Pendidikan
perempuan harus ditekankan pada kemandirian
supaya mereka paham dan menjadi dirnyai
sendiri, bukan menjadi pelayan bagi kaum lelaki
saja (Qasim Amien).
Pendahuluan
Mengangkat masalah
relasi gender dan feminisme terasa melelahkan,
sekaligus mengasyikkan. Melelahkan karena
seakan-akan perbincangan ini tidak akan berakhir
dalam suatu ujung dan titik akhir tertentu.
Mengasyikkan karena bahasan ini selalu
memberikan nuansa dan wacana baru dengan
jargon-jargon yang terus bermunculan dan
berkembang, sehingga kita tidak pernah jenuh
membahasnya. Maka, perbincangan seputar
diskursus gender ini adalah pokok masalah yang
“membumi”, artinya, tidak saja menjadi wacana
dan fenomena bagi kelompok atau golongan
tertentu, yang dibatasi garis geografis maupun
ideologis, namun lebih merupakan permasalahan
global yang lintas ruang dan
waktu.
Di Jepang, kita akan
menemui Michiko, sebagai tokoh pergerakan kaum
perempuan, di Maroko kita berjumpa dengan
pemikiran Fatimma Mernissi. Ashgar Ali Engineer
dan Rifat Hassan dari India, Amina Wadud Muhsin
dari Malaysia. Dan di Indonesia sendiri kita
temui para pakar dan pemerhati gender, sejak
periode pra-kemerdekaan. Kita bisa runtut dari
RA. Kartini, dan Dewi Sartika sebagai pioner
“feminisme” kala itu, dan untuk saat kini, kita
bisa menyebut nama Wardah Hafid, Nurul Agustina,
Ratna Megawangi, hingga mantan first lady
Indonesia, Sinta Nuriyah Abd Rahman Wahid berada
di garda terdepan membela dan membekali kaum
perempuan. Hingga tidak heran muncul “Teologi
Perempuan” yang menjadi “akidah-akidah” baru
yang mengagendakan pembebasan dan pemberdayaan
kaum Hawa.
Di dunia Arab sendiri,
khususnya Mesir, masalah relasi gender ini
menjadi bagian problem-problem sentral
(al-isykaliyât al-markaziyah) dari
pergolakan pemikiran Mesir. Kita mengenal
Huda Sya’rawi, Zaenab Fawwaz, Nawwal Sa’dawi,
May Ziyadah, Aisha Taymoriah, dan yang lain.
Namun kalau kita coba menarik sejarah aksi-aksi
para feminis ini ke belakang, maka, Qasim
Amien-lah, yang menciptakan mainstream
dan aksi-aksi kaum Hawa ini. Karena itu,
pada saat kita berbicara tentang gerakan
feminisme di Arab maka tidak akan lepas dari
pembicaraan tentang Qasim Amien, seorang tokoh
yang berjasa dalam pergerakan pembebasan kaum
perempuan Arab khususnya dan kaum perempuan
muslimah di Negara-negara Dunia Ketiga pada
umumnya. Qasim Amien dijuluki sebagai Bapak
“Feminisme” Arab. Namanya dikenang sebagai
pejuang kebebasan perempuan dari segala bentuk
diskriminasi. Dan pemikirannya banyak
mempengaruhi para pejuang pergerakan feminisme
yang datang setelah zamannya.
Sebagaimana biasanya,
seperti pemikiran tokoh-tokoh yang lain dalam
bidang apapun, tidak akan lepas dari
permasalahan pro dan kontra terhadap
pemikirannya, apalagi gerakan dan pemikirannya
termasuk gerakan yang mengusung reformasi yang
gegap gempita pada saat itu. Demikian halnya
pemikiran Qasim Amien, yang berangkat dari
analisa sosial, hingga mengkritisi teks-teks
agama hingga dipahami sebagai tradisi yang
profan dan tunduk pada nilai sosial dan sejarah.
Pemikiran Qasim mampu meruntuhkan “tembok”
kejumudan berpikir dan menjadi “shock
theraphy” dari permasalahan-permasalahan
yang menjadi “blunder” dalam
masyarakat.
Ide-ide perubahan
sosial yang digulirkan oleh Qasim Amin memang
bisa dikatakan sebuah pembaruan yang radikal
jika kita lihat dalam konteks sosio-kultural
pada waktu itu. Karena bagaimanapun juga,
ide-ide tersebut berani “menantang arus” dari
mainstream (arus utama) masyarakat, baik
para ulama-ulama Al-Azhar maupun golongan
pemerintah.
Dalam artikel kali
ini, kita akan mengkaji pemikiran-pemikiran
Qasim Amien dari dimensi al-ishlâh
al-ijtimâ‘î (reformasi sosial), di mana
salah satu agenda untuk mensukseskan reformasi
ini dengan “merombak” keadaan kaum perempuan
sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang
sering “terdiskriminasi”, baik dengan “kedok”
syariat, mitos, adat-istiadat atau pun
budaya.
Menurut Qasim Amien
masalah perempuan adalah akibat dari konstruksi
sosial (social contruc) yang sering
menjadi penyebab munculnya diskriminasi gender.
Selanjutnya, Qasim Amien berusaha untuk mencari
solusi dan terobosan-terobosan baru demi
memperbaiki keadaan umatnya yang terpuruk dalam
jurang kemunduran dan
kejumudan.
