Riwayat Hidup dan Kondisi
Sosio-Kultural Mesir
Hassan hanafi adalah Guru Besar pada
fakultas Filsafat Universitas Kairo. Ia lahir
pada 13 Februari 1935 di Kairo, di dekat Benteng
Salahuddin, daerah perkampungan Al-Azhar. Kota
ini merupakan tempat bertemunya para mahasiswa
muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar,
terutama di Universitas Al-Azhar. Meskipun
lingkungan sosialnya dapat dikatakan tidak
terlalu mendukung, tradisi keilmuan berkembang
di sana sejak lama. Secara historis dan
kultural, kota Mesir memang telah dipengaruhi
peradaban-peradaban besar sejak masa Fir’aun,
Romawi, Bizantium, Arab, Mamluk dan Turki,
bahkan sampai dengan Eropa moderen. Hal
ini menunjukkan bahwa Mesir, terutama
kota Kairo, mempunyai arti penting bagi
perkembangan awal tradisi keilmuan Hassan
Hanafi
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan
kenyataan-kenyataan hi.dup di bawah penjajahan
dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan
itu membangkitkan sikap patriotik dan
nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun
masih berusia 13 tahun ia telah mendaftarkan
diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan
Israel pada tahun 1948. la ditolak oleh Pemuda
Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu
muda. Di samping itu ia juga
dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda
Muslimin. Ia kecewa dan segera menyadari bahwa
di Mesir saat itu telah terjadi problem
persatuan dan perpecahan. .
Ketika masih duduk di bangku SMA,
tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan
sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para
syuhada di Terusan Suez. Bersama-sama dengan
para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk
membantu gerakan revolusi yang telah dimulai
pada akhir tahun 1940‑an hingga revolusi itu
meletus pada tahun 1952. Atas saran
anggota-anggota Pemuda Muslimin, pada tahun ini
ini pula ia tertarik untuk memasuki
organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di
tubuh Ikhwan‑pun terjadi perdebatan yang sama
dengan apa yang terjadi di Pemuda Muslimin.
Kemudian Hanaafi kembali disarankan oleh para
anggota Ikhwanu untuk bergabung dalam organisasi
Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh
Mesir Muda sama dengan kedua organisasi
sebelumnya. Hal ini mengakibatkan
ketidakpuasan Hanafi atas cara
berpikir kalangan muda Islam yang
terkotak‑kotak. Kekecewaan ini menyebabkan ia
memutuskan beralih konsentrasi untuk mendalami
pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan
perubahan sosial. Ini juga yang menyebabkan ia
lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid
Qutb, seperti tentang prinsip-prinsip
Keadilan Sosial dalam Islam.
Sejak tahun 1952 sampai dengan 1956
Hanafi belajar di Universitas Cairo untuk
mendalami bidang filsafat. Di dalam periode ini
ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir.
Pada tahun 1954 misalnya, terjadi pertentangan
keras antara Ikhwan dengan gerakan revolusi.
Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib yang
berhadapan dengan Nasser, karena baginya Najib
memiliki komitmen dan visi keislaman yang
jelas.
Kejadian‑kejadian yang ia alami pada masa
ini, terutama yang ia hadapi di kampus,
membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir,
pembaharu, dan reformis.
Keprihatinan yang muncul saat itu adalah
mengapa umat Islam selalu dapat dikalahkan dan
konflik internal terus
terjadi.
Tahun‑tahun berikutnya, Hanafi
berkesempatan untuk belajar di Universitas
Sorborne; Perancis, pada tahun 1956 sampai 1966.
Di sini ia memperoleh lingkungan yang kondusif
untuk mencari jawaban atas persoalan‑persoalan
mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan
sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Di Perancis
inilah ia dilatih untuk berpikir
secara metodologis melalui kuliah‑kuliah
maupun
bacaan‑bacaan atau karya-karya orientalis. Ia
sempat belajar pada seorang reformis Katolik,
Jean Gitton; tentang metodologi berpikir,
pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar
fenomenologi dari Paul Ricouer, analisis
kesadaran dari Husserl, dan bimbingan
penulisan tentang pembaharuan Ushul Fikih dari
Profesor Masnion.
