Depan Oto Biografi Album Foto Kontak Tell  A Friend  

 

Emansipasi Kaum Perempuan

Ala Qasim Amien

Dari Pembebasan Perempuan Menuju Pemberdayaan Perempuan Modern

Oleh: Anisia Kumala Masyhadi

 

Pendidikan perempuan harus ditekankan pada kemandirian supaya mereka paham dan menjadi  dirnyai sendiri, bukan menjadi pelayan bagi kaum lelaki saja (Qasim Amien).

 Pendahuluan

Mengangkat masalah relasi gender dan feminisme terasa melelahkan, sekaligus mengasyikkan. Melelahkan karena seakan-akan perbincangan ini tidak akan berakhir dalam suatu ujung dan titik akhir tertentu. Mengasyikkan karena bahasan ini selalu memberikan nuansa dan wacana baru dengan jargon-jargon yang terus bermunculan dan berkembang, sehingga kita tidak pernah jenuh membahasnya. Maka, perbincangan seputar diskursus gender ini adalah pokok masalah yang “membumi”, artinya, tidak saja menjadi wacana dan fenomena bagi kelompok atau golongan tertentu, yang dibatasi garis geografis maupun ideologis, namun lebih merupakan permasalahan global yang lintas ruang dan waktu.

Di Jepang, kita akan menemui Michiko, sebagai tokoh pergerakan kaum perempuan, di Maroko kita berjumpa dengan pemikiran Fatimma Mernissi. Ashgar Ali Engineer dan Rifat Hassan dari India, Amina Wadud Muhsin dari Malaysia. Dan di Indonesia sendiri kita temui para pakar dan pemerhati gender, sejak periode pra-kemerdekaan. Kita bisa runtut dari RA. Kartini, dan Dewi Sartika sebagai pioner “feminisme” kala itu, dan untuk saat kini, kita bisa menyebut nama Wardah Hafid, Nurul Agustina, Ratna Megawangi, hingga mantan first lady Indonesia, Sinta Nuriyah Abd Rahman Wahid berada di garda terdepan membela dan membekali kaum perempuan. Hingga tidak heran muncul “Teologi Perempuan” yang menjadi “akidah-akidah” baru yang mengagendakan pembebasan dan pemberdayaan kaum Hawa.   

Di dunia Arab sendiri, khususnya Mesir, masalah relasi gender ini menjadi bagian problem-problem sentral (al-isykaliyât al-markaziyah) dari pergolakan pemikiran Mesir. Kita mengenal Huda Sya’rawi, Zaenab Fawwaz, Nawwal Sa’dawi, May Ziyadah, Aisha Taymoriah, dan yang lain. Namun kalau kita coba menarik sejarah aksi-aksi para feminis ini ke belakang, maka, Qasim Amien-lah, yang menciptakan mainstream dan aksi-aksi kaum Hawa ini. Karena itu, pada saat kita berbicara tentang gerakan feminisme di Arab maka tidak akan lepas dari pembicaraan tentang Qasim Amien, seorang tokoh yang berjasa dalam pergerakan pembebasan kaum perempuan Arab khususnya dan kaum perempuan muslimah di Negara-negara Dunia Ketiga pada umumnya. Qasim Amien dijuluki sebagai Bapak “Feminisme” Arab.[2] Namanya dikenang sebagai pejuang kebebasan perempuan dari segala bentuk diskriminasi. Dan pemikirannya banyak mempengaruhi para pejuang pergerakan feminisme yang datang setelah zamannya.

Sebagaimana biasanya, seperti pemikiran tokoh-tokoh yang lain dalam bidang apapun, tidak akan lepas dari permasalahan pro dan kontra terhadap pemikirannya, apalagi gerakan dan pemikirannya termasuk gerakan yang mengusung reformasi yang gegap gempita pada saat itu. Demikian halnya pemikiran Qasim Amien, yang berangkat dari analisa sosial, hingga mengkritisi teks-teks agama hingga dipahami sebagai tradisi yang profan dan tunduk pada nilai sosial dan sejarah. Pemikiran Qasim mampu meruntuhkan “tembok” kejumudan berpikir dan menjadi “shock theraphy” dari permasalahan-permasalahan yang menjadi “blunder” dalam masyarakat.

Ide-ide perubahan sosial yang digulirkan oleh Qasim Amin memang bisa dikatakan sebuah pembaruan yang radikal jika kita lihat dalam konteks sosio-kultural pada waktu itu. Karena bagaimanapun juga, ide-ide tersebut berani “menantang arus” dari mainstream (arus utama) masyarakat, baik para ulama-ulama Al-Azhar maupun golongan pemerintah.

Dalam artikel kali ini, kita akan mengkaji pemikiran-pemikiran Qasim Amien dari dimensi al-ishlâh al-ijtimâ‘î (reformasi sosial), di mana salah satu agenda untuk mensukseskan reformasi ini dengan “merombak” keadaan kaum perempuan sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang sering “terdiskriminasi”, baik dengan “kedok” syariat, mitos, adat-istiadat atau pun budaya.

Menurut Qasim Amien masalah perempuan adalah akibat dari konstruksi sosial (social contruc) yang sering menjadi penyebab munculnya diskriminasi gender. Selanjutnya, Qasim Amien berusaha untuk mencari solusi dan terobosan-terobosan baru demi memperbaiki keadaan umatnya yang terpuruk dalam jurang kemunduran dan kejumudan.

