a.
Muqaddimah
Mesir adalah
salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang
sangat kaya dengan khazanah keislaman. Semenjak
Islam masuk ke sana dan Amr bin ‘Ash menjadi
gubernur pertama di bawah Khalifah Umar Ibn
al-Khattab, di negeri ini telah muncul para
pemikir muslim dan pembaharu yang sangat
brilian. Pada zaman Islam klasik, kita
mengetahui bahwa salah seorang imam madzhab
Islam terbesar, Muhammad bin Idris al-Syafi’i
atau yang dikenal dengan Imam Syafi’i, hampir
separuh usianya beliau habiskan di Mesir. Pada
tataran militer, negeri ini pernah dijadikan
markas besar oleh mujâhid besar,
Shalahuddin al-Ayyubi yang membebaskan al-Quds
dari tangan kaum Nashrani.
Pada abad ke-19,
kita mendengar tokoh pembaharu seperti
Jamaluddin al-Afghani (meskipun bukan kelahiran
Mesir) (1838-1897 M), yang bersama-sama dengan
Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905 M) menerbitkan
majalah al-‘Urwah al-Wutsqâ di Paris.
Afghani adalah seorang pembaharu yang berusaha
keras membela dunia Islam dan membebaskan mereka
dari genggaman para penjajah dan terkenal dengan
ide pan Islamismenya (al-Jâmi’ah
al-Islâmiyah). Adapun Muhammad Abduh adalah
seorang ulama yang berusaha keras melakukan
pembaharuan dan mendialogkan ajaran Islam
(terutama syarî’ah) dengan realitas
masyarakat yang dihadapinya. Begitu pula
muridnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
(1865-1935 M), yang meneruskan tafsir
al-Mannâr karya Muhammad Abduh dan
menerbitkan majalah al-Mannâr. Kemudian
disusul ulama-ulama Al-Azhar lainnya yang tidak
mungkin kami sebutkan satu persatu. Tentu saja
rentang waktu antara Imam Syafi’i dengan
Jamaluddin al-Afghani tersebut, di Mesir telah
banyak pemikir besar lainnya yang
muncul.
Pada wacana
pemikiran kaum intelektual muslim Mesir ini,
sekitar awal abad ke-14 Hijriyah atau abad ke-19
Masehi, terjadi polemik besar antara kaum
pembaharu dan kaum tradisional. Di satu sisi,
kaum pembaharu berusaha keras agar dapat
menghadapkan dan membawa Islam kepada
persoalan-persoalan kontemporer yang tidak
pernah muncul pada zaman klasik, sedangkan di
sisi lain kaum tradisionalis sama sekali menolak
ide pembaharuan tersebut dan mereka menangkapnya
dengan penuh kecurigaan bahkan mereka menganggap
bahwa ide pembaharuan hanyalah merupakan sebuah
ide besar berbau Barat yang akan menghancurkan
prinsip-prinsip ajaran Islam, padahal bagi para
pembaharu, upaya tajdid ini adalah sebuah
keniscayaan (necessity), karena tanpanya,
Islam tidak akan dapat menyentuh
persoalan-persoalan baru. Akan tetapi,
pembaharuan yang dilakukan harus tetap
memperhatikan prinsip-prinsip pokok Islam yang
tidak dapat berubah (tsawâbit). Tentu saja arah
berlawanan ini menimbulkan polemik besar dan
berkepanjangan. Akan tetapi, akhirnya polemik
tersebut mulai menjinak dengan munculnya
beberapa pemikir baru Mesir pada awal abad ke-20
yang di antaranya adalah Syaikh Muhammad
al-Ghazali dan Dr. Yusuf Qardhawi. Syaikh
Muhammad al-Ghazali adalah ulama yang
merepresentasikan kaum pembaharu, sedangkan
Syaikh Qardhawi adalah reprsentasi kaum
tradisonal. Dengan hadirnya dua orang ulama ini,
kubu pembaharu dan tradisional mulai
saling berdialog dan mendekati, sehingga
kemunculan dua orang tokoh tersebut (meminjam
istilah Thariq al-Busyra) seperti dua buah
lautan yang bertemu pada sebuah muara
(multaqâ al-Bahrain), yaitu lautan para
pembaharu dan lautan kaum tradisional, yang
kemudian dua laut itu menjadi satu arus. Dengan
demikian, dari kolaborasi ‘cantik’ antara dua
pemikir ini, kita menemukan seorang pembaharu
yang memiliki ruh tradisional dan pembela
prinsip-prinsip Islam (ushűl); dan
seorang tradisionalis yang memiliki jiwa
pembaharu yang menggunakan tajdid sebagai jalan
untuk mempertahankan eksistensi dan ushűl
Islam. Dengan
demikian, gaya pemikiran Islam seperti ini, akan
dapat menjadikan Islam lebih dapat berdialog dan
harmonis dengan zaman, tetapi ia tidak
kehilangan kemurniannya.
Dua orang ulama
ini adalah alumni Universitas Al-Azhar Mesir.