Semangat Hanafi untuk mengembangkan
tulisan-tulisannya tentang pembaharuan
pemikiran Islam semakin tinggi sejak ia
pulang dari Perancis pada tahun 1966. Akan
tetapi, kekalahan Mesir dalam perang melawan
Israel tahun 1967 telah mengubah niatnya itu.
la kemudian ikut
serta dengan rakyat berjuang dan membangun
kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi
lain, untuk menunjang perjuangannya itu, Hanafi
juga mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan
akademis yang telah is peroleh dengan
memanfaatkan media massa sebagai corong
perjuangannya. Ia menulis banyak artikel untuk
menangggapi masalah‑masalah aktual dan melacak
faktor kelemahan umat Islam.
Di waktu‑waktu luangnya, Hanafi mengajar
di Universitas Kairo dan beberapa universitas di
luar negeri. Ia sempat menjadi profesor tamu di
Perancis (1969) dan Belgia (1970). Kemudian
antara tahun 1971 sampai 1975 ia mengajar di
Universitas Temple, Amerika Serikat.
Kepergiannya ke Amerika, sesungguhnya
berawal dari adanya keberatan pemerintah
terhadap aktivitasnya di Mesir, sehingga ia
diberikan dua pilihan apakah ia akan
tetap meneruskan aktivitasnya itu atau
pergi ke Amerika Serikat. Pada kenyataannya,
aktivitasnya yang baru di Amerika memberinya
kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog
antaragama dengan revolusi.
Baru setelah kembali dari
Amerika ia mulai menulis tentang pembaruan
pemikiran Islam. la kemudian memulai penulisan
buku Al‑Turats wa al-Tajdid. Karya ini,
saat itu, belum sempat ia selesaikan karena ia
dihadapkan pada gerakan anti‑pemerintah Anwar Sadat yang
pro-Barat dan “berkolaborasi” dengan Israel. la
terpaksa harus terlibat untuk membantu
menjernihkan situasi melalui ulisan‑tulisannya
yang berlangsung antara tahun 1976 hingga 1981.
Tulisan-tulisannya itulah yang kemudian
tersusun menjadi buku
Al Din wa AI‑ Tsaurah. Sementara itu,
dari tahun 1980 sampai 1983 ia menjadi profesor
tamu di Universitas Tokyo, tahun 1985 di
Emirat Arab. Ia pun diminta untuk merancang
berdirinya Universitas Fes ketika
ia mengajar di
sana pada tahun‑tahun 1983‑1984.
Hanafi berkali‑kali mengunjungi
negara‑negara Belanda, Swedia, Portugal,
Spanyol, Perancis, Jepang, India, Indonesia,
Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya antara tahun
1980‑1987. Pengalaman pertemuannya dengan
para pemikir besar di negara‑negara tersebut
telah menambah wawasannya untuk semakin tajam
memahami persoalan‑persoalan yang dihadapi oleh
dunia Islam.
Maka, dari pengalaman hidup yang ia
peroleh sejak masih
remaja membuat ia memiliki perhatian yang begitu
besar terhadap persoalan umat Islam. Karena itu,
meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan
diri untuk sebuah pergerakan tertentu, ia pun
banyak terlibat langsung
dalam kegiatan‑kegiatan pergerakan-pergerakan
yang ada di Mesir. Sedangkan pengalamannya dalam
bidang akademis dan intelektual, baik secara formal maupun
tidak, dan pertemuannya dengan para pemikir
besar dunia semakin mempertajam analisis dan
pemikirannya sehingga mendorong hasratnya untuk
terus menulis dan mengembangkan
pemikiran-pemikiran baru untuk membantu
menyelesaikan persoalan‑persolan besar umat
Islam.
Perkembangan Pemikiran dan
Karya‑Karyanya
Untuk memudahkan uraian pada bagian
ini, kita dapat mengklasifikasikan karya‑karya
Hanafi dalam tiga periode seperti halnya yang
dilakukan oleh beberapa penulis yang telah lebih
dulu mengkaji pemikiran tokoh ini: Penode
pertama berlangsung pada tahun‑tahun 1960‑an;
periode kedua pada tahun‑tahun 1970‑an, dan
periode ketiga dari tahun‑tahun 1980‑an sampai
dengan 1990‑an.