 

Sekelumit Biografi Qasim Amien

Ketika kita mencoba menganalisa pemikiran seorang tokoh, maka, usaha ini tidak akan lepas dari keharusan untuk mengetahui sekelumit sejarah dan catatan hidupnya yang banyak mempengaruhi dan melatarbelakangi struktur dan “ideologi” pemikiran-pemikirannya. Tujuan dari “pembacaan” ini agar kita bisa mengungkap pemikiran tokoh tersebut dengan lebih objektif dan tepat, sehingga kita bisa terhindar dari “analisis ideologis” yang melahirkan analisa yang subjektif dan menyudutkan. Di bawah ini sekelumit ringkasan riwayat hidup Qasim Amien dengan menekankan segi pendidikan dan sosio-kulturalnya yang banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran beliau, tentang realitas sosio-kultural masyarakat Mesir secara umum, dan nasib perempuan secara khusus.

Qasim  Amien, dilahirkan di sebuah dusun di daerah Mesir dari seorang ayah keturunan Turki Ustmani dan dari ibu yang berdarah asli Mesir. Beliau lahir pada awal bulan Desember tahun 1863 M. Setelah menamatkan Sekolah Dasar di Alexandria, keluarganya hijrah ke Kairo. Pada tahun 1881, ia mencapai gelar licance dari Fakultas Hukum dan Administrasi dari sebuah akademi. Pada waktu itu, Qasim Amien masih berumur 20 tahun. Pada masa kuliahnya itu, ia mulai kenal dengan sosok Jamaluddin Al-Afgahani dan aliran-aliran pemikirannya yang memang berkembang di Mesir pada saat itu.

Dengan bekal gelar licance-nya ia bekerja sebagai pengacara pada sebuah kantor milik Musthafa Fahmi Basya, seorang pengacara besar pada saat itu yang memang sudah memiliki hubungan baik dengan orang tua Qasim. Melalu perantara kantornya, Qasim berkesempatan untuk melanjutkan studi di Perancis atas sponsor dari Musthafa Fahmi Basya. Dalam masa perantauannya di Paris, di Mesir sendiri pada saat itu terjadi Revolusi Arab yang dipimpin murid-murid Jamaluddin al-Afghani. Revolusi ini berakhir dengan penjajahan Mesir oleh tentara Inggris dan tokoh tokoh revolusi tersebut dihadapkan ke Meja Hijau. Jamaluddin al-Afghani dan muridnya, Muhammad Abduh diasingkan dari Mesir, dan pada akhirnya keduanya menetap di Paris. Di sinilah Qasim kembali menjalin hubungan dengan Al-Afghani dan juga menjadi penerjemah pribadi bagi Muhammad Abduh.

Selayaknya orang asing di kota Paris, ia berusaha untuk bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat Perancis. Namun karena beliau memiliki kepribadiannya yang mencirikan kepribadian bangsa Timur; pemalu dan tertutup, dan terdapat perbedaan yang sangat jauh antara budaya Perancis dan budaya Mesir, maka ia tidak bisa bergaul dan berinteraksi dengan bebas dan luas. Namun, sebagaimana lazimnya kehidupan mahasiswa dan mahasiswi di kampus, Qasim Amien juga memiliki teman perempuan yang istimewa. Dari kebersamaannya dengan gadis Perancis tadi, disinyalir mulai tumbuh benih-benih kepeduliannya terhadap kaum hawa, yang nantinya membidani perjuangannya di Mesir yang penuh dengan bentuk interaksi sosial yang diskriminatif. Kekasihnya menjadi sumber inspirasi dan penggugah kesadaran bahwa kaum perempuan sebetulnya memiliki kemampuan yang selama ini “tidak pernah difungsikan”.[3]

Sekembalinya dari Paris pada tahun 1885, ia diangkat menjadi hakim. Kariernya sebagai seorang hakim semakin meningkat sehingga pada tahun 1889, ia diangkat menjadi walikota di Bani Suef, sebuah propinsi di Mesir. Dari daerah ini ia memulai pergerakannnya dalam mengadakan perbaikan-perbaikan di segala bidang sosial (ishlâh ijtimâ'î). Jasa-jasanya yang patut diacungi jempol pada saat itu, ia berupaya keras membebaskan para narapida politik.

Tahun 1894, Qasim Amien menikah dengan seorang gadis pilihannya yang masih memiliki darah keturunan Turki, Zaenab Amien Taufiq.[4] Dan pada tahun yang sama ia mulai aktif dalam kegiatan tulis menulis, karya pertamanya lahir, “Al-Mashriyyûn” (Les Egyptiens) dengan menggunakan bahasa Perancis. Buku ini adalah counter terhadap tulisan seorang tokoh Perancis, Duc D'harcouri, yang mengecam realitas sosio-kultural masyarakat Mesir. Karya perdana ini rupayanya bisa menggenjot kreatifitas Qasim Amien dalam dunia tulis-menulis.[5] Selanjutnya lahir karya-karya Qasim Amien yang menjadi magnum opus-nya, yaitu, “Tahrîr al-Mar’ah'” (Pembebasan Perempuan) terbit pada tahun 1899 dan “Al-Mar’ah Al-Jadîdah” (Perempuan Modern) yang terbit tahun 1900.