Mereka sering sekali mendialogkan pemikirannya
secara terbuka. Salah satunya adalah ketika
Syaikh Muhammad al-Ghazali menulis sebuah buku
yang berisi rekontruksi standar keshahihan
hadits berdasarkan makna (matan) dan
tidak hanya mendasarkannya kepada kredibilitas
para perawi (sanad) seperti yang
dilakuakn oleh para ulama klasik. Buku tersebut
berjudul: al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl
al-Fiqh wa Ahl al-Hadîs. Kemudian Syaikh
Qardhawi berusaha mengkritik metodologi Syaikh
al-Ghazali ini dengan metodolgi klasik yang
sangat dikuaisainya. Buku tersebut berjudul
Kaifa na ta’âmal ma’a al-Sunnah
al-Nabawiyah (Bagaimanakah seharusnya
memperlakukan Sunnah Nabawiyah). Kedua buku
tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia. Kedua tokoh ini adalah dua orang
ulama yang memiliki kedekatan secara personal
dan pernah bersama-sama menjadi penghuni penjara
Thűr, bahkan Qardhawi menulis buku yang secara
khusus menceritakan kedekatannya dengan Syaikh
Muhammad al-Ghazali yang berjudul: al-Syaikh
al-Ghazâlî Kamâ Araftuhu: Rihlah Nishf
Qarn. Saat ini, setelah Syaikh
Muhammad al-Ghazali meninggal dunia (bulan Maret
tahun 1996), Syaikh Qardhawi
terus berjuang dan berkarya untuk kebangkitan
umat.
Tentu saja
ruang sempit untuk pengantar buku ini bukan
tempatnya untuk memaparkan perjalanan dan jasa
mereka terhadap Islam. Kami hanya akan menulis
sebagian kecil kontribusi yang telah diberikan
Qardhawi, salah seorang ulama yang masih hidup
dan berusaha keras meneruskan cita-cita para
pendahulunya tersebut terhadap Islam.
b.
Masa Kecil
Syaikh Qardhawi
Syaikh Yusuf
Qardhawi (selanjutnya ditulis: Qardhawi) yang
semenjak duduk di tingkat keempat Ibtida’iyah
selalu dijuluki ‘Yâ Allâmah’ atau
syaikh oleh para gurunya, beliau
dilahirkan di sebuah kampung kecil yang bernama
Shaft Turab. Ia adalah salah satu perkampungan
asri Mesir yang terdapat di Provinsi Gharbiyah,
dengan ibu kotanya Thantha. Dari Kairo, kampung
tesebut berjarak sekitar 150 kilo meter atau
untuk menempuhnya membutuhkan waktu
sekitar 3-4 jam. Tepatnya ia dilahirkan
pada tanggal 09 September 1926 dari pasangan
suami istri yang sangat sederhana tetapi taat
beagama. Ia tidak berkesempatan mengenal ayah
kandungnya dengan baik, karena tepat usianya
baru mencapai dua tahun, ayah yang dicintainya
telah dipanggil sang Khâliq, pemilik
kehidupan dan kematian. Setelah ayah
kandungnya meninggal dunia, ia diasuh dan
dibesarkan oleh ibu kandung, kakek dan pamannya.
Akan tetapi pada saat ia duduk di tahun keempat
Ibtida’iyah Al-Azhar, ibunya pun dipanggil yang
maha kuasa. Beruntung, ibu yang dicintainya
masih sempat menyaksikan putra tunggalnya ini
hafal seluruh al-Quran dengan bacaan yang sangat
fasih, karena pada usia sembilan tahun sepuluh
bulan, ia telah hafal al-Qu’ran di bawah
bimbingan seorang kutâb yang bernama
Syaikh Hamid. Setelah ayah, Ibu dan kakeknya
meninggal dunia, ia diasuh dan dibimbing oleh
pamannya. Pendidikan formalnya dimulai pada
salah satu lembaga pendidikan Al-Azhar yang
dekat dengan kampungnya, yang hanya menerima
calon siswanya yang sudah hafal al-Quran. Di
lembaga pendidikan inilah Qardhawi kecil mulai
bergelut dengan kedalaman khazanah Islam di
bawah bimbingan para gurunya. Selain itu, dalam
rentang waktu Ibtida’iyah sampai Tsanawiyah yang
diseleaikannya di Al-Azhar, ia mengalami
berbagai peristiwa yang kelak sangat
mempengaruhi jalan hidupnya.
Salah satu
peristiwa istimewa yang dialaminya di tingkat
Ibtida’iyah adalah pada saat pertama kali ia
mendengarkan ceramah Ustdaz al-Bana. Ketika
mendengarkan ceramahnya, intuisi Qardhawi kecil
mulai dapat merasakan kehadiran seorang
laki-laki ‘alim yang telah menggadaikan
seluruh kehidupannya hanya untuk kepentingan
Islam dan umatnya. Saat itu, Qardhawi kecil yang
pernah bercita-cita untuk menjadi Syaikh
Al-Azhar, dapat menangkap seluruh isi ceramah
yang disampaikan Syaikh al-Bana tanpa terlewat
satu bagian pun. Ia pun mulai memiliki kesadaran
dan pemahaman akan pentingnya dakwah yang
dilakukan secara berjama’ah; maka untuk upaya
inilah ia mulai bergabung bersama Ikhwan
al-Muslimin.