Pada awal dasawarsa 1960‑an pemikiran
Hanafi dipengaruhi oleh faham‑faham dominan yang
berkembang di Mesir, yaitu
nasionalistik‑sosialistik populistik yang
juga dirumuskan sebagai ideologi Pan
Arabisme, dan oleh situasi
nasional yang kurang menguntungkan setelah
kekalahan Mesir dalam perang melawan Israel pada
tahun 1967. Pada awal dasawarsa ini pula
(1956‑1966), sebagaimana telah dikemukakan,
Hanafi sedang berada dalam masa-masa
belajar di Perancis. Di Perancis inilah, Hanafi
lebih banyak lagi menekuni bidang‑bidang
filsafat dan ilmu sosial dalam kaitannya dengan
hasrat dan usahanya untuk melakukan rekonstruksi
pemikiran Islam.
Untuk tujuan rekonstruksi itu, selama
berada di Perancis ia mengadakan penelitian
tentang, terutama, metode interpretasi sebagai
upaya pembaharuan bidang ushul fikih (teori
hukum Islam, Islamic legal theory)
dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk
memahami agama dalam konteks realitas
kontemporer. Penelitian itu sekaligus
merupakan upayanya untuk meraih gelar doktor pada Universitas
Sorbonne (Perancis), dan ia berhasil menulis
disertasi yang berjudul Essai sur la Methode
d' Exegese (Esai tentang Metode
Penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu
memperoleh
penghargaan sebagai karya iliniah terbaik di
Mesir pada tahun 1961. Dalam karyanya itu jelas
Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul fikih
pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund
Husserl.
Pada fase awal pemikirannya iru,
tulisan‑tulisan Hanafi masih bersifat ilmiah
murni. Baru pada akhir dasawarsa itu ia mulai
berbicara tentang keharusan Islam untuk
mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif
dan berdimensi pembebasan (taharrur,
liberation). Ia mensyaratkan
fungsi pembebasan jika memang itu yang
diinginkan Islam agar dapat membawa masyarakat
pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan
sosial, sebagai ukuran utamanya. Struktur yang
populistik adalah manifestasi kehidupannya dan
kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep
utamanya. Hanafi sampai
pada kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi
orientatif bagi ideologi populistikyang
ada.
Pada akhir periode ini, dan berlanjut
hingga awal periode 1970‑an, Hanafi juga
memberikan perhatian utamanya untuk mencari
penyebab kekalahan umat Islam dalam
perang melawan Israel tahun 1967. Oleh karena
itu, tulisan‑tulisannya lebih bersifat populis.
Di awal periode 1970‑an, ia banyak menulis
artikel di berbagai media massa, seperti Al
Katib, Al-Adab, Al‑Fikr al-Mu’ashir,
dan Mimbar Al‑Islam. Pada
tahun 1976, tulisan‑tulisan itu diterbitkan sebagai sebuah buku
dengan judul Qadhaya Mu’ashirat fi Fikrina
al-Mu’ashir. Buku ini memberikan deskripsi
tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis
tentang tugas para pemikir dalam menanggapi
problema umat, dan tentang pentingnya
pembaruan pemikiran Islam untuk
menghidupkan kembafi khazanah tradisional Islam. Kemudian, pada
tahun 1977, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu
`ashirat fi al Fikr al-Gharib. Buku kedua
ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat
untuk melihat bagaimana mereka memahami
persoalan masyarakatnya dan kemudian mengadakan
pembaruan. Beberapa
pemikir Barat yang ia singgung itu antara lain
Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Unamuno, Karl
Jaspers, Karl Marx, Marx Weber, Edmund Husserl,
dan Herbert Marcuse.
Kedua buku itu secara keseluruhan
merangkum dua pokok pendekatan analisis yang
berkaitan dengan sebab‑sebab kekalahan umat
Islam; memahami posisi umat lslam sendiri yang
lemah, dan memahami posisi Barat yang superior.
Untuk yang pertama penekanan diberikan pada
upaya pemberdayaan umat, terutama dari segi pola
pikirnya, dan bagi yang kedua ia berusaha untuk
menunjukkan bagaimana menekan superioritas Barat
dalam segala aspek kehidupan. Kedua pendekatan
inilah yang nantinya melahirkan dua pokok
pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah
karyanya, yaitu Al-Turats wa al‑Tajdid
(Tradisi dan Pembaruan), dan Al‑Istighrab
(Oksidentalisme).