 

Qasim Amien di antara Pergumulan Pemikiran Islam di Mesir

Dalam kajian sosiologi pemikiran, kita akan dikenalkan dua macam varian dari pergerakan-pergerakan pemikiran. Pertama, gerakan yang menjaga usul-usul (fundamen), tradisi dan agama secara rigid dan tertutup, varian ini biasanya dikenal dengan Front Tradisionalis-konservatif. Kedua, Font Reformis-liberal adalah gerakan yang mengkaji agama dan tradisi secara kritis, rasional dan liberal. Begitu juga halnya dengan permasalahan relasi gender, di satu sisi terdapat kelompok yang berusaha keras mempertahankan warisan kaum terdahulu (al-Sâbiqûn al-Awwalûn). Terlepas apakah warisan tersebut merupakan syariat murni atau hasil ijtihad manusia terhadap masalah-masalah kontekstual. Di tepi lain, suatu golongan berusaha mencari terobosan-terobosan baru, guna menyelesaikan problem kontekstual dengan mengkaji tradisi agama dan sosial secara kritis tanpa mengenyampingkan tradisi dan pengalaman hidup leluhurnya.

Jika kita mencoba mengklasifikasikan posisi para feminis ke dalam dua golongan tersebut, yaitu Tradisionalis-konservatif dan Reformis-liberal, maka Qasim Amien masuk pada kelompok kedua. Ketika Qasim Amien mengadakan pembaruan di bidang sosial,—di antaranya permasalahan kaum perempuan— beliau menafsirkan kembali (reinterpretasi), dengan jalan mengkritisi, “dekonstruksi” dan rekonstruksi terhadap syariat-syariat Islam yang menjadi pemicu timbulnya diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan. 

Dalam menyikapi pemikiran Qasim Amien, masyarakat Mesir pecah menjadi dua kubu. Pertama, kubu yang sangat mendukung pemikiran-pemikiran dan agenda pergerakan Qasim, secara penuh dan total yang akhirnya menimbulkan fanatisme terhadap pemikiran Qasim Amien. Menurut mereka, pemikiran Qasim Amien merupakan hasil ijtihad yang benar-benar positif, mengentaskan umat manusia dari Zaman Kegelapan (‘Ashr al-Dlalâm) menuju Zaman Terang-benderang (‘Ashr Tanwîr). Zaman ini memiliki beberapa identitas, di antaranya kebebasan kaum perempuan dari kekangan-kekangan dan terlepas dari pandangan negatif dan nyinyir dari kaum laki-laki.

Kedua, kubu yang menyikapi pemikiran dan gerakan Qasim Amien dengan sikap skeptis, apatis bahkan antipati. Bagi mereka, pemikiran dan pergerakan tersebut tidak lain hanyalah bentuk lain dari westernalisasi terhadap budaya-budaya Timur, yang akan mengikis habis identitas budaya Timur itu sendiri.

Sedangkan penulis sendiri tidak mau terjebak di dua sisi ini, karena, akan melahirkan pemikiran yang memihak, tidak objektif dan ekstrim. Seyogyanya pemikiran seorang tokoh diapresiasi sedemikian rupa, dengan “pisau analisis” yang “steril” terbebas dari “karat-karat” ideologi dan kepentingan kelompok.

      

Dari Analisa Sosial Menuju Pembebasan dan Pemberdayaan Perempuan

Dalam menyusun tesa-tesa pemikirannya hingga sampai pada suatu hipotesa yang siap disuguhkan, Qasim Amien lebih cenderung menyimpulkan suatu permasalahan menggunakan piranti-piranti analisa sosial dan data empirik dari interaksi beliau dengan masyarakat luas. Bagi beliau, teori-teori sosial dan hipotesa-hipotesa yang hanya lahir dari “atas meja” akan melahirkan teori dan kesimpulan yang cenderung “mengira-ngira”, tidak realistis, dan bahkan jauh dari nilai kebenaran. Kita bisa melihat, ketika beliau memberikan kritik pedas terhadap tulisan D'Harcouri tentang kondisi sosial masyarakat Mesir sebagai masyarakat Muslim yang terpuruk. Menurutnya, tesa-tesa dalam tulisan D'Harcouri itu—dapat dikatakan— sama sekali tidak mendekati kebenaran, karena ia (D'Harcouri) tidak berinteraksi langsung dengan masyarakat Mesir sehingga tidak tahu persis keadaan masyarakat Mesir sebenarnya. Jika realitanya demikian, bagaimana mungkin tesa-tesa D'Harcouri bisa “dicap” objektif? Jadi, bisa kita katakan bahwa pemikiran-pemikiran seseorang bermula dari analisa sosial yang tajam dan kritis dengan tetap melihat fenomena-fenomena sosial yang nampak. Selanjutnya, ia boleh “berijtihad” untuk  menyusun tesa-tesa demi memberikan solusi bagi permasalahan-permasalahan sosial yang dianggap wajib untuk diperbarui.[6]

Posisi Qasim sebagai hakim dan tokoh masyarakat pada waktu itu nampaknya lebih memberikan kesempatan baginya untuk mengadakan pembaruan di bidang sosial kemasyarakatan. Qasim juga merupakan salah seorang yang memberikan kontribusi besar terhadap teori-teori sosial. Namun, syarat utama suatu teori sosial, adalah, teori tersebut harus sesuai dengan kemaslahatan umat manusia. Artinya, teori-teori sosial tersebut harus fleksibel, elastis, dan nisbi, jika suatu teori bisa direlisasikan pada suatu masa dan tempat tertentu, maka bisa jadi teori tersebut tidak dapat direalisasikan kembali pada masa dan tempat yang lain, karena tergantung pada kemaslahatan dan kebutuhan masyarakat yang plural, berbeda, dan bertentangan. Dengan kata lain, teori sosial-sosial tersebut­—termasuk di dalamnya norma-norma agama— tidak boleh absolut, statis dan “otoriter”.