Pada masa
kecilnya, di dalam jiwa Qardhawi terdapat dua
orang ulama yang paling banyak memberikan warna
dalam hidupnya, yaitu Syaikh Al-Battah (salah
seorang ulama alumni Al-Azhar di kampungnya) dan
Ustadz Hasan al-Bana. Bagi Qardhawi, Syaikh
al-Battah adalah orang yang pertama kali
mengenalkannya kepada dunia fikih, terutama
madzhab Maliki, sekaligus membawanya ke
Al-Azhar. Sedangkan Syaikh al-Bana adalah orang
yang telah mengajarkannya cara hidup berjamaah,
terutama dalam melaksanakan tugas-tugas
berdakwah. Mengenai pengaruh al-Bana dalam dunia
pemikiran dan spiritualnya, beliau pernah
mengatakan: “Di antara orang-orang yang paling
banyak memberikan pengaruh besar dalam dunia
pemikiran dan spiritual kami adalah Syaikh
al-Syâhid al-Bana.”
c.
Proyek dan
Kontribusi Qardhawi
Dari sekitar
tujuh puluh enam tahun perjalanan hidup Syaikh
Qardhawi (sampai tahun 2002), minimal ada dua
hal yang menjadi main stream aktivitas
hidupnya. Pertama adalah aktivitasnya sebagai
seorang intelektual dalam bidang fikih
(faqih) dan kedua adalah aktivitasnya
yang sangat signifikan dalam shahwah dan harakah
Islamiyah. Bagi Qardhawi, ilmu yang diraihnya di
Al-Azhar adalah bekalnya dalam menggali khazanah
Islam, sedangkan yang didapatkannya di lapangan
bersama Ikhwan adalah bekal utamanya dalam
menjalani dunia pergeraklan Islam (harakah)
dan shahwahIslamiyah.
Kita akan
mencoba melihat dua proyek besar yang terus
menerus digarap oleh Qardhawi dalam rangka
mengabdikan diri untuk kepentingan
umat.
a.
Sebagai
Seorang Faqih
Seperti telah
disebutkan di atas, bahwa Mesir adalah salah
satu negara di kawasan Timur Tengah yang sangat
kaya dengan khazanah intelektual Islam. Di
kawasan yang pernah disinggahi beberapa orang
nabi ini, hampir semua aliran pemikiran dan
madzhab keagamaan dapat kita temukan, baik
madzhab fikih, kalam maupun tasawuf. Dalam dunia
fikih, di negeri ini hampir seluruh madzhab
besar (terutama empat madzhab Sunni), tetap
hidup dan berkembang. Tidak heran jika di sana
ada beberapa daerah yang dikenal sebagai kawasan
madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah ataupun
Hanbaliyah. Walaupun demikian,
madzhab Imam Syafi’i adalah madzhab yang dianut
oleh mayoritas masyarakat Mesir, terutama di
perkampungan. Secara historis, hal tersebut
disebabkan karena Imam Syafi’i pernah tinggal
lama di Mesir (sampai meninggal dunia) dan di
negeri ini pula beliau melahirkan qaul
jadid, yaitu pendapat-pendapat yang sangat
berbeda dengan yang pernah difatwakannya semasa
di Irak (qaul
qadîm).
Dalam dunia
tasawuf, sampai saat ini di Mesir masih tumbuh
subur berpuluh-puluh tarikat sufi yang di
antaranya adalah Ahmadiyah (bukan Ahmadiyah
Mirza Ghulam Ahmad), Naqsyabandiyah,
Syadziliyah, Rifa’iyah, Burhamiyah, ditambah
puluhan tarikat lainnya yang merupakan cabang
dari lima tarikat besar tersebut. Tentu saja
tumbuh subur dan terjaganya khazanah Islam di
Mesir ini tidak dapat dilepaskan dari peranan
Al-Azhar yang merupakan pemilik otoritas
keagamaan bagi seluruh masyarakat Mesir dan selalu membela ajaran
Islam di garis paling depan.
Di kampung
halaman tempat lahir dan dibesarkannya Qardhawi
sendiri, terdapat beberapa madzhab fikih dan
aliran-aliran tarikat yang dianut masyarakat
secara turun temurun. Tradisi ketaatan mereka
terhadap madzhab tertentu secara ekstrim, telah
menyebabkan mereka hidup statis dan monoton yang
sering sekali berubah menjadi sikap fanatik yang
tidak dapat dibenarkan oleh Islam, sehingga
dalam beribadah, mereka tidak lagi mengikuti
al-Quran dan Sunnah atau qaul yang
argumentatif dan dapat dipertangungjawabakan.
Hal tersebut disebabkan karena kepatuhan mereka
adalah semata-mata merupakan kepatuhan terhadap
indifidu dan bukan pada kekuatan hujjah
yang digunakan.