Sekelumit Biografi
Qasim Amien
Ketika kita mencoba
menganalisa pemikiran seorang tokoh, maka, usaha
ini tidak akan lepas dari keharusan untuk
mengetahui sekelumit sejarah dan catatan
hidupnya yang banyak mempengaruhi dan
melatarbelakangi struktur dan “ideologi”
pemikiran-pemikirannya. Tujuan dari “pembacaan”
ini agar kita bisa mengungkap pemikiran tokoh
tersebut dengan lebih objektif dan tepat,
sehingga kita bisa terhindar dari “analisis
ideologis” yang melahirkan analisa yang
subjektif dan menyudutkan. Di bawah ini
sekelumit ringkasan riwayat hidup Qasim Amien
dengan menekankan segi pendidikan dan
sosio-kulturalnya yang banyak mempengaruhi
pemikiran-pemikiran beliau, tentang realitas
sosio-kultural masyarakat Mesir secara umum, dan
nasib perempuan secara khusus.
Qasim Amien,
dilahirkan di sebuah dusun di daerah Mesir dari
seorang ayah keturunan Turki Ustmani dan dari
ibu yang berdarah asli Mesir. Beliau lahir pada
awal bulan Desember tahun 1863 M. Setelah
menamatkan Sekolah Dasar di Alexandria,
keluarganya hijrah ke Kairo. Pada tahun 1881, ia
mencapai gelar licance dari Fakultas
Hukum dan Administrasi dari sebuah akademi. Pada
waktu itu, Qasim Amien masih berumur 20 tahun.
Pada masa kuliahnya itu, ia mulai kenal dengan
sosok Jamaluddin Al-Afgahani dan aliran-aliran
pemikirannya yang memang berkembang di Mesir
pada saat itu.
Dengan bekal gelar
licance-nya ia bekerja sebagai pengacara
pada sebuah kantor milik Musthafa Fahmi Basya,
seorang pengacara besar pada saat itu yang
memang sudah memiliki hubungan baik dengan orang
tua Qasim. Melalu perantara kantornya, Qasim
berkesempatan untuk melanjutkan studi di
Perancis atas sponsor dari Musthafa Fahmi Basya.
Dalam masa perantauannya di Paris, di Mesir
sendiri pada saat itu terjadi Revolusi Arab yang
dipimpin murid-murid Jamaluddin al-Afghani.
Revolusi ini berakhir dengan penjajahan Mesir
oleh tentara Inggris dan tokoh tokoh revolusi
tersebut dihadapkan ke Meja Hijau. Jamaluddin
al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh
diasingkan dari Mesir, dan pada akhirnya
keduanya menetap di Paris. Di sinilah Qasim
kembali menjalin hubungan dengan Al-Afghani dan
juga menjadi penerjemah pribadi bagi Muhammad
Abduh.
Selayaknya orang asing di
kota Paris, ia berusaha untuk bisa berinteraksi
dan beradaptasi dengan masyarakat Perancis.
Namun karena beliau memiliki kepribadiannya yang
mencirikan kepribadian bangsa Timur; pemalu dan
tertutup, dan terdapat perbedaan yang sangat
jauh antara budaya Perancis dan budaya Mesir,
maka ia tidak bisa bergaul dan berinteraksi
dengan bebas dan luas. Namun, sebagaimana
lazimnya kehidupan mahasiswa dan mahasiswi di
kampus, Qasim Amien juga memiliki teman
perempuan yang istimewa. Dari kebersamaannya
dengan gadis Perancis tadi, disinyalir mulai
tumbuh benih-benih kepeduliannya terhadap kaum
hawa, yang nantinya membidani perjuangannya di
Mesir yang penuh dengan bentuk interaksi sosial
yang diskriminatif. Kekasihnya menjadi sumber
inspirasi dan penggugah kesadaran bahwa kaum
perempuan sebetulnya memiliki kemampuan yang
selama ini “tidak pernah difungsikan”.
Sekembalinya dari
Paris pada tahun 1885, ia diangkat menjadi
hakim. Kariernya sebagai seorang hakim semakin
meningkat sehingga pada tahun 1889, ia diangkat
menjadi walikota di Bani Suef, sebuah propinsi
di Mesir. Dari daerah ini ia memulai
pergerakannnya dalam mengadakan
perbaikan-perbaikan di segala bidang sosial
(ishlâh ijtimâ'î). Jasa-jasanya yang
patut diacungi jempol pada saat itu, ia berupaya
keras membebaskan para narapida
politik.
Tahun 1894, Qasim Amien
menikah dengan seorang gadis pilihannya yang
masih memiliki darah keturunan Turki, Zaenab
Amien Taufiq.
Dan pada tahun yang sama ia mulai aktif dalam
kegiatan tulis menulis, karya pertamanya lahir,
“Al-Mashriyyûn” (Les Egyptiens) dengan
menggunakan bahasa Perancis. Buku ini adalah
counter terhadap tulisan seorang tokoh
Perancis, Duc D'harcouri, yang mengecam realitas
sosio-kultural masyarakat Mesir. Karya perdana
ini rupayanya bisa menggenjot kreatifitas Qasim
Amien dalam dunia tulis-menulis. Selanjutnya lahir karya-karya Qasim
Amien yang menjadi magnum opus-nya,
yaitu, “Tahrîr al-Mar’ah'” (Pembebasan
Perempuan) terbit pada tahun 1899 dan
“Al-Mar’ah Al-Jadîdah” (Perempuan Modern)
yang terbit tahun 1900.
Qasim Amien di antara
Pergumulan Pemikiran Islam di
Mesir
Dalam kajian
sosiologi pemikiran, kita akan dikenalkan dua
macam varian dari pergerakan-pergerakan
pemikiran. Pertama, gerakan yang menjaga
usul-usul (fundamen), tradisi dan agama secara
rigid dan tertutup, varian ini biasanya
dikenal dengan Front Tradisionalis-konservatif.