Norma-norma agama yang bersifat tekstual, harus dicari “celah-celah” kontekstualnya. Misalnya, kewajiban hijâb bagi kaum perempuan yang termaktub dalam teks al-Quran, bukanlah semata-mata syariat agama Islam, namun bagi Qasim, hijâb lebih merupakan bentuk adat istiadat yang diwarisi bangsa-bangsa Arab kuno. Nah, dalam Islam, teori hijâb ini menjadi syariat karena sesuai dengan kondisi sosial-kultural masyarakat pada saat itu. Jika kondisi berubah, maka, tradisi ini boleh jadi tidak sesuai lagi. Dan ini berarti, jika hijab sudah tidak lagi mengandung unsur kemaslahatan sosial, maka kita bisa menggantikannya dengan solusi lain yang sesuai dengan zaman kita sekarang ini.[7]

Qasim Amien juga memberikan perhatian yang serius terhadap kondisi ekonomi masyarakat. Baginya,  kondisi  ekonomi sangat mempengaruhi keadaan suatu masyarakat, lebih jauh lagi, ekonomi memiliki faktor dominan yang mempengaruhi kondisi masyarakat dari pada faktor-faktor lain, seperti; pendidikan, agama dan budaya. Dari kondisi ekonomi, kita bisa melacak sebab-sebab terjadinya diskriminasi perempuan. Misalnya, dalam skup permasalahan yang lebih sempit, yaitu, poligami. Komunitas masyarakat pada tataran ekonominya menengah ke atas akan lebih termotivasi melakukan poligami. Realita ini terjadi pada masyarakat Mesir. Masyarakat pedesaan yang kondisi ekonominya lemah dan pas-pasan, akan mengurangi kemungkinan menjamurnya tradisi poligami. Berbeda dengan masyarakat kota yang mempunyai pendapatan perkapita lebih besar. Premis ini dapat dibenarkan, pasalnya, masyarakat dengan pendapatan perkapita yang hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan primernya, tidak akan terlalu ngoyo untuk memenuhi kebutuhan sekunder. Jangankan untuk kebutuhan yang sekunder, untuk kebutuhan primer saja mereka harus berjuang dan bekerja keras. Berbeda dengan masyarakat yang telah mencukupi kebutuhan primernya, mereka memiliki kesempatan lebih banyak memikirkan kebutuhan-kebutuhan sekunder.

Namun, premis ini tidak selamanya dapat dibenarkan, karena, faktor ekonomi bukanlah satu-satunya faktor penentu bagi yang mengkonstruksi bentuk sosial masyarakat, tetapi, di samping itu masih banyak lagi terdapat variabel-veriabel yang lain, seperti tingkat pendidikan, ideologi masyarakat, dan budaya.[8]

Pada masa Qasim Amien, posisi kaum perempuan dalam keluarga dan masyarakat tidak lebih hanya sebagai konco wingking-nya laki-laki, artinya, tugas sosialnya hanyalah “sekedar” pelayan bagi seorang suami, seorang istri hanya bertugas menghidangkan makanan bagi sang suami, mengandung dan melahirkan anaknya, dan bahkan tidak jarang istri tidak mengetahui banyak hal tentang suaminya. Ia juga “hanya” ibu bagi anak-anaknya, tugasnya melahirkan, menyusui dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan materi anak, tanpa ada bekal pengetahuan sedikitpun tentang pengasuhan dan pendidikan anak. Padahal, kualitas generasi umat sangat tergantung pada pendidikan anak, khususnya pendidikan yang ditanamkan ibu pada masa-masa perkembangan awal.

Sedangkan nasib perempuan pada saat itu dalam kondisi yang terpuruk dan mengenaskan. Pendidikan sekolah hampir tidak pernah dirasakan kaum perempuan, pendidikan nonformal dari pihak keluarga dan lingkungan mereka hanya sekedar pembekalan untuk mengatur urusan dapur dan rumah tangga saja. Interaksi sosial bagi kaum perempuan pada saat itu dengan masyarakat luas hampir menjadi suatu hal yang mustahil, karena ia “terpenjara” di antara dinding-dinding rumah mereka sendiri. Keadaan yang ironis tersebut memasung kebebasan kaum perempuan, baik kebebasan berkehendak, berpikir dan berbuat yang semestinya menjadi hak asasi setiap insan. Perempuan terkekang dan tunduk di bawah kekuasaan kaum lelaki. Kondisi inilah yang menyentuh hati Qasim dan mendorongnya untuk berjuang demi melakukan pembaruan sosial ke arah yang lebih “memanusiakan” manusia. Qasim sadar bahwa fenomena seperti ini merupakan salah satu sebab utama keterbelakangan dan kejumudan masyarakat Islam di Arab.

Menurut Qasim, kebebasan kaum perempuan adalah masalah pertama yang harus diperjuangkan. Karena bagaimanapun, kebebasan merupakan kekayaan termahal bagi setiap manusia yang memiliki hak untuk merdeka dan bebas. Namun perlu menjadi catatan, kebebasan yang ditekankan Qasim bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas, melainkan kebebasan yang dibatasi dengan kerangka syariat agama dan etika sosial.[9] Kondisi kaum perempuan pada waktu itu bisa disamakan dengan budak, karena budak adalah orang yang terampas kemerdekaan dan hak-haknya. Jangankan hak untuk memperoleh pendidikan, kebebasan untuk berkehendak saja sudah sedemikian terkekang. Sehingga ia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat lebih banyak, baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakatnya.