Kondisi
inilah yang membesarkan Qardhawi. Akan
tetapi ia masih sangat beruntung, karena
meskipun hidup di tengah-tengah masyarakat yang
madzhab centris, ia masih dapat
‘tercerahkan’ dan memiliki arus berbeda dengan
masyarakat di sekitarnya. Tentu saja sikap
Qardhawi ini tidak dapat dilepaskan dari peranan
dan bantuan para gurunya. Semenjak duduk di
tingkat Tsanawiyah, Qardhawi telah banyak
belajar agar dapat hidup berdampingan dengan
mereka yang memiliki pandangan berbeda. Pada
tingkat ini pulalah ia mulai belajar untuk
mengikuti hujjah dan bukan mengikuti
figur, karena ia mengetahui (sesuai perkataan
Imam Malik), bahwa semua orang memiliki
kesempatan yang sama untuk mendapatkan
kebenaran, meskipun pada perjalanannya, secara
tidak disengaja ia melakukan kesalahan. Semua
orang (meskipun seorang ulama besar atau
imam madzhab), pendapatnya dapat diterima
ataupun ditolak, kecuali Rasulullah saw. Oleh
sebab itu, semenjak duduk di tingkat Ibtidaiyah,
jika ia mendapatkan gurunya tidak memiliki
argumen yang jelas dari al-Quran dan sunnah, ia
tidak segan-segan mengkritik dan membantah
pendapat gurunya. Melihat sikap kritis Qardhawi
kecil ini, ada gurunya yang sangat bangga tetapi
ada pula yang merasa ‘jengkel’, sehingga ia
pernah diusir dari kelas karenanya.
Sikap seperti
ini, semenjak dini telah dibuktikan oleh
Qardhawi di tengah-tengah masyarakat, yaitu pada
saat ia diminta untuk mengajar ilmu-ilmu agama
di sebuah masjid jami’ kampungnya. Saat itu, ia
mengajarkan ilmu fikih tetapi yang diajarkannya
bukanlah qaul-qaul madzhab Syafi’i yang
dianut oleh mayoritas penduduk. Ia mengajarkan
fikih langsung dari sumber utamanya, yaitu
al-Qur’an dan Sunnah shahihah ditambah dengan
fatwa para sahabat. Ia sendiri mengakui bahwa
metode pengajaran yang diterapkannya ini
diambilnya dari metode yang digunakan oleh
Sayyid Sabiq dalam Fiqh
Sunnahnya.
Tentu saja
upaya-upaya Qardhawi tersebut mendapatkan
penentangan yang sangat kuat dari masyarakat
yang selama ini hanya hidup dalam Syafi’iyah
cyrcle. Resistensi masyarakat dan para ulama
tua di kampungnya ini mencapai puncaknya dengan
sebuah ‘pengadilan’ yang mereka adakan secara
khusus untuk meminta pertanggungjawaban
Qardhawi. ‘Pengadilan’ tersebut akhirnya berubah
bentuk menjadi sebuah forum polemik seru antara
Qardhawi muda dengan para ulama madzhab di
kampungnya. Pada perdebatan tersebut, ia
berhasil meyakinkan para ulama dan
masyarakatnya, bahwa ia bukanlah orang yang
membenci madzhab, bahkan ia adalah salah
seorang pengagum para imam madzhab dengan
kelebihan dan kekurangan mereka
masing-masing. Ia menganjurkan seandainya
kita akan mengambil sebuah qaul dari
madzhab tertentu, maka ia harus diambil langsung
dari qaul pendirinya yang ditulis dalam
buku induknya (seperti al-Um bagi
madzhab Syafi’i), karena jika suatu madzhab
semakin dekat kepada sumber-sumber utamanya,
maka pengikutnya akan semakin toleran, tetapi
jika mereka semakin jauh dari sumber aslinya,
justru inilah yang selalu menimbulkan fanatisme
buta, meskipun mereka mengetahui bahwa pendapat
tersebut tidak memiliki hujjah yang
kuat. Selain itu, sikap toleran
yang dimilikinya didapatkan pula dari Ikhwan al-
Muslimin, sebuah pergerakan Islam yang membina
umat dari berbagai segmen, sehingga ia banyak
belajar berbaur dengan mereka yang memiliki
faham berbeda memiliki latar belakang pendidikan
berbeda.
Sikapnya dalam
memperlakukan fikih tersebut berlanjut sampai
masa tua. Oleh sebab itu, tidak heran jika pada
saat ia mulai mencapai kematangan dalam dunia
fikih, ia memilih metode fikihnya dengan
semangat moderasi (wasathiyah), toleransi
(tasâmuh), lintas madzhab dan selalu
menghendaki kemudahan bagi umat (taisîr),
serta mengakses penggalian hukum secara langsung
dari sumbernya yang asli, yaitu al-Quran dan
sunnah shahihah. Dengan metode inilah Qardhawi
menjelajahi dunia fikih, dari tema-tema yang
paling kecil seperti masalah lalat yang hingap
pada air, sampai masalah yang paling besar
seperti ‘Bagaimanakah Islam menata sebuah
negara’?, atau dari tema yang paling klasik
seperti masalah thahârah, sampai yang
paling kontemporer seperti masalah demokrasi,
HAM, peranan wanita dalam masyarakat dan
pluralisme (ta’addudiyah).