Kedua, Font Reformis-liberal adalah
gerakan yang mengkaji agama dan tradisi secara
kritis, rasional dan liberal. Begitu juga halnya
dengan permasalahan relasi gender, di satu sisi
terdapat kelompok yang berusaha keras
mempertahankan warisan kaum terdahulu
(al-Sâbiqûn al-Awwalûn). Terlepas apakah
warisan tersebut merupakan syariat murni atau
hasil ijtihad manusia terhadap masalah-masalah
kontekstual. Di tepi lain, suatu golongan
berusaha mencari terobosan-terobosan baru, guna
menyelesaikan problem kontekstual dengan
mengkaji tradisi agama dan sosial secara kritis
tanpa mengenyampingkan tradisi dan pengalaman
hidup leluhurnya.
Jika kita mencoba
mengklasifikasikan posisi para feminis ke dalam
dua golongan tersebut, yaitu
Tradisionalis-konservatif dan Reformis-liberal,
maka Qasim Amien masuk pada kelompok kedua.
Ketika Qasim Amien mengadakan pembaruan di
bidang sosial,—di antaranya permasalahan kaum
perempuan— beliau menafsirkan kembali
(reinterpretasi), dengan jalan mengkritisi,
“dekonstruksi” dan rekonstruksi terhadap
syariat-syariat Islam yang menjadi pemicu
timbulnya diskriminasi dan subordinasi terhadap
perempuan.
Dalam menyikapi
pemikiran Qasim Amien, masyarakat Mesir pecah
menjadi dua kubu. Pertama, kubu yang
sangat mendukung pemikiran-pemikiran dan agenda
pergerakan Qasim, secara penuh dan total yang
akhirnya menimbulkan fanatisme terhadap
pemikiran Qasim Amien. Menurut mereka, pemikiran
Qasim Amien merupakan hasil ijtihad yang
benar-benar positif, mengentaskan umat manusia
dari Zaman Kegelapan (‘Ashr al-Dlalâm)
menuju Zaman Terang-benderang (‘Ashr
Tanwîr). Zaman ini memiliki beberapa
identitas, di antaranya kebebasan kaum perempuan
dari kekangan-kekangan dan terlepas dari
pandangan negatif dan nyinyir dari kaum
laki-laki.
Kedua, kubu
yang menyikapi pemikiran dan gerakan Qasim Amien
dengan sikap skeptis, apatis bahkan antipati.
Bagi mereka, pemikiran dan pergerakan tersebut
tidak lain hanyalah bentuk lain dari
westernalisasi terhadap budaya-budaya Timur,
yang akan mengikis habis identitas budaya Timur
itu sendiri.
Sedangkan penulis
sendiri tidak mau terjebak di dua sisi ini,
karena, akan melahirkan pemikiran yang memihak,
tidak objektif dan ekstrim. Seyogyanya pemikiran
seorang tokoh diapresiasi sedemikian rupa,
dengan “pisau analisis” yang “steril” terbebas
dari “karat-karat” ideologi dan kepentingan
kelompok.
Dari
Analisa Sosial Menuju Pembebasan dan
Pemberdayaan Perempuan
Dalam menyusun tesa-tesa
pemikirannya hingga sampai pada suatu hipotesa
yang siap disuguhkan, Qasim Amien lebih
cenderung menyimpulkan suatu permasalahan
menggunakan piranti-piranti analisa sosial dan
data empirik dari interaksi beliau dengan
masyarakat luas. Bagi beliau, teori-teori sosial
dan hipotesa-hipotesa yang hanya lahir dari
“atas meja” akan melahirkan teori dan kesimpulan
yang cenderung “mengira-ngira”, tidak realistis,
dan bahkan jauh dari nilai kebenaran. Kita bisa
melihat, ketika beliau memberikan kritik pedas
terhadap tulisan D'Harcouri tentang kondisi
sosial masyarakat Mesir sebagai masyarakat
Muslim yang terpuruk. Menurutnya, tesa-tesa
dalam tulisan D'Harcouri itu—dapat dikatakan—
sama sekali tidak mendekati kebenaran, karena ia
(D'Harcouri) tidak berinteraksi langsung dengan
masyarakat Mesir sehingga tidak tahu persis
keadaan masyarakat Mesir sebenarnya. Jika
realitanya demikian, bagaimana mungkin tesa-tesa
D'Harcouri bisa “dicap” objektif? Jadi, bisa
kita katakan bahwa pemikiran-pemikiran seseorang
bermula dari analisa sosial yang tajam dan
kritis dengan tetap melihat fenomena-fenomena
sosial yang nampak. Selanjutnya, ia boleh
“berijtihad” untuk menyusun tesa-tesa demi
memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan
sosial yang dianggap wajib untuk
diperbarui.
Posisi Qasim sebagai
hakim dan tokoh masyarakat pada waktu itu
nampaknya lebih memberikan kesempatan baginya
untuk mengadakan pembaruan di bidang sosial
kemasyarakatan. Qasim juga merupakan salah
seorang yang memberikan kontribusi besar
terhadap teori-teori sosial. Namun, syarat utama
suatu teori sosial, adalah, teori tersebut harus
sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Artinya, teori-teori sosial tersebut harus
fleksibel, elastis, dan nisbi, jika suatu teori
bisa direlisasikan pada suatu masa dan tempat
tertentu, maka bisa jadi teori tersebut tidak
dapat direalisasikan kembali pada masa dan
tempat yang lain, karena tergantung pada
kemaslahatan dan kebutuhan masyarakat yang
plural, berbeda, dan bertentangan. Dengan kata
lain, teori sosial-sosial tersebut—termasuk
di dalamnya norma-norma agama— tidak boleh
absolut, statis dan
“otoriter”.