 

Pembebasan Perempuan melalui Tradisi “Kritik Teks”

Seperti diketahui, pembebasan adalah agenda terdepan sebelum pemberdayaan. Jauh-jauh hari Qasim Amien telah membidik teks-teks agama yang menjadi “momok”  perempuan lewat karyanya Tahrîr Al-Mar’ah. Seperti permasalahan hijab dan poligami.

Sebelum terlalu jauh membicarakan masalah hijab, mungkin ada baiknya jika kita mencoba mengetahui terlebih dahulu pemahaman Qasim tentang makna hijab ini. Menurut Qasim Amien hijab mempunyai dua makna. Pertama, hijab secara makna hakiki, berfungsi menutup aurat perempuan hingga wajah dan telapak tangan (penutup wajah disebut niqâb [cadar]). Bagi masyarakat Mesir pada waktu itu, hijab dalam makna di atas dianggap sebagai syariat Islam. Kedua, adalah hijab dalam makna majazi, yaitu “penjara” kaum perempuan dalam rumahnya sendiri. Selain memaparkan makna hijab sesuai dengan “idelogi” masyarakat Mesir di atas, Qasim juga mencoba membuat analisa dan studi kritik tentang hijab ini dari dua sudut pandang; agama dan sosial.

Dalam perjalanan sejarah masyarakat Timur, hijab bagi kaum perempuan sangat memainkan peranan penting dalam membentuk sistem sosial yang ada. Bahkan sebenarnya hijab bukan saja merupakan ciri khas masyarakat Timur saja. Sejarah telah mencatat, kaum perempuan pada masyarakat Yunani waktu itu juga memakai busana tersebut jika keluar dari rumahnya. Adat ini berlanjut sampai pada abad pertengahan, khususnya abad ke-IX, dan sampai pada abad ke-XIII. Namun, karena keadaan sosiologis yang terus berubah menuju kemajuan dan kemodernan maka adat ini-pun di daerah Yunani dan wilayah Barat lainnya menjadi punah.

Menurut Qasim Amien masyarakat Arab mempunyai pandangan yang “salah kaprah” terhadap hijab ini, sehingga mereka bersikeras mempertahankan tradisi ini. Hijab hanya  dianggap sebagai pesan syariat agama an sich. Sehingga agama dijadikan legitimasi atas kewajiban memakai hijab. Padahal—menurut Qasim—tidak ada satupun nash-nash sharîh yang mewajibkan pemakaian hijab ini. Dalam Surat Al-Nûr ayat 30, difirmankan secara jelas, bahwa kaum perempuan yang beriman diperintahkan untuk menjaga kehormatannya dan tiada memperlihatkan perhiasannya (tubuhnya) selain dari yang nyata (mesti terbuka). Para ulama telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan anggota tubuh yang mesti terbuka di sini adalah anggota tubuh yang diperlukan dalam kehidupan dan interaksi sehari-hari, yaitu wajah dan telapak tangan. Jika pemakaian hijab bertujuan menghindari fitnah, maka menurut Qasim, justru hijab—dalam makna masyarakat Mesir di atas lengkap dengan antribut cadarnya—yang berpotensi menimbulkan fitnah, sebab, seorang yang memakai hijab cenderung lebih bebas untuk bertindak melanggar sosial tanpa ada rasa khawatir untuk diketahui oleh khalayak ramai. Berbeda dengan seorang perempuan yang tidak menutupi wajahnya, ia akan cenderung menjaga kehormatan pribadi dan keluarganya sehingga lebih berhati-hati dalam bertindak.[10]

Jadi, etika dan perilaku sosial yang terpuji tidak ada hubungannya dengan pemakaian hijab, karena yang lebih menentukan baik atau tidaknya moral seseorang adalah dari nurani dan hatinya, bukanlah dari penampilan lahiriyah.

Pada sisi sosial, Qasim melihat bahwa hijab dalam beberapa hal justru menjadi kendala bagi pemakainya untuk bisa berinteraksi dengan masyarakat luas. Misalnya, dalam hal kriminalitas dan kesaksian dalam pengadilan, kemungkinan untuk melakukan bentuk-bentuk manipulasi terbuka lebar. Ujung-ujungnya akan merugikan salah satu pihak dari kedua puhak yang beselisih. Begitu juga dalam bentuk interaksi sosial lainnya, seperti perdagangan dan pertanian. Masyarakatpertanian di pedesaan di mana kaum perempuan sedikit banyak ikut berperan dalam cocok tanam, akan lebih banyak menemukan kesulitan dari pada perempuan yang tidak berhijab. Bahkan secara lebih radikal lagi, Qasim menyatakan bahwa kaum perempuan yang berhijab akan lebih terisolir dari pada kaum perempuan yang menanggalkan hijabnya.[11]

Dalam masalah poligami, Qasim bisa digolongkan ke dalam kelompok yang paling menentang adanya poligami dengan alasan etika kemanusiaan. Poligami menurut Qasim adalah bentuk penghinaan bagi kaum perempuan. Sudah menjadi tabiat asli manusia, seorang perempuan tidak akan pernah rela jika suaminya membagi cinta kepada perempuan lain, demikian halnya sang suami, tidak akan rela jika ada lelaki lain yang ikut mendapatkan bagian cinta istrinya.