Di dalam ijtihad
fikihnya, Qardhawi telah berhasil membuat sebuah
formulasi baru dalam memperlakukan fikih,
terutama ketika ia berhadapan dengan
persoalan-persoalan kontemporer. Di antara
formula yang dibangunnya adalah mengenai
perlunya dibangun sebuah fikih baru (fiqh
jadîd) yang akan dapat membantu
menyelesaikan persoalan-persoalan baru umat.
Walaupun demikian, yang dimaksudnya dengan
‘fikih’, tidak hanya terbatas pada
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
hukum-hukum juz’i yang diambil dari
dalil-dalil terperinci (tafshîlî) seperti
persoalan-persoalan thaharah, shalat, zakat dan
lain sebagainya, bukan pula hanya merupakan
sebuah sistem ilmu dalam Islam. Lebih dari itu,
seraya mengutip al-Ghazali, yang dimaksudnya
dengan kata ‘fikih’ adalah merupakan
sebuah pemahaman yang komprehensif terhadap
Islam, yaitu al-Fiqh (fikih) sebagai
al-Fahm (pemahaman). Adapun fikih baru yang
berusaha dibangunnya antara lain adalah sebuah
fikih terdiri dari:
1.
Keseimbangan (fiqh al-Muwâzanah).
Yang dimaksudnya dengan fikih keseimbangan
(muwâzanah) adalah sebuah metode
yang dilakukan dalam mengambil keputusan hukum,
pada saat terjadinya pertentangan dilematis
antara maslahat dan mafsadat atau
antara kebaikan dan keburukan, karena
menurutnya, di zaman kita sekarang ini sudah
sangat sulit mencari sesuatu yang halal seratus
persen atau yang haram seratus
persen. Menurutnya, dengan
menggunakan sistem fikih seperti ini, kita akan
dapat memahami: Pada kondisi seperti apakah
sebuah kemudaratan kecil boleh dilakuakan untuk
mendapatkan kemaslahan yang lebih besar, atau
kerusakan temporer yang boleh dilakukan untuk
mempertahankan kemaslahatan yang kekal, bahkan
kerusakan yang besar pun dapat dipertahankan
jika dengan menghilangkannya akan menimbulkan
kerusakan yang lebih besar.
2.
Fikih
realitas (Fiqh Wâqi’î). Yang
dimaksudkannya dengan fikih wâqi’î adalah
sebuah metode yang digunakan untuk memahami
realitas dan persoalan-persoalan yang muncul di
hadapan kita, sehingga kita dapat menerapkan
hukum sesuai dengan tuntutan
zaman.
3.
Fikih
prioritas (Fiqh al-Aulawiyât). Yang
dimaksudnya dengan fikih prioritas adalah sebuah
metode untuk menyusun sebuah sistem dalam
menilai sebuah pekerjaan, mana yang seharusnya
didahulukan atau diakhirkan. Salah satunya
adalah bagimana mendahulukan ushűl dari
furű’, mendahulukan ikatan Islam dari
ikatan yang lainnya, ilmu pengethuan sebelum
beramal, kualitas dari kuantitas, agama dari
jiwa serta mendahulukan tarbiyah sebelum
berjihad.
4.
Fiqh al-Maqâshid al-Syarî’ah,
yaitu sebuah fikih
yang dibangun atas dasar tujuan ditetapkannya
sebuh hukum. Pada teknisnya, metode ini
ditujukan bagaimana memahami nash-nash syar’i
yang juz’î dalam konteks maqâshid
al-Syarî’ah dan mengikatkan sebuah hukum
dengan tujuan utama ditetapkannya hukum
tersebut, yaitu melindungi kemaslahatan bagi
seluruh manusia, baik dunia maupun
akhirat. Ia mengutip Ibn Qayyim
yang mengatakan, bahwa prisip utama yang menjadi
dasar ditetapkannya syari’ah adalah kemaslahatan
dan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Oleh
karena itu, maka seluruh kandungan syari’ah
selalu berisi keadilan, kasih sayang Tuhan dan
hikmah-Nya yang mendalam. Dengan demikian,
segala sesuatu yang di dalamnya mengandung
kelaliman, kekejian, kerusakan dan
ketidakbergunaan, maka pasti ia bukanlah
syari’ah.
5.
Fikih
perubahan (Fiqh al-Tagyîr). Ia adalah
sebuah metode untuk melakukan perubahan terhadap
tatanan masyarakat yang tidak Islami dan
mendorong masyarakat untuk melakuakn perubahan
tersebut.
Selain itu,
kontribusi lain yang diberikan Qardhawi dalam
bidang fikih adalah bagaimana mencairkan
kejumudan umat Islam dalam menghadapi zaman.