Norma-norma agama yang
bersifat tekstual, harus dicari “celah-celah”
kontekstualnya. Misalnya, kewajiban hijâb
bagi kaum perempuan yang termaktub dalam teks
al-Quran, bukanlah semata-mata syariat agama
Islam, namun bagi Qasim, hijâb lebih
merupakan bentuk adat istiadat yang diwarisi
bangsa-bangsa Arab kuno. Nah, dalam
Islam, teori hijâb ini menjadi syariat
karena sesuai dengan kondisi sosial-kultural
masyarakat pada saat itu. Jika kondisi berubah,
maka, tradisi ini boleh jadi tidak sesuai lagi.
Dan ini berarti, jika hijab sudah tidak lagi
mengandung unsur kemaslahatan sosial, maka kita
bisa menggantikannya dengan solusi lain yang
sesuai dengan zaman kita sekarang ini.
Qasim Amien juga
memberikan perhatian yang serius terhadap
kondisi ekonomi masyarakat. Baginya,
kondisi ekonomi sangat mempengaruhi
keadaan suatu masyarakat, lebih jauh lagi,
ekonomi memiliki faktor dominan yang
mempengaruhi kondisi masyarakat dari pada
faktor-faktor lain, seperti; pendidikan, agama
dan budaya. Dari kondisi ekonomi, kita bisa
melacak sebab-sebab terjadinya diskriminasi
perempuan. Misalnya, dalam skup permasalahan
yang lebih sempit, yaitu, poligami. Komunitas
masyarakat pada tataran ekonominya menengah ke
atas akan lebih termotivasi melakukan poligami.
Realita ini terjadi pada masyarakat Mesir.
Masyarakat pedesaan yang kondisi ekonominya
lemah dan pas-pasan, akan mengurangi
kemungkinan menjamurnya tradisi poligami.
Berbeda dengan masyarakat kota yang mempunyai
pendapatan perkapita lebih besar. Premis ini
dapat dibenarkan, pasalnya, masyarakat dengan
pendapatan perkapita yang hanya bisa untuk
mencukupi kebutuhan primernya, tidak akan
terlalu ngoyo untuk memenuhi kebutuhan
sekunder. Jangankan untuk kebutuhan yang
sekunder, untuk kebutuhan primer saja mereka
harus berjuang dan bekerja keras. Berbeda dengan
masyarakat yang telah mencukupi kebutuhan
primernya, mereka memiliki kesempatan lebih
banyak memikirkan kebutuhan-kebutuhan
sekunder.
Namun, premis ini tidak
selamanya dapat dibenarkan, karena, faktor
ekonomi bukanlah satu-satunya faktor penentu
bagi yang mengkonstruksi bentuk sosial
masyarakat, tetapi, di samping itu masih banyak
lagi terdapat variabel-veriabel yang lain,
seperti tingkat pendidikan, ideologi masyarakat,
dan budaya.
Pada masa Qasim
Amien, posisi kaum perempuan dalam keluarga dan
masyarakat tidak lebih hanya sebagai konco
wingking-nya laki-laki, artinya, tugas
sosialnya hanyalah “sekedar” pelayan bagi
seorang suami, seorang istri hanya bertugas
menghidangkan makanan bagi sang suami,
mengandung dan melahirkan anaknya, dan bahkan
tidak jarang istri tidak mengetahui banyak hal
tentang suaminya. Ia juga “hanya” ibu bagi
anak-anaknya, tugasnya melahirkan, menyusui dan
menyediakan kebutuhan-kebutuhan materi anak,
tanpa ada bekal pengetahuan sedikitpun tentang
pengasuhan dan pendidikan anak. Padahal,
kualitas generasi umat sangat tergantung pada
pendidikan anak, khususnya pendidikan yang
ditanamkan ibu pada masa-masa perkembangan
awal.
Sedangkan nasib
perempuan pada saat itu dalam kondisi yang
terpuruk dan mengenaskan. Pendidikan sekolah
hampir tidak pernah dirasakan kaum perempuan,
pendidikan nonformal dari pihak keluarga dan
lingkungan mereka hanya sekedar pembekalan untuk
mengatur urusan dapur dan rumah tangga saja.
Interaksi sosial bagi kaum perempuan pada saat
itu dengan masyarakat luas hampir menjadi suatu
hal yang mustahil, karena ia “terpenjara” di
antara dinding-dinding rumah mereka sendiri.
Keadaan yang ironis tersebut memasung kebebasan
kaum perempuan, baik kebebasan berkehendak,
berpikir dan berbuat yang semestinya menjadi hak
asasi setiap insan. Perempuan terkekang dan
tunduk di bawah kekuasaan kaum lelaki. Kondisi
inilah yang menyentuh hati Qasim dan
mendorongnya untuk berjuang demi melakukan
pembaruan sosial ke arah yang lebih
“memanusiakan” manusia. Qasim sadar bahwa
fenomena seperti ini merupakan salah satu sebab
utama keterbelakangan dan kejumudan masyarakat
Islam di Arab.
Menurut Qasim, kebebasan
kaum perempuan adalah masalah pertama yang harus
diperjuangkan. Karena bagaimanapun, kebebasan
merupakan kekayaan termahal bagi setiap manusia
yang memiliki hak untuk merdeka dan bebas. Namun
perlu menjadi catatan, kebebasan yang ditekankan
Qasim bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas,
melainkan kebebasan yang dibatasi dengan
kerangka syariat agama dan etika
sosial. Kondisi kaum perempuan
pada waktu itu bisa disamakan dengan budak,
karena budak adalah orang yang terampas
kemerdekaan dan hak-haknya. Jangankan hak untuk
memperoleh pendidikan, kebebasan untuk
berkehendak saja sudah sedemikian terkekang.