Sisi negatif yang disorot Qasim akibat dari poligami ini adalah permusuhan batin antara istri yang satu dengan yang lain, sehingga tidak jarang permusuhan antara mereka diwariskan kepada anak-anak mereka. Karena bisa jadi seorang ibu­—secara tidak sadar— menyulut api permusuhan dan kedengkian antara anak-anak dan keluarganya kepada keluarga dari istri yang lain. Seorang istri yang dimadu dan tidak rela, namun ia berusaha untuk memendam perasaannya akan mengakibatkan akumulasi kekecewaan di bawah alam sadar, dan sewaktu-waktu bisa meledak dan menyulut konflik besar. Persaingan yang terjadi antara mereka adalah persaingan yang tidak sportif, nilai-nilai persaudaraan dan etika kemanusiaan yang seharusnya dipupuk antara sesama manusia,—karena poligami ini—akan cenderung dikalahkan oleh api kedengkian dan permusuhan.

Walaupun secara radikal Qasim menentang praktek poligami, namun ia masih memberikan “pengecualian”. Menurutnya, poligami “diperbolehkan” untuk beberapa kasus, misalnya seorang istri tidak bisa memberikan keturunan kepada sang suami. Namun—menurut Qasim—dalam kondisi seperti ini, sang suami harus bersabar, karena istrinya tiada bersalah dan berdosa, jika sang suami tetap bersikeras untuk menihak lagi, maka harus sepengetahuan istrinya, jika sang istri minta cerai, maka sang suami harus menceraikannya. Selain tujuan-tujuan di atas, poligami adalah bentuk dari pemuasan nafsu binatang dan tanda-tanda dari dekadensi moral.[12]

 

Pemberdayaan Perempuan melalui Pendidikan

Dalam hal pendidikan, Qasim mengklasifikasikan jenis pendidikan menjadi tiga tingkatan secara berurutan. Pertama adalah pendidikan yang wajib bagi setiap orang demi menjaga kehidupannya sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadinya (kebutuhan primer setiap individu). Kedua adalah pendidikan yang bermanfaat bagi keluarganya  Ketiga pendidikan yang bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat sekelilingnya.[13] Nah, pendidikan kaum perempuan yang diperjuangkan oleh Qasim pada waktu itu lebih ditekankan kepada jenis pendidikan yang pertama dan kedua. Karena pendidikan jenis ketiga masih terlalu jauh jangkauannya jika diterapkan bagi kaum perempuan Mesir. Alasan yang lain, kondisi psikologis kaum perempuan dan kondisi sosiologis masyarakat yang masih memprihatinkan dan belum siap. Namun walaupun begitu ia tetap menekankan bahwa ketiga jenis pendidikan tersebut merupakan kewajiban dan kebutuhan hidup bagi setap individu tanpa terkecuali.

Dalam memperjuangkan hak  pendidikan perempuan ini, Qasim menemui banyak kendala yang justru timbul akibat dari asumsi-asumsi negatif tentang tabiat perempuan. Asumsi-asumsi ini berasal dari teks-teks agama dipandang kebenaran mutlak, seperti, asumsi masyarakat bahwa perempuan adalah makhluk yang akal dan agamanya lemah (Nâqishah al-Dîn wa al-‘Aql).[14] Pada hakikatnya asumsi ini terpengaruh oleh keadaan sosiologis bangsa Arab dulu, di mana perang menjadi kebiasaan. Tidak sedikit penghasilan yang mereka peroleh dari barang-barang rampasan perang-perang ini. Dengan keadaan yang seperti ini maka peran kaum perempuan tidak banyak diperhitungkan, sehingga keadaan yang berlangsung lama ini akhirnya menjadikan perempuan dipandang sebelah mata oleh masyarakat, bahkan perempuan dinggap sama seperti harta rampasan perang lainnya. Ironisnya, asumsi ini terbawa sampai pada masa saat perang sudah tidak menjadi kebanggaan masyarakat Arab.

Menghadapi adat istiadat masyarakat Arab ini, Qasim tetap bersikukuh pada prinsip dan perjuangannya dalam membela hak pendidikan bagi kaum perempuan, karena baginya pendidikan adalah hak setiap manusia, kaya atau miskin, lemah atau kuat, bodoh atau pandai karena ia adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup dan menjadi kebutuhan bagi mereka semua tanpa pandang bulu.

Menurut sebagian ulama kala itu, kewajiban perempuan dalam menuntut ilmu itu hanya berkutat pada masalah ibadah-ibadah ritual, atau berkisar pada mengatur rumah tangga dan tetek bengeknya. Karena kewajiban mencari nafkah secara mutlak ditanggung laki-laki, maka dalam pemahaman ini, pendidikan bukan hal yang mendesak bagi perempuan. Qasim Amien kembali mempertanyakan asumsi-asumsi di atas. Kalau sejenak kita melihat realitas kehidupan masyarakat, kita sering menyaksikan fenomena yang bertolak belakang dengan fenomena dan asumsi tersebut.

Tidak sedikit kita mendapatkan kepala rumah tangga (suami atau ayah) yang penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga mereka. Dan tidak sedikit kaum perempuan hidup tanpa sistem herarki kepala keluarga seperti ini, karena beberapa hal, misalnya perceraian ataupun meninggalnya suami dan ayah. Maka bagaimana dengan nasib kaum perempuan dalam keadaan yang seperti itu? Bagaimana caranya ia mampu mencukupi kebutuhan pribadi dan anak-anaknya, sedangkan bekal pengetahuan untuk itu tidak sedikitpun ia dapatkan? Bagaimana ia dapat mempertahankan hidupnya dan keluarganya jika ia sendiri adalah seorang yang lemah, miskin dan bodoh tanpa mengetahui apa yang musti dia lakukan? Fenomena-fenomena tersebut yang terjadi dalam masyarakat kala itu dan sangat menyentuh hati nurani Qasim Amien. Dari sinilah, beliau melihat pentingnya pembekalan kaum perempuan dengan pendidikan yang  layak dan memadai agar mereka dapat hidup mandiri tanpa ketergantungan dari ayah atau suami mereka dan dapat mempertahakan kelangsungan hidupnya sendiri dan keluarga.[15]

