelaksanan gerakan kedua, instrumentalis sosial
muthlak diperlukan, meskipun kerja rekayasa etis
yang sebenarnya dalah kerja ahli
etika.
Momen
gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat
koreksi terhadap momen pertama, yakni terhadap
hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil
pemahaman gagal diaplikasikan sekarang, maka
tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam
memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi
sekarang.
Sebab, tidak mungkin bahwa sesuatu yang dulunya
bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke
dalam tatanan spesifik di masa lampau, dalam
konteks sekarang tidak
bisa.
Gerakan ganda ini,
digambarkan oleh Taufik Andnan Amal dengan tiga
langkah metodologis utama: (a) pendekatan
historis untuk menemukan makna teks al-Quran
dalam bentangan karir dan perjuangan nabi; (b)
pembedaan antara ketetakpan legal dan tujuan
Al-Quran; (c) pemahaman dan penetapan sasaran
Al-Qur’an dengan memperhatikan sepenuhnya
latar sosiologis. Berkaitan dengan butir
pertama, Rahman mengungkapkan:
Suatu pendekatan historis yang serius dan
jujur harus digunakan untuk menemukan makna teks
Al-Qur’an…Pertama-tama, Al-Qur’an harus
dipelajari dalam tatanan historisnya. Mengawali
dengan pemeriksaan terhadap bagian-bagian
wahyu paling awal akan memberikan suatu persepsi
yang cukup akurat mengenai dorongan dasar
gerakan Islam, sebagaimana dibedakan dari
pranata-pranata yang dibangun belakangan. Dan
demikianlah, seseorang harus mengikuti bentangan
Al-Qur’an sepanjang karir dan perjuangan
nabi…Metode ini akan menunjukkan secara jelas
makna keseluruhan Al-Quran dalam suatu cara yang
sistematis dan koheren.
Mengenai pembedaan
antara ketetapan legal dan tujuan moral
Al-Qur’an, Rahman menulis:
Kemudian seseorang telah siap untuk
membedakan antara ketetapan legal dan sasaran
Al-Qur’an, dimana hukum diharapkan mengabdi
kepadanya. Di sekali lagi seseorang berhadapan
dengan bahaya subyektivitas, tetapi hal ini
dapat direduksi seminimum mungkin dengan
menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Sudah terlalu
sering diabaikan baik oleh kalangan non-muslim
maupun muslim sendiri bahwa Al-Quran biasanya
memberikan alasan-alasan bagi
pernyataan-pernyataan legal
spesifiknya.
Mengenai butir ketiga,
Rahman menulis:
Sasaran Al-Qur’an harus dipahami dan
ditetapkan, dengan tetap memberi perhatian
sepenuhnya terhadap latar sosiologis—yakni
lingkungan dimana nabi bekerja dan bergerak.
[www.islamlib.com]
|