Sehingga ia tidak mempunyai kebebasan untuk
berbuat lebih banyak, baik untuk dirinya
sendiri, keluarga dan
masyarakatnya.
Pembebasan Perempuan
melalui Tradisi “Kritik
Teks”
Seperti diketahui,
pembebasan adalah agenda terdepan sebelum
pemberdayaan. Jauh-jauh hari Qasim Amien telah
membidik teks-teks agama yang menjadi
“momok” perempuan lewat karyanya Tahrîr
Al-Mar’ah. Seperti permasalahan hijab dan
poligami.
Sebelum terlalu jauh
membicarakan masalah hijab, mungkin ada baiknya
jika kita mencoba mengetahui terlebih dahulu
pemahaman Qasim tentang makna hijab ini. Menurut
Qasim Amien hijab mempunyai dua makna.
Pertama, hijab secara makna hakiki,
berfungsi menutup aurat perempuan hingga wajah
dan telapak tangan (penutup wajah disebut
niqâb [cadar]). Bagi masyarakat Mesir
pada waktu itu, hijab dalam makna di atas
dianggap sebagai syariat Islam. Kedua,
adalah hijab dalam makna majazi, yaitu “penjara”
kaum perempuan dalam rumahnya sendiri. Selain
memaparkan makna hijab sesuai dengan “idelogi”
masyarakat Mesir di atas, Qasim juga mencoba
membuat analisa dan studi kritik tentang hijab
ini dari dua sudut pandang; agama dan
sosial.
Dalam perjalanan
sejarah masyarakat Timur, hijab bagi kaum
perempuan sangat memainkan peranan penting dalam
membentuk sistem sosial yang ada. Bahkan
sebenarnya hijab bukan saja merupakan ciri khas
masyarakat Timur saja. Sejarah telah mencatat,
kaum perempuan pada masyarakat Yunani waktu itu
juga memakai busana tersebut jika keluar dari
rumahnya. Adat ini berlanjut sampai pada abad
pertengahan, khususnya abad ke-IX, dan sampai
pada abad ke-XIII. Namun, karena keadaan
sosiologis yang terus berubah menuju kemajuan
dan kemodernan maka adat ini-pun di daerah
Yunani dan wilayah Barat lainnya menjadi
punah.
Menurut Qasim Amien
masyarakat Arab mempunyai pandangan yang “salah
kaprah” terhadap hijab ini, sehingga mereka
bersikeras mempertahankan tradisi ini. Hijab
hanya dianggap sebagai pesan syariat agama
an sich. Sehingga agama dijadikan
legitimasi atas kewajiban memakai hijab.
Padahal—menurut Qasim—tidak ada satupun
nash-nash sharîh yang mewajibkan
pemakaian hijab ini. Dalam Surat Al-Nûr ayat 30,
difirmankan secara jelas, bahwa kaum perempuan
yang beriman diperintahkan untuk menjaga
kehormatannya dan tiada memperlihatkan
perhiasannya (tubuhnya) selain dari yang nyata
(mesti terbuka). Para ulama telah bersepakat
bahwa yang dimaksud dengan anggota tubuh yang
mesti terbuka di sini adalah anggota tubuh yang
diperlukan dalam kehidupan dan interaksi
sehari-hari, yaitu wajah dan telapak tangan.
Jika pemakaian hijab bertujuan menghindari
fitnah, maka menurut Qasim, justru hijab—dalam
makna masyarakat Mesir di atas lengkap dengan
antribut cadarnya—yang berpotensi menimbulkan
fitnah, sebab, seorang yang memakai hijab
cenderung lebih bebas untuk bertindak melanggar
sosial tanpa ada rasa khawatir untuk diketahui
oleh khalayak ramai. Berbeda dengan seorang
perempuan yang tidak menutupi wajahnya, ia akan
cenderung menjaga kehormatan pribadi dan
keluarganya sehingga lebih berhati-hati dalam
bertindak.
Jadi, etika dan
perilaku sosial yang terpuji tidak ada
hubungannya dengan pemakaian hijab, karena yang
lebih menentukan baik atau tidaknya moral
seseorang adalah dari nurani dan hatinya,
bukanlah dari penampilan
lahiriyah.
Pada sisi sosial, Qasim
melihat bahwa hijab dalam beberapa hal justru
menjadi kendala bagi pemakainya untuk bisa
berinteraksi dengan masyarakat luas. Misalnya,
dalam hal kriminalitas dan kesaksian dalam
pengadilan, kemungkinan untuk melakukan
bentuk-bentuk manipulasi terbuka lebar.
Ujung-ujungnya akan merugikan salah satu pihak
dari kedua puhak yang beselisih. Begitu juga
dalam bentuk interaksi sosial lainnya, seperti
perdagangan dan pertanian. Masyarakatpertanian
di pedesaan di mana kaum perempuan sedikit
banyak ikut berperan dalam cocok tanam, akan
lebih banyak menemukan kesulitan dari pada
perempuan yang tidak berhijab. Bahkan secara
lebih radikal lagi, Qasim menyatakan bahwa kaum
perempuan yang berhijab akan lebih terisolir
dari pada kaum perempuan yang menanggalkan
hijabnya.
Dalam masalah
poligami, Qasim bisa digolongkan ke dalam
kelompok yang paling menentang adanya poligami
dengan alasan etika kemanusiaan. Poligami
menurut Qasim adalah bentuk penghinaan bagi kaum
perempuan. Sudah menjadi tabiat asli manusia,
seorang perempuan tidak akan pernah rela jika
suaminya membagi cinta kepada perempuan lain,
demikian halnya sang suami, tidak akan rela jika
ada lelaki lain yang ikut mendapatkan bagian
cinta istrinya.