Kemudian, jika kita tengok posisi kaum perempuan yang menjadi pengasuh dan pendidik bagi anak-anaknya, maka pembekalan kaum perempuan dengan pendidikan dalam konteks ini sangat urgen bahkan menjadi kewajiban, karena nantinya, kepribadian umat dan bangsa ditentukan anak-anak mereka. Maka, pendidikan tunas-tunas bangsa ini dimulai dari proses pendidikan mental dan pembentukan kepribadian dalam keluarga. Selanjutnya, mempersiapkan mereka menjadi sumber daya manusia yang unggul dan sempurna. Nah, agenda-agenda dan harapan-harapan di atas akan sulit terkabul, kecuali melalui tangan-tangan dan nurani ibu-ibu pendidik yang berpendidikan tinggi dan memiliki bekal yang memadai. Bagaiamana kita akan membentuk dan membina generasi yang unggul dan tangguh jika kaum ibu saja masih terbelakangan tanpa pendidikan? Bagaimana bangsa dan umat akan maju jika mereka masih terseret fenomena-fenomena ini?

 

Dari Konservatifisme Menuju Liberalisme

Jika kita runtut dan cermati lebih lanjut pemikiran Qasim Amien dalam memperjuangkan agenda-agenda kaum perempuan di Mesir, ada satu hal yang menarik sekali untuk kita kaji berkaitan dengan metaformosa (perubahan) pola pikirnya sangat mencolok dan dahsyat.

Dalam karya perdananya “Les Egyptiens” (Mashriyyûn), Qasim termasuk pemikir dari kelompok konservatif. Ketika itu, kondisi sosial masyarakat Mesir digambarkan secara negatif oleh Duc D'harcouri—dalam sebuah tulisannya—masyarakat Mesir terbelakang, terisolir, dari kemodernan dan kemajuan. Sebagai seorang yang cukup memiliki jiwa nasionalisme tinggi, Qasim merasa “tidak rela” jika sisi-sisi negatif dari keadaan masyarakat di negerinya harus dibeberkan kepada masyarakat luas, apalagi kepada masyarakat asing (Perancis). Dan demi mengembalikan nama baik masyarakatnya yang sempat tercemari itu, ia menuliskan sebuah tanggapan yang cenderung bersifat membela diri. Dalam tulisan inilah, Qasim dengan konservatifisme-nya mencoba menjadikan sisi-sisi negatif tersebut menjadi nilai-nilai yang positif.[16] Misalnya, ketika  D'harcouri memandang tradisi hijab—dalam makna majazi, yaitu masyarakat  yang benar-benar memisahkan antara kelompok perempuan dan laki-laki—sebagai sebuah tradisi yang negatif dan penghambat kemajuan masyarakat, Qasim justru menganggapnya sebagai tradisi  yang sangat positif. Dengan dalih, tradisi hijab ini merupakan identitas masyarakat yang beretika, lebih terjaga dan lebih sesuai dengan ajaran agama.[17]

Lima Tahun kemudian, 1899, Qasim Amien menelurkan salah satu karyanya yang sederhana dan—dalam prediksinya—tidak terlalu berharga, namun ternyata berhasil menimbulkan ledakan besar bagi masyarakat Mesir dengan gerakan pembaruan dan revolusi sosial. Subtansi buku ini; Tahrîr al-Mar'ah ini sangat bertolak belakang dengan pemikiran sebelumnya. Jika dalam Mashriyyûn beliau sangat konservatif, anti barat dan membabi buta, dalam karya ini, ia menjadi seorang yang sangat liberal, dan bahkan cenderung berkiblat pada masyarakat barat untuk melakukan kritik terhadap situasi dan kondisi masyarakatnya pada waktu itu. Misalnya saja ketika mengangkat masalah disinteraksi antara kaum perempuan dan kaum lelaki karena dibatasi hijab. Awalnya, beliau menganggap tradisi ini memiliki nilai-nilai positif. Namun pada buku Tahrîr al-Mar'ah ini, Qasim Amien malah mengkritik tradisi hijab ini dan meminta tradisi tersebut “ditinggalkan” karena tidak ada lagi kemaslahatan di sana. Pendapat ini dipertegas dan diperkuat dengan karyanya yang ketiga, al-Mar'ah al-Jadîdah, (Perempuan Modern) sebagai “terminal akhir” dari pikiran-pikirannya.

Kita bisa bertanya-tanya, dalam tempo yang relatif singkat (lima tahun), Qasim Amien merubah cara pandangnya secara frontal. Apa sebab-sebab yang melatar belakangi ini semua? Benarkan ini pemikiran orisinil Qasim Amien? Kalau kita lihat latar belakang lahirnya buku yang pertama itu, adalah refleksi dari pembelaan diri ketika masyarakatnya “ditelajangi” orang lain, dengan serta merta Qasim Amien melakukan pembelaan diri dan bisa dikatakan berapologi. Kala itu ia sangat subjektif, egois, “grusa-grusu” dan tanpa melakukan introspeksi. Jadi, dengan kata lain, pemikirannya dalam Mashriyyûn ini belum bisa dikatakan orisinil, karena terlahir dari tuntutan-tuntutan psikologis yang mendesak.