Menurutnya, salah satu penyebab kejumudan
tersebut adalah berhentinya kreativitas umat
dalam berijtihad yang merupakan dapur utama
kemajuan mereka. Dari masa ke masa, persoalan
umat selau berkembang, terutama setelah
terjadinya inovasi-inovasi baru dalam
bidang sains dan teknologi, sementara seperti
kita fahami bersama, jumlah ayat al-Quran dan
hadits nabi, sampai kiamat mustahil akan
bertambah. Oleh sebab itu, tidak ada cara lain
untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut
kecuali melalui jalan ijtihad yang didasarkan
pada prinsip-prinsip utama ajaran
Islam.
Menurutnya,
melakukan ijtihad adalah merupakan sebuah
kewajiban agama kolektif (fardlu kifâyah),
artinya pada setiap zaman harus ada
seseorang yang mampu dan mau melakukannya,
bahkan bagi mereka yang sudah mencapai kemampuan
untuk melakukanya, ijtihad adalah merupakan
sebuah kewjiban indifidual (fardhu
‘ain). Meskipun
demikian, menurut Qardhawi, dalam melakukan
ijtihad kontemporer, terdapat beberapa kode etik
ijtihad yang harus menjadi acuan utama para
mujtahid, baik yang berhubungan dengan para
mujtahid (sebagai subjek) maupun yang
berhubungan dengan tema persoalan (objek).
Kode etik yang berkenaan dengan para mujtahid
antara lain:
-
Dalam melakukan
ijtihad, hendaknya seseorang telah memiliki
perangkat-perangkat utama yang diperlukan dalam
berijtihad. Perangkat-perangkat tersebut
antara lain: harus memahami bahasa Arab,
memiliki pengetahuan yang memadai mengenai
al-Quran dan sunnah, ushul fikih serta memiliki
keahlian dalam beristidlal. Syarat lain yang
tidak kalah penting adalah agar seorang mujtahid
benar-benar memahami kondisi zamannya, sehingga
ia dapat menetapkan sebuah hukum yang
sesuai dengan tuntutan zamannya. Dengan
demikian, maka seorang mujtahid tidak akan
menjadi masyarakat elit yang berada di menara
gading, dan keputusan hukum yang diambilnya jauh
dari realitas umat, dengan istilah lain mujtahid
fî wâdin dan realitas umat fî wâdin
âkhar. Artinya, dalam menentukan hukum, ia
tidak akan memandang sebuah kasus hanya sebagai
kasus yang berdiri sendiri tanpa melihat latar
belakang dan faktor-faktor penyebabnya. Ia
mencontohkan hal ini dengan ijtihad Ibn
Taimiyah. Pada saat Ibn Taimiyah bersama
beberapa orang muridnya melewati barak tentara
Tatar, beliau mendapatkan mereka sedang pesta
mabuk. Tentu saja para murid Ibn Taimiyah tidak
dapat menerima kenyataan ini. Akan tetapi kepada
para muridnya Ibn Taimiyah berkata: “Biarkan
saja mereka tenggelam dalam mabuk dan khamar.
Allah telah mengharamkannya karena ia dapat
menghalangi seseorang dari dzikir dan shalat,
tetapi saat ini kita lihat khamar telah
menghalangi mereka dari melakukan pembunuhan dan
peperangan”.
-
Dalam melakukan
ijtihad, hendaklah seorang mujtahid selalu
independen dan tidak berada di bawah tekanan
pihak manapun.
Memang kode etik
ijtihad tersebut sangat ideal dan menjadi
kriteria untama untuk seorang mujtahid
muthlak. Akan tetapi pada prakteknya,
semua orang dapat melakuakn ijtihad dalam bidang
tertentu yang menjadi spesialisasinya atau yang
disebut dengan al-Mujtahid
al-Juz’î, yaitu seseorang yang hanya
berijtihad pada beberapa persoalan yang menjadi
spesialisasinya saja.
Adapun kode etik
yang berhubungan dengan objek ijtihad adalah
sebagai berikut:
-
Hendaknya
ijtihad yang dilakukan hanya pada
wilayah-wilayah yang dzannî, baik
dzannî dilâlah maupun dzannî
al-Tsubît. Dengan demikian kita tidak
diperkenankan untuk berijtihad pada
persoalan-persoalan yang qathî, karena
persoalan yang didasarkan pada dalil
qath’i, bukan merupakan wilayah
ijtihad.
-
Ijtihad dapat
dilakukan baik dalam tema-tema yang benar-benar
baru (ijtihâd insyâ’î) maupun dalam
memilih pendapat yang argumennya paling kuat,
paling sesuai dengan Maqâshid al-Syarî’ah
dan paling maslahat bagi umat.
b.