Pada periode ini, yaitu antara
tahun‑tahun 1971-1975,
Hanafi juga menganalisis sebab‑sebab ketegangan
antara berbagai kelompok kepentingan di Mesir,
terutama antara kekuatan Islam radikal dengan
pemerintah. Pada saat
yang sama situasi politik Mesir mengalami
ketidakstabilan yang ditandai dengan beberapa
peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap
Anwar Sadat yang pro-Barat dan memberikan
kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada
Oktober 1981. Keadaan
itu membawa Hanafi pada pemikiran bahwa
seorang ilmuan juga harus mempunyai tanggung
jawab politik terhadap nasib bangsanya.
Untuk itulah kemudian ia
menulis Al‑Din wa al‑Tsaurah fi Mishr
1952‑1981. Karya ini terdiri dari 8 jilid
yang merupakan himpunan berbagai artikel yang
ditulis antara tahun 1976 sampai 1981 dan
diterbitkan pertama kali pada tahun 1987. Karya
itu berisi pembicaraan dan analisis tentang
kebudayaan nasional dan hubungannya dengan
agama, hubungan antara agama dengan perkembangan
nasioanlisme, tentang gagasan mengenai gerakan
"Kiri Keagamaan" yang
membahas gerakan-gerakan keagamaan kontemporer,
fundamentalisme Islam, serta "Kiri Islam dan
Integritas Nasional". Dalam analisisnya Hanafi
menemukan bahwa salah satu penyebab utama
konflik berkepanjangan di Mesir adalah
tarik-menarik antara ideologi Islam dan Barat
dan ideologi sosialisme. Ia juga memberikan
bukti‑bukti penyebab munculnya berbagai
tragedi politik dan, terakhir,
menganalisis
penyebab munculnya radikalisme
Islam.
Karya‑karya lain yang ia tulis pada
periode ini adalah Religious Dialogue and
Revolution dan Dirasat
al-Islamiyyah. Buku pertama berisi
pikiran-pikiran yang ditulisnya antara tahun 1972‑1976
ketika ia berada di Amerika
Serikat, dan terbit pertama kali pada tahun
1977. Pada bagian
pertama buku ini ia merekomendasikan
metode hermeneutika sebagai
metode dialog antara Islam, Kristen, dan
Yahudi. Sedangkan bagian
kedua secara khusus membicarakan hubungan antara
agama dengan
revolusi, dan lagi-lagi ia menawarkan
fenomenologi sebagai metode untuk menyikapi
dan menafsirkan realitas umat Islam.
Sementara itu Dirasat Islamiyyah,
yang ditulis sejak tahun 1978 dan terbit tahun
1981, memuat deskripsi dan analisis pembaruan terhadap
ilmu‑ilinu keislaman klasik, seperti ushul
fikih, ilmu‑ilmu ushuluddin, dan filsafat.
Dimulai dengan pendekatan historis untuk melihat
perkembangannya, Hanafi berbicara tentang upaya
rekonstruksi atas ilmu-ilmu tersebut untuk
disesuaikan dengari realitas
kontemporer.
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa
1980‑an sampai dengan awal 1990‑an,
dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang
relatif lebih stabil ketimbang masa‑masa
sebelumnya. Dalam periode ini, Hanafi mulai
menulis Al-Turats wa al‑Tajdid yang
terbit pertama kali tahun 1980. Buku ini
merupakan landasan teoretis yang memuat
dasar‑dasar ide pembaharuan dan
langkah-langkahnya. Kemudian, ia menulis Al-
Yasar Al-lslamiy (Kiri Islam), sebuah
tulisan yang lebih merupakan sebuah "manifesto
politik" yang berbau ideologis, sebagaimana
telah saya kemukakan secara singkat di
atas.
Jika Kiri Islam baru merupakan
pokok‑pokok pikiran yang belum memberikan
rincian dari program pembaruannya, buku Min
Al‑Aqidah ila Al‑Tsaurah (5 jilid), yang
ditulisnya selama hampir sepuluh tahun dan baru
terbit pada tahun 1988. Buku ini memuat uraian
terperinci tentang pokok-pokok pembaruan yang ia
canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang
terdahulu. Oleh karena itu,
bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan
sebagai karya Hanafi yang paling
monumental.
Satu bagian pokok bahasan yang sangat
penting dari buku ini adalah gagasan
rekonstruksi ilmu kalam. Pertama‑tama ia mencoba
menjelaskan seluruh karya dan aliran ilmu kalam,
baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan
metodologi maupun perkembangannya. Lalu ia
melakukan analisis untuk melihat kelebihan dan
kekurangannya, terutama relevansinya dengan
konteks modernitas. Salah satu kesimpulannya
adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat
teoretis, elitis dan statis secara konsepsional.