Sisi negatif yang
disorot Qasim akibat dari poligami ini adalah
permusuhan batin antara istri yang satu dengan
yang lain, sehingga tidak jarang permusuhan
antara mereka diwariskan kepada anak-anak
mereka. Karena bisa jadi seorang ibu—secara
tidak sadar— menyulut api permusuhan dan
kedengkian antara anak-anak dan keluarganya
kepada keluarga dari istri yang lain. Seorang
istri yang dimadu dan tidak rela, namun ia
berusaha untuk memendam perasaannya akan
mengakibatkan akumulasi kekecewaan di bawah alam
sadar, dan sewaktu-waktu bisa meledak dan
menyulut konflik besar. Persaingan yang terjadi
antara mereka adalah persaingan yang tidak
sportif, nilai-nilai persaudaraan dan etika
kemanusiaan yang seharusnya dipupuk antara
sesama manusia,—karena poligami ini—akan
cenderung dikalahkan oleh api kedengkian dan
permusuhan.
Walaupun secara radikal
Qasim menentang praktek poligami, namun ia masih
memberikan “pengecualian”. Menurutnya, poligami
“diperbolehkan” untuk beberapa kasus, misalnya
seorang istri tidak bisa memberikan keturunan
kepada sang suami. Namun—menurut Qasim—dalam
kondisi seperti ini, sang suami harus bersabar,
karena istrinya tiada bersalah dan berdosa, jika
sang suami tetap bersikeras untuk menihak lagi,
maka harus sepengetahuan istrinya, jika sang
istri minta cerai, maka sang suami harus
menceraikannya. Selain tujuan-tujuan di atas,
poligami adalah bentuk dari pemuasan nafsu
binatang dan tanda-tanda dari dekadensi
moral.
Pemberdayaan
Perempuan melalui
Pendidikan
Dalam hal pendidikan, Qasim
mengklasifikasikan jenis pendidikan menjadi tiga
tingkatan secara berurutan. Pertama
adalah pendidikan yang wajib bagi setiap orang
demi menjaga kehidupannya sendiri dan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya
(kebutuhan primer setiap individu). Kedua
adalah pendidikan yang bermanfaat bagi
keluarganya Ketiga pendidikan yang
bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat
sekelilingnya. Nah, pendidikan
kaum perempuan yang diperjuangkan oleh Qasim
pada waktu itu lebih ditekankan kepada jenis
pendidikan yang pertama dan kedua. Karena
pendidikan jenis ketiga masih terlalu jauh
jangkauannya jika diterapkan bagi kaum perempuan
Mesir. Alasan yang lain, kondisi psikologis kaum
perempuan dan kondisi sosiologis masyarakat yang
masih memprihatinkan dan belum siap. Namun
walaupun begitu ia tetap menekankan bahwa ketiga
jenis pendidikan tersebut merupakan kewajiban
dan kebutuhan hidup bagi setap individu tanpa
terkecuali.
Dalam memperjuangkan
hak pendidikan perempuan ini, Qasim
menemui banyak kendala yang justru timbul akibat
dari asumsi-asumsi negatif tentang tabiat
perempuan. Asumsi-asumsi ini berasal dari
teks-teks agama dipandang kebenaran mutlak,
seperti, asumsi masyarakat bahwa perempuan
adalah makhluk yang akal dan agamanya lemah
(Nâqishah
al-Dîn wa al-‘Aql). Pada hakikatnya asumsi ini
terpengaruh oleh keadaan sosiologis bangsa Arab
dulu, di mana perang menjadi kebiasaan. Tidak
sedikit penghasilan yang mereka peroleh dari
barang-barang rampasan perang-perang ini. Dengan
keadaan yang seperti ini maka peran kaum
perempuan tidak banyak diperhitungkan, sehingga
keadaan yang berlangsung lama ini akhirnya
menjadikan perempuan dipandang sebelah mata oleh
masyarakat, bahkan perempuan dinggap sama
seperti harta rampasan perang lainnya.
Ironisnya, asumsi ini terbawa sampai pada masa
saat perang sudah tidak menjadi kebanggaan
masyarakat Arab.
Menghadapi adat
istiadat masyarakat Arab ini, Qasim tetap
bersikukuh pada prinsip dan perjuangannya dalam
membela hak pendidikan bagi kaum perempuan,
karena baginya pendidikan adalah hak setiap
manusia, kaya atau miskin, lemah atau kuat,
bodoh atau pandai karena ia adalah kebutuhan
untuk mempertahankan hidup dan menjadi kebutuhan
bagi mereka semua tanpa pandang
bulu.
Menurut sebagian
ulama kala itu, kewajiban perempuan dalam
menuntut ilmu itu hanya berkutat pada masalah
ibadah-ibadah ritual, atau berkisar pada
mengatur rumah tangga dan tetek
bengeknya. Karena kewajiban mencari nafkah
secara mutlak ditanggung laki-laki, maka dalam
pemahaman ini, pendidikan bukan hal yang
mendesak bagi perempuan. Qasim Amien kembali
mempertanyakan asumsi-asumsi di atas. Kalau
sejenak kita melihat realitas kehidupan
masyarakat, kita sering menyaksikan fenomena
yang bertolak belakang dengan fenomena dan
asumsi tersebut.