Sedangkan nafas-nafas pembaruan dalam karyanya yang kedua, Tahrîr Al-Mar'ah, beliau lebih menekankan pada sisi reinterpretasi syariat agama Islam yang menjadi sebab subordinasi kaum lelaki terhadap kaum perempuan. Padahal, Qasim bukanlah seorang pemerhati, pakar agama dan ahli syariat. Apakah dalam waktu yang relatif singkat itu, beliau benar-benar mendalami syariat Islam dengan membaca buku-buku referensi utama (ummahât al-kutb) yang berjilid-jilid sehingga dapat menerbitkan karya sehebat itu? Adakah indikasi terjadi plagiasi dalam karya-karya ini?

Menurut Muhammad ‘Imarah, Muhammad ‘Abduh—sebagai guru dan sparing partner Qasim— memiliki kontribusi dalam penulisan karya ini, karena pemikiran dan pembaruan yang menjadi subtansi buku ini sejalan nafas-nafas pembaruan yang dihembuskan Muhammad ‘Abduh. Buku Tahrîr Al-Mar'ah ini bukan seratus persen buah pemikiran Qasim Amien, namun bisa dikatakan karya berdua bersama Muhammad Abduh. Seperti yang dijelaskan buku Tahrîr Al-Mar'ah ini mengandung dua dimensi; agama dan sosial. Muhammad Abduh menulis separo isi buku ini yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan, sedangkan Qasim Amien menulis dimensi sosial budaya yang menjadi keahliannya.[18]

 

Penutup

Dua karya besar yang menjadi magnum opus Qasim Amin adalah Tahrîr al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadîdah. Dalam Tahrîr al-Mar’ah (Pembebasan Perempuan) Qasim lebih menekankan pada ide-ide pembebasan perempuan dari belenggu diskriminasi dan kungkungan subordinasi. Qasim mencoba membuka “kran-kran” penyumbat kemajuan ummat dengan menghilangkan tradisi subordinasi kaum lelaki. Dan metode yang digunakannya pun lebih menitikberatkan pada reinterpretasi al-Quran dan Hadist yang seakan selalu melegitimasi adanya sistem patriarkhi dalam masyarakat.

Sedangkan dalam al-Mar’ah al-Jadîdah (Perempuan Modern) Qasim mengembangkan dan memperkuat ide-ide pokok dalam karya sebelumnya. Ketika kaum perempuan telah sedikit banyak tercerahkan dengan ide-ide pembebasan (liberalisasi), maka Qasim Amien memulai memperjuangkan pemberdayaan perempuan. Di sini Qasim terlihat sangat getol menyerukan urgensi pendidikan kaum perempuan. Menurutnya, perempuan harus bisa bersikap mandiri sepenuhnya tanpa harus ada ketergantungan pada kaum laki-laki. Dari dua karya Qasim Amien ini, kita menemukan relefansi pemikiran-pemikirannya, dari pembebasan perempuan melalui kritik tradisi sosial agama dan budaya, menuju perempuan modern yang “berdaya” dan tidak bisa “dipercaya”. Pemikiran Qasim Amien yang pertama masih berbau teks-teks agama, maka pada karya kedua, Qasim Amien ingin merekonstruksi sosial, setelah mendekonstruksinya.

Namun, di zaman modern ini, model-model usaha Qasim Amien kelihatannya sudah tidak begitu menemukan relevansinya lagi, sebab bagi kita yang hidup pada era globalisasi ini, pembebasan perempuan dari “penjara” rumah dan perjuangan kaum perempuan untuk menikmati pendidikan bukalah hal yang sulit untuk didapat. Di segala lini kehidupan, perempuan sudah mulai diperhitungkan. Artinya, diskriminasi kaum perempuan dan subordinasi kaum lelaki yang mencolok dan dirasakan oleh masyarakat semasa hidup Qasim Amin, saat ini sudah berangsur-angsur punah. Walaupun tidak menutup kemungkinan kita masih menjumpai tradisi-tradisi tersebut dalam kehidupan sosial. Nah, agenda yang mungkin masih relevan saat ini adalah “pemberdayaan kaum perempuan” bukan lagi “pembebasan kaum perempuan” seperti perjuangan Qasim Amien dan tokoh-tokoh feminis yang lain pada zamannya.

Jadi, yang bisa kita ambil dari ide-ide pembaruan Qasim Amien bukanlah model-model materialistis usahanya, namun spirit pembaruan dan pencerahan masyarakat yang senantiasa diperjuangkannya. Kita harus bisa menghidupkan kembali ruh perjuangan itu sesuai dengan konteks yang ada.  Semoga semangat dan jasa-jasa Qasim Amien dalam ijtihad dan perjuangannya dalam merekonstruksi masyarakat selalu menjadi tauladan bagi generasi selanjutnya. Wa’l lahu a‘lam bi Al-Shawâb [www.islamlib.com]

 

 

BUKU TAMU

 

 

ARTIKEL

New Page 1

New Page 1

DISKUSI INTERAKTIF

 

 v Alquran versi revisi?
 v Alquran tidak otentik?
 v Benarkan Tuhan itu ada?

TOKOH KONTEMPORER

 

 v  Qasim Amin
 v  Fazlurrahman
 v  Hassan Hanafi
 v  Fetima Mernissi
 v  Yusuf al-Qardhawi
 v  Mohammed Arkoun

 

Anda Pengunjung ke:

Free Hit Counter

òòSejak 2001

 

 Webmaster Iskandar Z Copyright 2007