Ia merekomendasikan sebuah teologi atau ilmu
kalam yang antroposentris, populis, dan
transformatif.
Selanjutnya, pada tahun‑tahun
1985‑1987, Hanafi menulis banyak artikel
yang ia presentasikan dalam berbagai
seminar di beberapa negara, seperti Amerika
Serikat, Perancis, Belanda, Timor Tengah,
Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan tulisan itu
kemudian disusun menjadi sebuah.buku yang
berjudul Religion, Ideology, and
Development yang terbit pada tahun
1993. Beberapa artikel lainnya juga
tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam
in the Modern World (2 jilid). Selain berisi
kajian‑kajian agama dan filsafat, dalam
karya-karyanya yang terakhir pemikiran Hanafi
juga berisi kajian‑kajian ilmu sosial,
seperti ekonomi dan teknologi. Fokus pemikiran Hanafi pada karya
karya terakhir ini lebih tertuju pada upaya
untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya
dalam pembangunan di negara-negara dunia
ketiga.
Pada perkembangan selanjutnya, Hanafi
tidak lagi berbicara tentang ideologi tertentu
melainkan tentang paradigma baru yang sesuai
dengan ajaran Islam sendiri maupun kebutuhan
hakiki kaum muslimin. Sublimasi pemikiran dalam
diri Hanafi ini antara lain didorong oleh maraknya
wacana nasionalisme-pragmatik Anwar Sadat yang menggeser
popularitas paham sosialisme Nasser di Mesir
pada dasawarsa 1970‑an. Paradigma baru ini ia
kembangkan sejak paroh kedua dasawarsa 1980‑an
hingga sekarang.
Pandangan universalistik ini di satu sisi
ditopang oleh upaya pengintegrasian wawasan
keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam
upaya penegakan martabat manusia melalui
pencapaian otonomi individual bagi warga
masyarakat; penegakan kedaulatan hukum,
penghargaan pada HAM, dan penguatan
(empowerment) bagi kekuatan massa rakyat
jelata.
Pada sisi lain, paradigma universalistik
yang diinginkan Hanafi harus dimulai dari
pengembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru.
Orang Islam, menurut Hanafi, tidak butuh hanya
sekadar menerima dan mengambil alih paradigma
ilmu pengetahuan modern Barat yang bertumpu pada
materialisme, melainkan juga harus mengikis
habis penolakan mereka terhadap peradaban ilmu
pengetahuan Arab. Seleksi dan dialog konstruktif
dengan peradaban Barat itu dibutuhkan untuk
mengenal dunia Barat dengan setepat-tepatnya.
Dan upaya pengenalan itu sebagai unit kajian
ilmiah, berbentuk ajakan kepada ilmu-ilmu
kebaratan (al-Istighrab,
Oksidentalisme) sebagai imbangan
bagi ilmu-ilmu ketimuran (al-Istisyraq,
Orientalisme). Oksidentalisme dimaksudkan untuk
mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya,
sehingga dari pendekatan ini akan muncul
kemampuan mengembangkan kebijakan yang
diperlukan kaum muslimin dalam ukuran jangka
panjang. Dengan
pandangan ini Hassan Hanafi memberikan harapan
Islam untuk menjadi mitra bagi
peradaban-peradaban lain dalam penciptaan
peradaban dunia baru dan
universal.
Sekitar Pandangan Hassan Hanafi
tentang Teologi Tradisional
Islam
Di muka telah kita lihat, meskipun dalam
beberapa hal menolak dan mengkritik Barat,
Hanafi banyak menyerap dan mengonsentrasikan
diri pada kajian pemikir Barat pra-modern dan
modern. Oleh karena itu, Shimogaki
mengkatagorikan Hanafi sebagai seorang
modernis‑liberal, karena ide‑ide liberalisme
Barat, demokrasi, rasionalisme dan pencerahan
telah banyak mempengaruhinya.
Pemikiran Hanafi sendiri, menurut Isaa J.