Dalam
Dunia Dakwah (Harakah Dan Shahwah
Islamiyah)
Selain sebagai
seorang penulis dan pemikir produktif, Qardhawi
aktif pula dalam dunia dakwah (harakah dan
shahwah Islamiyah). Yang dimaksud dengan
shahwah adalah sebuah upaya untuk
membangkitkan umat dari keterlenaan,
keterbelakangan, kejumudan dan melepaskan mereka
dari konflik internal melalui berbagai wujud
usaha dengan tujuan memperbaharui agama,
sehingga dapat memperbaharui kehidupan dunia
mereka. Pada tataran teknis,
cita-cita shahwah tersebut berusaha diwujudkan
dalam sebuah aktivitas harakah. Ia menyadari
bahwa untuk mencapai tujuan tersebut, tidak
dapat dilakukan secara individual, tetapi ia
membutuhkan sebuah kerja massal (‘amal
jamâ’i) yang tersusun dan terprogram
secara rapi. Oleh karena hal inilah maka
semenjak duduk di tingkat Tsanawiyah, Qardhawi
telah memulai tugas berdakwah dengan bergabung
bersama Ikhwan dan semenjak awal, ia telah
dipersiapkan agar menjadi salah seorang kader
terbaik mereka. Salah satunya adalah pada saat
ia ditunjuk untuk menjadi da’i Ikhwan untuk
seluruh Mesir, dari Provinsi Alexandria
(Iskandariyah) sampai Aswan dan Sinai, bahkan ia
pernah ditugaskan berdakwah di beberapa negara
Arab seperti Suria, Libanon dan Yordania, dengan
dana yang didapatkannya dari Ustadz Hasan
al-Hudhaibi, Mursyid ‘âm Ikhwan yang
kedua, padahal saat itu ia masih berstatus
sebagai seorang mahasiswa.
Selain menjadi
aktivis di lapangan, Qardhawi juga adalah
merupakan salah seorang pemikir yang ide-idenya
banyak dijadikan sebagai referensi oleh para
aktivis harakah. Menurutnya, yang dimaksud
dengan harakah adalah sebuah pekerjaan
yang dilakukan secara kolektif dan dimulai dari
masyarakat paling bawah (bottom up) dan
terorganisir secara rapih dalam upaya
mengembalikan masyarakat kepada ajaran
Islam. Menurut
Qardhawi, tujuan utama yang harus direalisasikan
oleh sebuah harakah Islamiyah adalah
bagaimana mewujudkan sebuah pembaharuan
(tajdîd). Melakukan tajdîd adalah
merupakan sebuah sunnatullah yang akan terus
berulang. Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis
riwayat Abu Dawud dan al-Hakim: “Sesunggunya
pada setiap seratus tahun, Allah akan mengutus
untuk umat ini, orang yang memperbaharui
agamanya”. Yang dimaksudkannya dengan
pembaharuan (tajdid) adalah sebuah upaya
untuk memperbaharui pemahaman keagamaan,
keimanan, sikap iltizam kepada
agama serta memperbaharui metode dakwah yang
digunakan. Ia bukanlah sebuah usaha untuk
membuat aturan baru dalam agama dengan merubah
prinsip-prinsip baku (tsawabit) atau
merusak tatanan ajaran yang
qath’i. Adapun bidang-bidang yang
harus diprioritaskan dalam memncapai tujuan
tersbeut antara lain adalah: pendidikan
(tarbiyah), pekerjaan politik
(siyâsah), ekonomi (iqtishâdiyah),
sosial (ijtimâ’iyah), media massa
(wasâ’il al-‘Ilâm) dan pekerjaan
ilmiah.
Kontribusi
Qardahawi dalam dunia dakwah tersebut, sangat
kental dengan warna Hasan al-Bana. Dalam hal ini
kita dapat mengatakan, jika Ustadz al-Bana
adalah merupakan pendiri (mu’assis) dan
disigner harakah Ikhwan, kemudian
diteruskan oleh para mursyid ‘âm lainnya,
maka kemunculan Qardhawi dalam harakah ini
adalah sebagai penyambung lidah dan
penerus cita-cita al-Bana. Kita mengetahui
bersama bahwa perjuangan al-Bana dalam
membesarkan harakah tersebut telah sampai pada
tahap pembentukan sebuah harakah yang
terorganisir. Setelah lama berkembang, maka
kemunculan Qardhawi dalam gerakan ini adalah
sebagai orang yang berusaha memagari harakah
tersebut. Oleh sebab itu, karya-karya utama
Qardhawi dalam bidang harakah dan shahwah
Islamiyah, selalu diarahkan kepada upaya
memperkokoh gerakan tersebut. Di antara
karya-karyanya yang diarahkan kepada tujuan
tersebut adalah al-Shahwah al-Islâmiyyah
baina al-Juhűd wa al-Tatharruf, al-Shahwah
al-Islâmiyyah baina al-Ikhtilâf al- Masyrű’ wa
al-Tafarruq al-Madzműm, al-Shahwah al-Islâmiyyah
wa Huműm al-Wathan serta Aulawiyyât
al-Harakah al-Islâmiyah fi al-Marhalah
al-Qadîmah. Pada empat karya tersebut,
Qardhawi berusaha keras membuat batasan-batasan
etis yang harus dipegang dalam menjalankan
tanggung jawab harakah, serta mengobati penyakit
yang biasanya menghingapi para aktivis
harakah.