Tidak sedikit kita
mendapatkan kepala rumah tangga (suami atau
ayah) yang penghasilannya tidak mencukupi
kebutuhan-kebutuhan rumah tangga mereka. Dan
tidak sedikit kaum perempuan hidup tanpa sistem
herarki kepala keluarga seperti ini, karena
beberapa hal, misalnya perceraian ataupun
meninggalnya suami dan ayah. Maka bagaimana
dengan nasib kaum perempuan dalam keadaan yang
seperti itu? Bagaimana caranya ia mampu
mencukupi kebutuhan pribadi dan anak-anaknya,
sedangkan bekal pengetahuan untuk itu tidak
sedikitpun ia dapatkan? Bagaimana ia dapat
mempertahankan hidupnya dan keluarganya jika ia
sendiri adalah seorang yang lemah, miskin dan
bodoh tanpa mengetahui apa yang musti dia
lakukan? Fenomena-fenomena tersebut yang terjadi
dalam masyarakat kala itu dan sangat menyentuh
hati nurani Qasim Amien. Dari sinilah, beliau
melihat pentingnya pembekalan kaum perempuan
dengan pendidikan yang layak dan memadai
agar mereka dapat hidup mandiri tanpa
ketergantungan dari ayah atau suami mereka dan
dapat mempertahakan kelangsungan hidupnya
sendiri dan keluarga.
Kemudian, jika kita
tengok posisi kaum perempuan yang menjadi
pengasuh dan pendidik bagi anak-anaknya, maka
pembekalan kaum perempuan dengan pendidikan
dalam konteks ini sangat urgen bahkan menjadi
kewajiban, karena nantinya, kepribadian umat dan
bangsa ditentukan anak-anak mereka. Maka,
pendidikan tunas-tunas bangsa ini dimulai dari
proses pendidikan mental dan pembentukan
kepribadian dalam keluarga. Selanjutnya,
mempersiapkan mereka menjadi sumber daya manusia
yang unggul dan sempurna. Nah,
agenda-agenda dan harapan-harapan di atas akan
sulit terkabul, kecuali melalui tangan-tangan
dan nurani ibu-ibu pendidik yang berpendidikan
tinggi dan memiliki bekal yang memadai.
Bagaiamana kita akan membentuk dan membina
generasi yang unggul dan tangguh jika kaum ibu
saja masih terbelakangan tanpa pendidikan?
Bagaimana bangsa dan umat akan maju jika mereka
masih terseret fenomena-fenomena
ini?
Dari Konservatifisme
Menuju Liberalisme
Jika kita runtut dan
cermati lebih lanjut pemikiran Qasim Amien dalam
memperjuangkan agenda-agenda kaum perempuan di
Mesir, ada satu hal yang menarik sekali untuk
kita kaji berkaitan dengan metaformosa
(perubahan) pola pikirnya sangat mencolok dan
dahsyat.
Dalam karya perdananya “Les
Egyptiens” (Mashriyyûn), Qasim termasuk
pemikir dari kelompok konservatif. Ketika itu,
kondisi sosial masyarakat Mesir digambarkan
secara negatif oleh Duc D'harcouri—dalam sebuah
tulisannya—masyarakat Mesir terbelakang,
terisolir, dari kemodernan dan kemajuan. Sebagai
seorang yang cukup memiliki jiwa nasionalisme
tinggi, Qasim merasa “tidak rela” jika sisi-sisi
negatif dari keadaan masyarakat di negerinya
harus dibeberkan kepada masyarakat luas, apalagi
kepada masyarakat asing (Perancis). Dan demi
mengembalikan nama baik masyarakatnya yang
sempat tercemari itu, ia menuliskan sebuah
tanggapan yang cenderung bersifat membela diri.
Dalam tulisan inilah, Qasim dengan
konservatifisme-nya mencoba menjadikan sisi-sisi
negatif tersebut menjadi nilai-nilai yang
positif. Misalnya, ketika D'harcouri
memandang tradisi hijab—dalam makna majazi,
yaitu masyarakat yang benar-benar
memisahkan antara kelompok perempuan dan
laki-laki—sebagai sebuah tradisi yang negatif
dan penghambat kemajuan masyarakat, Qasim justru
menganggapnya sebagai tradisi yang sangat
positif. Dengan dalih, tradisi hijab ini
merupakan identitas masyarakat yang beretika,
lebih terjaga dan lebih sesuai dengan ajaran
agama.
Lima Tahun kemudian,
1899, Qasim Amien menelurkan salah satu karyanya
yang sederhana dan—dalam prediksinya—tidak
terlalu berharga, namun ternyata berhasil
menimbulkan ledakan besar bagi masyarakat Mesir
dengan gerakan pembaruan dan revolusi sosial.
Subtansi buku ini; Tahrîr al-Mar'ah ini
sangat bertolak belakang dengan pemikiran
sebelumnya. Jika dalam Mashriyyûn beliau
sangat konservatif, anti barat dan membabi buta,
dalam karya ini, ia menjadi seorang yang sangat
liberal, dan bahkan cenderung berkiblat pada
masyarakat barat untuk melakukan kritik terhadap
situasi dan kondisi masyarakatnya pada waktu
itu. Misalnya saja ketika mengangkat masalah
disinteraksi antara kaum perempuan dan kaum
lelaki karena dibatasi hijab. Awalnya, beliau
menganggap tradisi ini memiliki nilai-nilai
positif. Namun pada buku Tahrîr al-Mar'ah
ini, Qasim Amien malah mengkritik tradisi
hijab ini dan meminta tradisi tersebut
“ditinggalkan” karena tidak ada lagi
kemaslahatan di sana. Pendapat ini dipertegas
dan diperkuat dengan karyanya yang ketiga,
al-Mar'ah al-Jadîdah, (Perempuan Modern)
sebagai “terminal akhir” dari
pikiran-pikirannya.