Boulatta dalam Trends and lssues in
Contemporary Arabs Thought bertumpu pada
tiga landasan: I) tradisi atau sejarah Islam; 2)
metode fenomenologi, dan; 3) analisis sosial
Marxian. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa gagasan semacam Kiri Islam
dapat disebut sebagai pengetahuan yang terbentuk
atas dasar watak sosial masyarakat (socially
contructed) berkelas yang merupakan ciri
khas tradisi Marxian.
Dalam gagasannya tentang rekonstruksi
teologi tradsional, Hanafi menegaskan perlunya
mengubah orientasi perangkat konseptual sistem
kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan
konteks sosial‑politik yang terjadi.
Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam
konteks sejarah ketika inti keislaman sistem
kepercayaan, yakni
transendensi Tuhan, diserang oleh wakil-wakil dari sekte‑sekte dan budaya
lama. Teologi itu dimaksudkan untuk
mempertahankan doktrin utama dan untuk
memelihara kemurniannya. Dialektika berasal dari
dialog dan mengandung pengertian saling menolak;
hanya merupakan dialektika kata-kata, bukan
dialektika konsep‑konsep tentang sifat
masyarakat atau tentang
sejarah.
Sementara itu konteks sosio‑politik
sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai
kekalahan di berbagai medan pertempuran
sepanjang periode kolonisasi. Karena itu, lanjut
Hanafi, kerangka konseptual lama masa‑masa
permulaan, yang berasal dari
kebudayaan klasik
harus diubah menjadi kerangka konseptual baru,
yang berasal dari kebudayaan modern.
Teologi merupakan refleksi dari wahyu
yang memanfaatkan kosakata zamannya dan
didorong oleh kebutuhan dan tujuan masyarakat;
apakah kebutuhan dan tujuan itu merupakan
keinginan obyektif atau semata-mata.manusiawi,
atau barangkali hanya
merupakan cita‑cita dan nilai atau pernyataan
egoisme murni.
Dalam konteks ini, teologi
merupakan basil proyeksi kebutuhan dan tujuan
masyarakat manusia ke dalam teks-teks kitab
suci. Ia.menegaskan, tidak ada arti‑arti yang
betul‑betul berdiri sendiri untuk setiap
ayat Kitab Suci. Sejarah teologi, kata Hanafi,
adalah sejarah proyeksi keinginan manusia
ke dalam Kitab Suci itu. Setiap ahli teologi
atau. penafsir melihat dalam Kitab Suci itu sesuatu yang ingin mereka
lihat. Ini menunjukkan bagaimana manusia
menggantungkan kebutuhan dan tujuannya pada
naskah‑naskah itu.
Teologi dapat berperan sebagai suatu
ideologi pembebasan bagi yang tertindas atau
sebagai suatu pembenaran penjajahan oleh para
penindas. Teologi
memberikan fungsi legitimatif bagi setiap
perjuangan kepentingan dari masing‑masing
lapisan masyarakat yang berbeda. Karena itu, Hanafi
menyimpulkan bahwa tidak ada kebenaran
obyektif atau arti yang berdiri sendiri,
terlepas dari keinginan manusiawi. Kebenaran
teologi, dengan demikian, adalah kebenaran
korelasional atau, dalam bahasa Hanafi,
persesuaian antara arti naskah asli yang berdiri
sendiri dengan kenyataan obyektif yang selalu
berupa nilai‑nilai manusiawi yang universal.
Sehingga suatu penafsiran bisa bersifat
obyektif, bisa membaca kebenaran obyektif yang
sama pada setiap ruang dan waktu.
Hanafi menegaskan bahwa rekonstruksi
teologi tidak harus membawa implikasi hilangnya
tradisi‑tradisi lama. Rekonstruksi teologi untuk
mengkonfrontasikan ancaman-ancaman baru yang
datang ke dunia dengan menggunakan konsep yang
terpelihara murni dalam sejarah. Tradisi yang
terpelihara itu menentukan lebih banyak lagi
pengaktifan untuk dituangkan dalam realitas
duniawi yang sekarang. Dialektika harus
dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan, bukan
hanya terdiri atas konsep‑konsep dan
argumen‑argumen antara individu‑individu,
melainkan dialektika berbagai masyarakat dan
bangsa di antara kepentingan‑kepentingan yang
bertentangan.