Menurut
Qardhawi, hal-hal yang harus dilakukan oleh
seorang aktivis harakah Islamiyah adalah
bagaimana mewujudkan sikap moderat
(wasathiyah) dan menghindari sikap
ekstrem (tatharruf), menghindari sikap
yang terlalu mudah mengkafirkan seseorang
(takfîr) serta sudah
saatnya agar harakah Islamiyah membuka diri
untuk berdialog dengan arus yang selama ini
berseberangan dengan mereka, baik kalangan
sekuler, orientalis, mereka yang berbeda
agama, bahkan dialog dengan mereka yang
ateis, sehingga harakah Islamiyah tidak
lagi diasumsikan sebagai gerakan yang ekslusif
(inghilâq).
Satu hal yang tidak kalah penting bagi
para aktivis harakah Islamiyah adalah agar mau
merangkul semua kelompok yang sama-sama memiliki
dedikasi untuk Islam, sehingga dalam menghadapi
berbagai kekuatan dan pemikiran yang akan
merusak jati diri Islam, mereka dapat bersatu
padu dalam sebuah barisan yang kokoh dengan
seluruh kekuatan yang mereka miliki
bersama.
c.
Pro-Kontra
Seputar Pemikiran Qardhawi
Adalah merupakan
salah satu sunnah Allah bahwa kehidupan
manusia tidak akan ada yang mencapai
kesempurnaan. Tidak ada seseorang yang
ide-idenya akan selau mulus diterima tanpa
reserve oleh berbagai kelompok. Begitu pula
dengan usaha-usaha yang dilakuakan oleh
Qardhawi, karena selain para pengagum yang
selalu terperangah dengan ide-ide briliannya,
ada juga kelompok lain yang harus ‘berfikir dua
kali’ untuk menerima ide-idenya, bahkan ada pula
yang mencurigai seluruh usahanya. Pada dasarnya
kritikan yang disampaikan oleh siapa dan kepada
siapa pun, akan sangat konstruktif jika
dilakukan dengan cara-cara yang cerdas dan
beradab, sehingga generasi yang akan datang,
dapat belajar banyak dari mereka. Akan tetapi,
semua itu akan menjadi preseden buruk bagi masa
depan umat, jika dilakukan secara emosional dan
penuh kecurigaan.
Pada konteks
inilah kita akan memahami pihak-pihak yang
berseberangan dengan Qardhawi. Di antara para
ulama yang mengkritik Qardhawi dengan ilmu dan
menghargai seluruh usahanya adalah Syaikh
Nashiruddin al-Albani (peneliti hadits terbesar
abad 20), Syaikh Abdullah bin Beh dan Syaikh
Rasyid al-Ghanusi. Untuk mengkritik Qardhawi,
Syaikh al-Albani, menulis sebuah buku yang
berjudul Ghâyah al-Marâm fî Takhrîj Hadîts
al-Halâl wa al-Harâm. Pada buku ini beliau
berusaha meneliti (takhrîj) kesahihan
hadis-hais yang digunakan Qardhawi dalam bukunya
yang berjudul al-Halâl wa al-Harâm fî
al-Islâm. Selain itu, menurut Isham Talimah,
kelompok yang keras mengkritik pemikiran
Qardhawi adalah mereka yang menamakan diri
sebagai kaum Salafî. Ia telah menemukan
ada oknum mereka yang menulis sebuah buku yang
berjudul al-Qardhâwi fî al-Mîzân. Buku
ini beredar luas di Sudi Arabia. Isham Talimah
mengatakan, bahwa ia pernah bertanya mengenai
persoalan ini kepada salah seorang pejabat
Konsul Saudi Arabia di Qathar. Ternyata ia menjawab bahwa
buku tersebut ditulis oleh seseorang yang tidak
dikenal, karena ulama-ulama Saudi sangat respek
terhadap pemikiran Qardhawi. Buku ini telah
dijawab dengan ilmiah dan penuh tangung jawab
oleh salah seorang mantan hakim Syari’ah Qathar,
Syaikh Walid Hadi.
d.
Penutup
Demikianlah
pembacaan kami terhadap usaha dan karya ulama
yang karya tulisnya telah mencapai ratusan ini.
Apapun yang kami tangkap dan tuangkan pada
tulisan sederhana ini adalah merupakan sebuah
pandangan sederhana dari seseorang yang ingin
berpihak kepada kebenaran dan ingin menjauhi
sikap berat sebelah. Apapun hasilnya, Allah maha
tahu terhadap mereka yang tulus membela
agama-Nya dan Dia maha tahu pahala apa yang
layak diberikan-Nya.
[www.islamlib.com]
Wallâhu ‘Alam bi
al-Shawâb.
Kairo, 22
Juni 2002 M, 11 Rabi’utsani 1423
H
DAFTAR
REFERENSI
Al-Jauziyah, Ibn
Qayyim. ‘Ilâm al-Muwâqi’în. (Dar al-Fikr:
Beirut). 1976.
Farhat, Muhamad
Nur. al-Bahtsu ‘an al-‘Aql: Hiwâr ma’a fikr
al-Hâkimiyah wa al-Naql. (Dar al-Hilâl:
Kairo).1997.
[7]
Muhamad Nur Farhat. al-Bahtsu ‘an al-‘Aql:
Hiwâr ma’a fikr
al-Hâkimiyah wa
al-Naql. Dar al-Hilâl: Kairo.1997. Halaman:
269.
|