Kita bisa
bertanya-tanya, dalam tempo yang relatif singkat
(lima tahun), Qasim Amien merubah cara
pandangnya secara frontal. Apa sebab-sebab yang
melatar belakangi ini semua? Benarkan ini
pemikiran orisinil Qasim Amien? Kalau kita lihat
latar belakang lahirnya buku yang pertama itu,
adalah refleksi dari pembelaan diri ketika
masyarakatnya “ditelajangi” orang lain, dengan
serta merta Qasim Amien melakukan pembelaan diri
dan bisa dikatakan berapologi. Kala itu ia
sangat subjektif, egois, “grusa-grusu” dan tanpa
melakukan introspeksi. Jadi, dengan kata lain,
pemikirannya dalam Mashriyyûn ini belum
bisa dikatakan orisinil, karena terlahir dari
tuntutan-tuntutan psikologis yang
mendesak.
Sedangkan nafas-nafas
pembaruan dalam karyanya yang kedua, Tahrîr
Al-Mar'ah, beliau lebih menekankan pada sisi
reinterpretasi syariat agama Islam yang menjadi
sebab subordinasi kaum lelaki terhadap kaum
perempuan. Padahal, Qasim bukanlah seorang
pemerhati, pakar agama dan ahli syariat. Apakah
dalam waktu yang relatif singkat itu, beliau
benar-benar mendalami syariat Islam dengan
membaca buku-buku referensi utama (ummahât
al-kutb) yang berjilid-jilid sehingga dapat
menerbitkan karya sehebat itu? Adakah indikasi
terjadi plagiasi dalam karya-karya
ini?
Menurut Muhammad ‘Imarah,
Muhammad ‘Abduh—sebagai guru dan sparing
partner Qasim— memiliki kontribusi dalam
penulisan karya ini, karena pemikiran dan
pembaruan yang menjadi subtansi buku ini sejalan
nafas-nafas pembaruan yang dihembuskan Muhammad
‘Abduh. Buku Tahrîr Al-Mar'ah ini bukan
seratus persen buah pemikiran Qasim Amien, namun
bisa dikatakan karya berdua bersama Muhammad
Abduh. Seperti yang dijelaskan buku Tahrîr
Al-Mar'ah ini mengandung dua dimensi; agama
dan sosial. Muhammad Abduh menulis separo isi
buku ini yang berkaitan dengan masalah-masalah
keagamaan, sedangkan Qasim Amien menulis dimensi
sosial budaya yang menjadi keahliannya.
Penutup
Dua karya besar yang
menjadi magnum opus Qasim Amin adalah
Tahrîr al-Mar’ah dan al-Mar’ah
al-Jadîdah. Dalam Tahrîr al-Mar’ah
(Pembebasan Perempuan) Qasim lebih menekankan
pada ide-ide pembebasan perempuan dari belenggu
diskriminasi dan kungkungan subordinasi. Qasim
mencoba membuka “kran-kran” penyumbat kemajuan
ummat dengan menghilangkan tradisi subordinasi
kaum lelaki. Dan metode yang digunakannya pun
lebih menitikberatkan pada reinterpretasi
al-Quran dan Hadist yang seakan selalu
melegitimasi adanya sistem patriarkhi dalam
masyarakat.
Sedangkan dalam
al-Mar’ah al-Jadîdah (Perempuan Modern)
Qasim mengembangkan dan memperkuat ide-ide pokok
dalam karya sebelumnya. Ketika kaum perempuan
telah sedikit banyak tercerahkan dengan ide-ide
pembebasan (liberalisasi), maka Qasim Amien
memulai memperjuangkan pemberdayaan perempuan.
Di sini Qasim terlihat sangat getol menyerukan
urgensi pendidikan kaum perempuan. Menurutnya,
perempuan harus bisa bersikap mandiri sepenuhnya
tanpa harus ada ketergantungan pada kaum
laki-laki. Dari dua karya Qasim Amien ini, kita
menemukan relefansi pemikiran-pemikirannya, dari
pembebasan perempuan melalui kritik tradisi
sosial agama dan budaya, menuju perempuan modern
yang “berdaya” dan tidak bisa “dipercaya”.
Pemikiran Qasim Amien yang pertama masih berbau
teks-teks agama, maka pada karya kedua, Qasim
Amien ingin merekonstruksi sosial, setelah
mendekonstruksinya.
Namun, di zaman
modern ini, model-model usaha Qasim Amien
kelihatannya sudah tidak begitu menemukan
relevansinya lagi, sebab bagi kita yang hidup
pada era globalisasi ini, pembebasan perempuan
dari “penjara” rumah dan perjuangan kaum
perempuan untuk menikmati pendidikan bukalah hal
yang sulit untuk didapat. Di segala lini
kehidupan, perempuan sudah mulai diperhitungkan.
Artinya, diskriminasi kaum perempuan dan
subordinasi kaum lelaki yang mencolok dan
dirasakan oleh masyarakat semasa hidup Qasim
Amin, saat ini sudah berangsur-angsur punah.
Walaupun tidak menutup kemungkinan kita masih
menjumpai tradisi-tradisi tersebut dalam
kehidupan sosial. Nah, agenda yang
mungkin masih relevan saat ini adalah
“pemberdayaan kaum perempuan” bukan lagi
“pembebasan kaum perempuan” seperti perjuangan
Qasim Amien dan tokoh-tokoh feminis yang lain
pada zamannya.
Jadi, yang bisa kita
ambil dari ide-ide pembaruan Qasim Amien
bukanlah model-model materialistis usahanya,
namun spirit pembaruan dan pencerahan masyarakat
yang senantiasa diperjuangkannya. Kita harus
bisa menghidupkan kembali ruh perjuangan itu
sesuai dengan konteks yang ada. Semoga
semangat dan jasa-jasa Qasim Amien dalam ijtihad
dan perjuangannya dalam merekonstruksi
masyarakat selalu menjadi tauladan bagi generasi
selanjutnya. Wa’l lahu a‘lam bi Al-Shawâb
[www.islamlib.com]
|