Rekonstruksi itu bertujuan untuk
mendapatkan keberhasilan duniawi dengan memenuhi
harapan-harapan dunia muslim terhadap
kemendekaan, kebebasan, kesamaan sosial,
penyatuan kembali identitas,
kemajuan dan
mobilisasi massa. Teologi baru
itu harus
mengarahkan sasarannya pada manusia sebagai
tujuan perkataan
(kalam) dan sebagai analisis
percakapan. Karena itu pula harus tersusun
secara kemanusiaan.
Asumsi dasar dari pandangan teologi
semacam ini adalah bahwa Islam, dalam pandangan
Hanafi, adalah protes, oposisi dan
revolusi. Baginya, Islam
memiliki makna ganda. Pertama, Islam
sebagai ketundukan; yang diberlakukan oleh
kekuatan politik kelas atas. Kedua, Islam
sebagai revolusi, yang diberlakukan oleh
mayoritas yang tidak berkuasa dan kelas orang
miskin. Jika untuk mempertahankan
status-quo suatu rezim politik,
Islam ditafsirkan sebagai tunduk.
Sedang jika untuk memulai
suatu perubahan sosial politik melawan
status‑quo, maka harus menafsirkan Islam sebagai
pergolakan.
Secara generik, istilah aslama
adalah menyerahkan diri kepada Tuhan, bukan
kepada apa pun yang lain. Pengertian ini secara
langsung menyatakan sebuah tindakan ganda; Yaitu
menolak segala kekuasaan
yang tidak
transendental dan menerima kekuasaan
transendental. Makna ganda dari
kata kerja aslama dan kata benda
Islam ini, menurut Hanafi, dengan sengaja
disalahgunakan untuk mendorong Islam cenderung
pada salah satu sisinya, yakni tunduk. Maka
rekonstruksi teologi tradisional itu berarti
pula untuk menunjukkan aspek lain dari Islam
yang, menurutnya, sengaja disembunyikan, yakni
penolakan, oposisi den pergolakan yang merupakan
kebutuhan aktual masyarakat muslim. Di dalam hal
ini, karena selalu terkait dengan masyarakat,
refleksi atas nilai‑nilai universal agama pun
mengikuti bentuk dan struktur kemasyarakatan,
struktur sosial dan kekuatan politik.
[www.islamlib.com]
[4]Pengaruh-pengaruh
intelektual dari tokoh-tokoh tersebut terlihat
pada karya-karya awalnya. Hal ini juga
diterangkan dalam, misalnya, Hassan
Hanafi, Al‑Din wa al-Tsaurat fi al-Mishr
1952‑1981, Vol. VII, (Kairo: A1-Maktabat
a1-Madbuliy, I987), h.
332.
[5]Lihat, Hassan
Hanafi, Qadhaya Mu`ashirat fi`Fikrina
al-Mu`ashir, (Beirut: Dar al-Tanwir li
al‑Thiba`at al‑Nasyr, I983), cet. ke‑2, h.
7
[7]Lihat lebih lanjut,
Abdurrahman Wahid, Hassan Hanafi dan
Eksperimentasinya" (selanjutnya disebut
Eksperimen), dalam Kazuo Shimogaki, Op
Cit., h. Xi.
[10]Lihat Abdurrahman Wahid,
"Pengantar'” (selanjutnya disebut
Pengantar), dalam ldeologi, h,
xi.
[11]Hassan Hanafi,
Qadhaya Mu`ashirat fi al‑Fikr al‑Gharb
al‑Mu’ashir, (Beirut: Al-Muassasat
al-Jami’iyyat li Dirasat wa al-Nasyr wa
al-Tauzi, 1990), cet.
ke‑4.
[13]Arthur Schopenhauer,
seorang filosof Barat modern, pernah memberikan
gagasan agar teologi juga berarti bermakna dan
berisi Antropologi. Maksudnya, ia menghendaki
agar teologi tidak melulu berbicara tentang
Tuhan, tetapi harus muIai berbicara tentang
manusia.
[18]Lihat catatan kaki (1)
buku Shimogaki, Between Modernity and
Posmodernity, The Islamic Left and Dr. Hassan
Hanafi's Thought: A Critical Reading
(selanjutnya disebut Between
Modernity), (Japan: The Institute of Middle
Eastern Studies, 1988), h.
14.
[19]Issa J. Boullatta,
"Hassan Hanafi: Terlalu Teoretis untuk
Dipraktekkan", tulisan pendek yang
diterjernahkan oleh Saiful Muzani dalam
Islamika 1, g.
21.
.
|